Dalam lembaran sejarah Budaya Buton disebutkan
bahwa Raden Sibatara, Raden Jutubun serta saudara perempuannya Lailan Mangrani
tiba di Tanah Buton (antara tahun 1311 M – 1321 M). Mereka adalah kakak beradik
Putra Raden Wijaya kerajaan Mataram sebelum bergabung dengan kerajaan
Majapahit. (Setelah ketiganya meninggalkan Mataram Raden Wijaya dinobatkan
menjadi Raja Majapahit, pangkat Kedatuan yang berlaku di Kerajaan Mataram
diganti menjadi pangkat Keprabuan pada kerajaan Majapahit).
Kedatangan ketiga putra Raja Majapahit ini ini menggunakan dua armada. Satu
armada dipimpin oleh Raden Sibatara dan adik perempuannya Lailan Mangrani
beserta 40 orang pengikutnya. Armada lain dipimpin oleh Raden Jutubun yang juga
dikawal oleh 40 pengawal.
Kedua armada tersebut membawa bendera kerajaan leluhurnya masing masing yang
dipasang di buritan armadanya. Adapun warna bendera yang dibawa oleh kedua
armada tersebut berwarna merah dan putih yang disebut ‘Dayialo’. Kedatangan dua
armada ini langsung diketahui oleh penjaga pantai menuntun kedua armada
tersebut agar berlabuh didalam teluk ‘Kalampa’ (Sekarang disebut wilayah
Kecamatan Betoambari daratan Kota Baubau). Selanjutnya penjaga pantai
melaporkan kedatangan kedua armada tersebut kepada pimpinannya yaitu Si
Panjonga dan Si Malui. Kedua pemimpin ini kemudian mengutus dua pembantu
utamanya yaitu Si Tamanajo dan Si Sajawangkati untuk menyelidiki apa maksud
kedatangan kedua armada tersebut di negeri Buton.
Salah satu dari pemimpin kedua armada tersebut menjawab : “kami adalah putra
Raden Wijaya Raja dari kerajaan Majapahit masing masing bernama Raden Sibatara
(Sabatara), Raden Jutubun (Bau Besi) dan Putri Lailan Mangrani (Putri Lasem).
Maksud kedatangan kami di negeri ini untuk mencari tempat guna membuat Bandar
baru sesuai petunjuk ayahanda kami Raden Wijaya”. Selanjutnya Si Tamanajo dan
Si Sajawangkati kembali melapor kepada Si Panjonga dan Si Malui. Mendengar
laporan kedua pembantu utamanya tersebut Si Panjonga dan Si Malui menghadap
kepada Raja Buton Wa Kaa Kaa.
Kemudian Raja Buton memerintahkan kepada para pembantunya untuk melakukan
penjemputan besar besaran seperti halnya penjemputan dirinya dari Sorawolio ke
Lelemangura yang dilengkapi dengan tiga buah usungan dari bambu Tolang atau
Tombula. Ketika itu, ketiga putra raja Majapahit masing masing mengenakan
pakaian yang berbeda. Raden Jutubun memakai baju ‘Bodo’ berdaster dan celana
hitam yang diukir putih panjang sebatas betis. Serta memakai sarung yang
dililitkan diatas baju yang pinggirnya terurai sampai ke lutut serta sebilah
keris di pinggang. Pakaian ini merupakan pakaian kebesaran menurut adat Jawa
dan hanyalah orang orang yang telah dinobatkan menjadi Kedatuan. Dan pakaian
ini kini diabadikan menjadi pakaian pembesar di Kerajaan Buton.
Sementara itu, Sibatara mengenakan pakaian dengan celana hitam yang diukir
dengan benang perak yang panjangnya sebatas betis serta memakai sarung yang
dililitkan dipinggang terurai sampai ke lutut. Kedua ujung sarung terurai
sampai ke pungung kedua kaki dan di pinggang terselip sebilah keris. Raden
Sibatara telanjang dada. Pakaian ini kini diabadikan sebagai pakaian putra
bangsawan di Buton yang belum memperoleh jabatan. (Dalam bahasa Buton disebut
‘Pakeana Mangaana’ atau pakaian para anak.
Sedangkan Putri Lailan Mangrani memakai baju ‘Kombo’ atau baju ‘Kuru’ serta
memakai sarung berlapis dua. Satu lapis diantaranya disebut dengan nama ‘Bia
Bia’. Putri Lailan Mangrani juga memakai tiga bentuk hiasan sanggul dan
dirangkai dengan berbagai macam mutiara yang sangat indah. (Dalam bahasa Buton
disebut Panto). Pada leher tergantung kalung yang terbuat dari emas murni
dengan liontin yang berhias Ratna Mutu Manikam. Kepalanya diselubungi dengan
sutera hijau halus yang tipis.
Pada bagian kening Putri Lailan mengenakan hiasan yang dalam bahasa Buton
disebut Patiga. Pakaian ini kini telah diabadikan menjadi pakaian para gadis
yang baru keluar dari Posuo atau pingitan. Ketika turun dari armada, Raden
Sibatara membawa serta seekor ayam jantan berbulu merah yang diikuti saudara
perempuannya Putri Lailan Mangrani atau putri Lasem dan disusul saudaranya
Raden Jutubun.
Ayam tersebut kemudian diserahkan kepada pengawalnya untuk dikurung dalam sebuah
gua yang tidak jauh dari tempat berlabuhnya kedua armada Raden Sibatara dan
raden Jutubun dan tidak pernah diambil kembali hingga akhirnya menjadi batu.
Saat ini batu tersebut masih dapat disakasikan di gua yang berada di Teluk
Kalampa Kecamatan Betoambari (Dekat jembatan Pertamina Depot Baubau) yang
menurut bahasa Buton disebut Manu Jawa atau Ayam Jawa. Ketiga putra Raden
Wijaya itu, oleh Raja Wa Kaa Kaa akhirnya diterima tinggal di Kraton Buton.