" Jika cinta itu LOOPING while (Love) { withYouForever(); protectYou(); lovingYou(); makeYouHappy(); eternalLove(); }"

 

Tuesday, May 27, 2014

SiBatara

0 comments

Dalam lembaran sejarah Budaya Buton disebutkan bahwa Raden Sibatara, Raden Jutubun serta saudara perempuannya Lailan Mangrani tiba di Tanah Buton (antara tahun 1311 M – 1321 M). Mereka adalah kakak beradik Putra Raden Wijaya kerajaan Mataram sebelum bergabung dengan kerajaan Majapahit. (Setelah ketiganya meninggalkan Mataram Raden Wijaya dinobatkan menjadi Raja Majapahit, pangkat Kedatuan yang berlaku di Kerajaan Mataram diganti menjadi pangkat Keprabuan pada kerajaan Majapahit).

Kedatangan ketiga putra Raja Majapahit ini ini menggunakan dua armada. Satu armada dipimpin oleh Raden Sibatara dan adik perempuannya Lailan Mangrani beserta 40 orang pengikutnya. Armada lain dipimpin oleh Raden Jutubun yang juga dikawal oleh 40 pengawal.

Kedua armada tersebut membawa bendera kerajaan leluhurnya masing masing yang dipasang di buritan armadanya. Adapun warna bendera yang dibawa oleh kedua armada tersebut berwarna merah dan putih yang disebut ‘Dayialo’. Kedatangan dua armada ini langsung diketahui oleh penjaga pantai menuntun kedua armada tersebut agar berlabuh didalam teluk ‘Kalampa’ (Sekarang disebut wilayah Kecamatan Betoambari daratan Kota Baubau). Selanjutnya penjaga pantai melaporkan kedatangan kedua armada tersebut kepada pimpinannya yaitu Si Panjonga dan Si Malui. Kedua pemimpin ini kemudian mengutus dua pembantu utamanya yaitu Si Tamanajo dan Si Sajawangkati untuk menyelidiki apa maksud kedatangan kedua armada tersebut di negeri Buton.

Salah satu dari pemimpin kedua armada tersebut menjawab : “kami adalah putra Raden Wijaya Raja dari kerajaan Majapahit masing masing bernama Raden Sibatara (Sabatara), Raden Jutubun (Bau Besi) dan Putri Lailan Mangrani (Putri Lasem). Maksud kedatangan kami di negeri ini untuk mencari tempat guna membuat Bandar baru sesuai petunjuk ayahanda kami Raden Wijaya”. Selanjutnya Si Tamanajo dan Si Sajawangkati kembali melapor kepada Si Panjonga dan Si Malui. Mendengar laporan kedua pembantu utamanya tersebut Si Panjonga dan Si Malui menghadap kepada Raja Buton Wa Kaa Kaa.

Kemudian Raja Buton memerintahkan kepada para pembantunya untuk melakukan penjemputan besar besaran seperti halnya penjemputan dirinya dari Sorawolio ke Lelemangura yang dilengkapi dengan tiga buah usungan dari bambu Tolang atau Tombula. Ketika itu, ketiga putra raja Majapahit masing masing mengenakan pakaian yang berbeda. Raden Jutubun memakai baju ‘Bodo’ berdaster dan celana hitam yang diukir putih panjang sebatas betis. Serta memakai sarung yang dililitkan diatas baju yang pinggirnya terurai sampai ke lutut serta sebilah keris di pinggang. Pakaian ini merupakan pakaian kebesaran menurut adat Jawa dan hanyalah orang orang yang telah dinobatkan menjadi Kedatuan. Dan pakaian ini kini diabadikan menjadi pakaian pembesar di Kerajaan Buton.
Sementara itu, Sibatara mengenakan pakaian dengan celana hitam yang diukir dengan benang perak yang panjangnya sebatas betis serta memakai sarung yang dililitkan dipinggang terurai sampai ke lutut. Kedua ujung sarung terurai sampai ke pungung kedua kaki dan di pinggang terselip sebilah keris. Raden Sibatara telanjang dada. Pakaian ini kini diabadikan sebagai pakaian putra bangsawan di Buton yang belum memperoleh jabatan. (Dalam bahasa Buton disebut ‘Pakeana Mangaana’ atau pakaian para anak.

Sedangkan Putri Lailan Mangrani memakai baju ‘Kombo’ atau baju ‘Kuru’ serta memakai sarung berlapis dua. Satu lapis diantaranya disebut dengan nama ‘Bia Bia’. Putri Lailan Mangrani juga memakai tiga bentuk hiasan sanggul dan dirangkai dengan berbagai macam mutiara yang sangat indah. (Dalam bahasa Buton disebut Panto). Pada leher tergantung kalung yang terbuat dari emas murni dengan liontin yang berhias Ratna Mutu Manikam. Kepalanya diselubungi dengan sutera hijau halus yang tipis.

Pada bagian kening Putri Lailan mengenakan hiasan yang dalam bahasa Buton disebut Patiga. Pakaian ini kini telah diabadikan menjadi pakaian para gadis yang baru keluar dari Posuo atau pingitan. Ketika turun dari armada, Raden Sibatara membawa serta seekor ayam jantan berbulu merah yang diikuti saudara perempuannya Putri Lailan Mangrani atau putri Lasem dan disusul saudaranya Raden Jutubun.

Ayam tersebut kemudian diserahkan kepada pengawalnya untuk dikurung dalam sebuah gua yang tidak jauh dari tempat berlabuhnya kedua armada Raden Sibatara dan raden Jutubun dan tidak pernah diambil kembali hingga akhirnya menjadi batu. Saat ini batu tersebut masih dapat disakasikan di gua yang berada di Teluk Kalampa Kecamatan Betoambari (Dekat jembatan Pertamina Depot Baubau) yang menurut bahasa Buton disebut Manu Jawa atau Ayam Jawa. Ketiga putra Raden Wijaya itu, oleh Raja Wa Kaa Kaa akhirnya diterima tinggal di Kraton Buton.
Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment

Social Icons

Sample Text

Featured Posts

 

FB FLy

Jempolnya, Like This !!!

FB Fly

Jempolnya, Like This !!!

Kursor

Animated Purple Gitter Skull