" Jika cinta itu LOOPING while (Love) { withYouForever(); protectYou(); lovingYou(); makeYouHappy(); eternalLove(); }"

 

Tuesday, May 27, 2014

Benteng Keraton Wolio Buton Raih Muri

0 comments



  • Menanti Keseriusan Muri
Kehadiran Museum Rekor Indonesia (MURI) beberapa waktu lalu di Kota Bau – Bau wilayah eks kesultanan Buton propinsi Sulawesi Tenggara memberikan harapan baru bagi masyarakat khususnya di seluruh wilayah ranah Buton. Harapan baru yang telah lama terpendam. Itulah keberadaan benteng Keraton Wolio Buton yang hingga kini tetap berdiri kokoh dan megah diatas puncak kelurahan Melai. Luasnya yang tak kurang dari 22 hektar lebih melahirkan catatan emas bagi MURI yang mengakui jika Benteng ini dipastikan sebagai benteng terluas di Nusantara. 

Namun, MURI juga masih memberikan harapan untuk meraih predikat ‘Internasional’ sebab benteng Keraton Buton diprediksi bakal menambah deretan ‘keajaiban dunia’ yakni sebagai benteng terluas di dunia yang penobatannya kini telah dinantikan masyarakat Buton. Ada satu hal menarik yang patut diketahui penduduk di Nusantara terhadap keberadaan benteng Keraton Buton. Yakni sebuah benteng yang tidak hanya berdiri dan diam membisu. Namun, di dalam kawasan benteng keraton terdapat aktivitas masyarakat yang tetap melakukan berbagai macam ritual layaknya yang terjadi pada masa kesultanan berabad abad lalu. 

Di dalam kawasan benteng terdapat pemukiman penduduk yang merupakan pewaris keturunan dari para leluhur masa lalu. Di tempat ini juga terdapat situs peninggalan sejarah masa lalu yang masih tetap terpelihara dengan baik. Di tengah benteng terdapat sebuah mesjid tua dan tiang bendera yang usianya seumur mesjid. Yang dibangun pada masa pemerintahan Sultan Buton III La Sangaji Sultan Kaimuddin atau dikenal dengan julukan ‘Sangia Makengkuna’ yang memegang tahta antara tahun 1591 – 1597. Benteng ini memiliki panjang 2.740 meter yang mengelilingi perkampungan adat asli Buton dengan rumah rumah tua yang tetap terpelihara hingga saat ini. Masyarakat yang bermukim di kawasan benteng ini juga masih menerapkan budaya asli yang dikemas dalam beragam tampilan seni budaya yang kerap ditampilkan pada upacara upacara adat. Warisan lainnya adalah sekitar 100 jenis kain tenunan khas Buton yang tercipta dari tangan tangan terampil masyarakat buton. Selain itu terdapat Keragaman bahasa yang dimiliki masyarakat di wilayah Buton hingga mencapai ratusan jenis bahasa dengan dialek tersendiri yang tersebar di 72 wilayah (kadie). Namun, tetap komit menjadikan Bahasa Wolio sebagai bahasa yang dapat mempersatukan keragam itu. Damai dan penuh persaudaraan mewarnai kehidupan masyarakat. Hingga negeri ini selalu damai dan tenteram tak pernah terjadi perselisihan yang membawa perpecahan.  

Nuansa Islami ditunjukkan oleh bentuk pemerintahan kesultanan dengan bahasa resmi yakni bahasa Wolio yang tertulis dengan aksara Wolio yang menggunakan huruf Hijahiyah Arab. Sebuah warisan leluhur yang tak terbantahkan. Namun sayang, keberadaan benteng Keraton serta berbagai keragam dan kekayaan budayanya seolah terlupakan oleh pandangan sejarah Nasional. Keunikan yang dimilikinya nyaris tak pernah mendapat pengakuan oleh mata dunia. Sebagai wadah yang menghimpun keajaiban dunia di Nusantara, MURI harus segera melakukan upaya demi meraih pengakuan dunia untuk sebuah benteng terluas beserta seabrek keunikannya yang kini berada di tengah tengah wilayah eks kesultanan Buton yakni di Kota Bau-Bau Sulawesi Tenggara. Letaknya yang strategis berada pada dataran tinggi menandakan bahwa para pendiri negeri ini dahulu kala memiliki peradaban. Konstruksi benteng yang sulit dipecahkan oleh kecanggihan teknologi juga patut menjadi bahan renungan bahwa kreatifitas para leluhur Buton di masa lalu tak bisa dianggap remeh. Telah banyak upaya yang dilakukan pemerintah daerah demi perjuangan untuk memperkenalkan keunikan budaya Buton dengan segala bentuk peninggalan sejarahnya. Diantaranya kegiatan Simposium Internasional pernaskahan Nusantara yang diselenggarakan pada Bulan Agustus 2005. Kegiatan ini diikuti oleh utusan dari para\ pakar budaya dari dalam dan luar negeri diantaranya Singapura, Malaysia, Jepang, China, Jerman, Belanda, Rusia dan beberapa negara lain di dunia. Upaya ini tak terlepas dari keseriusan pemerintah Kota Baubau dibawah kendali Walikota I Baubau Drs. MZ Amirul Tamim, M.Si dengan visi misinya menjadikan daerah ini sebagai Pintu gerbang ekonomi dan pariwisata dengan berlandaskan pada agama dan budaya lokal. 

  • Penelitian 7 Pakar Budaya Malaysia di Baubau   
  
Kunjungan Tujuh pakar budaya asal Malaysia yang melakukan penelitian di Kota baubau berhasil mengungkap ‘rahasia’ kekerabatan Bangsa Melayu dengan etnis Buton. Ketujuh pakar dari negeri Jiran Malaysia yakni Prof Madya Datuk Zainal Abidin Bin Borhan sebagai pimpinan rombongan, Prof Madya DR AB Razak bin AB Karim, Prof Madya Nuwairi Bin Khaza’hi, Prof Madya DR Zahir Bin Ahmad, Puan Nor Azlim Binti Hamidan, Cik Nor Azita binti Che Din dan Cik Noriza Binti Daud kemarin melakukan penelitian di Kelurahan Lipu dan Katobengke Kecamatan Betoambari tentang adat istiadat, busana tradisional, kesenian rakyat, termaksud musik tradisional Latotou yang terbuat dari potongan kayu terdiri dari beberapa bunyi. Disamping itu, penelitian cerita rakyat tentang binatang dan hantu serta penelitian rumpun bahasa Pancana. Dari beberapa temuan yang diperoleh, para pakar Budaya negeri Jiran ini menelisik silsilah asal masyarakat Lipu yang dekat dengan kekerabatan bangsa Melayu. Berdasarkan hasil penelitian sementara ketujuh pakar budaya Malaysia tersebut terungkap jika masyarakat Lipu dan Katobengke berasal dari semenanjung tanah melayu. 

Hal ini diungkapkan Kepala Bidang Nilai Budaya Sejarah dan Kepurbakalaan Dinas Parsenibud Kota Bau-bau Ali Arham S Sos kepada wartawan Koran ini kemarin. Kepala Bidang nilai budaya dan kepurbakalaan Dinas Parsenibud Kota Baubau Drs Ali Arham, kesimpulan sementara tujuh pakar budaya Malaysia tersebut berdasarkan hasil penelitian seperti bentuk pakaian tradisional masyarakat Lipu dan Katobengke yang memiliki kesamaan orang Patani (salah satu suku Islam di Thailand selatan). Dari segi perawakan wajah khususnya kaum wanita, masyarakat Lipu dan Katobengke yang sering merawat wajah dengan menggunakan kunyit sebagai bedak tradisional yang membuat seseorang menjadi awet juga sebagai resep mujarab untuk pengobatan. Kepedulian masyarakat Lipu dan Katobengke terhadap potensi alam khususnya keragaman hasil laut dan akar bahar juga sangat mirip dengan perilaku masyarakat melayu.

Bahan bahan ini digunakan sebagai resep untuk pengobatan dan mencegah berbagai macam penyakit. Dari sekian banyak data yang dihimpun setelah melakukan kajian, para pakar budaya Malaysia ini meyakini jika negeri Buton adalah negeri yang telah lama memiliki peradaban. Terutama yang ditunjukkan oleh etnis Lipu dan Katobengke salah satu etnis yang kini hidup di tengah tengah masyarakat Kota Baubau dan tetap mempertahankan adat dan budaya. Tidak salah, jika saat ini pemerintah Kota Baubau disaat kepemimpinan MZ Amirul Tamim yang melirik kawasan palagimata sebagai kawasan pertumbuhan baru di Kota Baubau. Kawasan yang dikenal masyarakat dengan sebutan kota Lipu morikana palagimata. Sebelum menuju Lipu dan katobengke, tujuh pakar Malaysia ini juga telah menjamah Kecamatan Surawolio. 

Di Sorawolio mereka pun menemukan banyak data baik tentang adat istiadat, bahasa Cia-Cia, Cerita rakyat tentang legenda, pakaian adat dan kesenian masyarakat Senin (12/2). Bahkan, juga ditampilkan pagelaran seni budaya masyarakat Cia-cia seperti tari mangaru, Linda dan ngibi termaksud menampilkan menu tradisional masyarakat Cia-cia.Dari hasil penelusuran para pakar Budaya Malaysia ini, rupanya Buton dan wilayah Eks kesultanan memiliki beragam kekayaan budaya yang identik dengan peradaban melayu.

  • Hasil Kajian Pakar Budaya Malaysia di Bau-Bau  
Kehadiran 7 pakar Budaya Asal Negeri Jiran Malaysia yang telah melakukan penelitian terhadap kekayaan budaya Buton menyingkap beberapa bukti kekerabatan antara Budaya Buton – Melayu. Hal ini terungkap dalam Diskusi Budaya “Laporan Hasil Kajian Pakar Budaya Malaysia ” yang berlangsung di Baruga Kraton Wolio Kota Bau-Bau Senin (19/2) Kegiatan ini dihadiri langsung Walikota Bau-Bau MZ Amirul Tamim, sekda Kota bau-Bau H Sahiruddin Udu, para pejabat lingkup pemkot Bau-Bau serta para tokoh adat serta para guru sejarah dari utusan sekolah se-kota Bau-Bau. Beberapa fokus kajian yang dilakukan oleh para pakar budaya Malaysia diantaranya naskah, Bahasa, adat istiadat serta beberapa kebiasaan masyarakat yang bermukim di Buton. 

Dalam salah satu kajian dari faktor Bahasa, dilakukan kajian terhadap 5 jenis bahasa diantaranya Bahasa Wolio, Cia-Cia, Pancana, Wanci, Kaledupa dan Moronene. Menurut Prof Nuwairi dan Noriza Daud, seluruh jenis bahasa dan hasil kajian yang dilakukan setelah menghimpun data di Kota Bau-Bau menyatakan jika Bau-Bau yang merupakan pusat peradaban Buton adalah “Laboratorium Sosial Masyarakat”. Sebab, disinilah mereka menemukan seluruh bukti peradaban yang menyingkap kekerabatan antara bangsa Melayu dan Buton. Menurut para pakar Budaya Malaysia ini, Buton adalah negeri yang memiliki peradaban tinggi yang ditunjukkan oleh kekayaan jenis budaya yang dimiliki. Selain kajian faktor Bahasa, pakar budaya lainnya Nor Azifa Che Din yang melaporkan hasil kajian terhadap Konsep tradisi kehidupan melayu. Dalam laporannya Nor Azifa yang kini tercatat sebagai salah seorang Akademisi dari Akademi Pengkajian Melayu University Malaya mengungkap beberapa kesamaan antara masyarakat melayu dan Buton. Diantaranya dari sisi perawakan antara warga Buton dan Melayu menurut Nor Azifa memiliki kemiripan dari warna kulit, postur tubuh serta penerapan sopan santun dalam kehidupan sehari-hari. 

Salah satu faktor yang menyolok adalah siklus hidup yang dimiliki oleh masyarakat adat Buton dan Melayu. Satu bukti yang ditemukan adalah pada proses kelahiran bayi bagi masyarakat Buton perlakuan yang diberikan kepada sang ibu pada hari ke-7 dengan serangkaian acara ritual. Demikian pula yang diterapkan oleh masyarakat adat melayu. Versi masyarakat adat melayu, ritual ini dikenal dengan sebutan ‘Melenggang perut’. Setelah memasuki pasca kelahiran, kaum ibu juga menghadapi masa ‘berpantang’. Kebiasaan ini dilakukan baik masyarakat adat Buton dan melayu. Hanya saja, bagi masyarakat adat Buton masa berpantang bagi ibu yang telah melahirkan selama 40 hari dan bagi masyarakat adat Melayu khususnya di Malaysia masa berpantang ini hingga hari ke – 44. 

Dari berbagai kesamaan ini, tampaknya para pakar Budaya Malaysia ini akan melakukan tindak lanjut. Bahkan, merencanakan akan melakukan seminar di negeri Jiran Malaysia setelah kembali dari Kota Bau-Bau. Keseriusan para pakar budaya Malaysia ini terhadap Budaya dan kekayaan adat Buton juga telah dibuktikan dengan membuat sebuah website khusus yang memuat tentang hasil kajian yang diperoleh selama sekitar 10 hari di negeri Buton.
Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment

Social Icons

Sample Text

Featured Posts

 

FB FLy

Jempolnya, Like This !!!

FB Fly

Jempolnya, Like This !!!

Kursor

Animated Purple Gitter Skull