- Menanti Keseriusan Muri
Kehadiran Museum Rekor Indonesia
(MURI) beberapa waktu lalu di Kota Bau – Bau wilayah eks kesultanan Buton
propinsi Sulawesi Tenggara memberikan harapan baru bagi masyarakat khususnya di
seluruh wilayah ranah Buton. Harapan baru yang telah lama terpendam. Itulah
keberadaan benteng Keraton Wolio Buton yang hingga kini tetap berdiri kokoh dan
megah diatas puncak kelurahan Melai. Luasnya yang tak kurang dari 22 hektar lebih melahirkan
catatan emas bagi MURI yang mengakui jika Benteng ini dipastikan sebagai
benteng terluas di Nusantara.
Namun, MURI juga masih memberikan harapan untuk meraih predikat
‘Internasional’ sebab benteng Keraton Buton diprediksi bakal menambah
deretan ‘keajaiban dunia’ yakni sebagai benteng terluas di dunia yang
penobatannya kini telah dinantikan masyarakat Buton. Ada satu hal menarik yang
patut diketahui penduduk di Nusantara terhadap keberadaan benteng Keraton
Buton. Yakni sebuah benteng yang tidak hanya berdiri dan diam membisu. Namun,
di dalam kawasan benteng keraton terdapat aktivitas masyarakat yang tetap
melakukan berbagai macam ritual layaknya yang terjadi pada masa kesultanan
berabad abad lalu.
Di dalam kawasan benteng terdapat pemukiman penduduk yang merupakan pewaris
keturunan dari para leluhur masa lalu. Di tempat ini juga terdapat situs peninggalan
sejarah masa lalu yang masih tetap terpelihara dengan baik. Di tengah benteng
terdapat sebuah mesjid tua dan tiang bendera yang usianya seumur mesjid. Yang
dibangun pada masa pemerintahan Sultan Buton III La Sangaji Sultan Kaimuddin
atau dikenal dengan julukan ‘Sangia Makengkuna’ yang memegang tahta antara
tahun 1591 – 1597. Benteng ini memiliki panjang 2.740 meter yang mengelilingi
perkampungan adat asli Buton dengan rumah rumah tua yang tetap terpelihara
hingga saat ini. Masyarakat yang bermukim di kawasan benteng ini juga masih
menerapkan budaya asli yang dikemas dalam beragam tampilan seni budaya yang
kerap ditampilkan pada upacara upacara adat. Warisan lainnya adalah sekitar 100
jenis kain tenunan khas Buton yang tercipta dari tangan tangan terampil
masyarakat buton. Selain itu terdapat Keragaman bahasa yang dimiliki masyarakat
di wilayah Buton hingga mencapai ratusan jenis bahasa dengan dialek tersendiri
yang tersebar di 72 wilayah (kadie). Namun, tetap komit menjadikan Bahasa Wolio
sebagai bahasa yang dapat mempersatukan keragam itu. Damai dan penuh
persaudaraan mewarnai kehidupan masyarakat. Hingga negeri ini selalu damai dan
tenteram tak pernah terjadi perselisihan yang membawa perpecahan.
Nuansa Islami ditunjukkan oleh bentuk pemerintahan kesultanan dengan bahasa
resmi yakni bahasa Wolio yang tertulis dengan aksara Wolio yang menggunakan
huruf Hijahiyah Arab. Sebuah warisan leluhur yang tak terbantahkan. Namun
sayang, keberadaan benteng Keraton serta berbagai keragam dan kekayaan budayanya
seolah terlupakan oleh pandangan sejarah Nasional. Keunikan yang dimilikinya
nyaris tak pernah mendapat pengakuan oleh mata dunia. Sebagai wadah yang
menghimpun keajaiban dunia di Nusantara, MURI harus segera melakukan upaya demi
meraih pengakuan dunia untuk sebuah benteng terluas beserta seabrek keunikannya
yang kini berada di tengah tengah wilayah eks kesultanan Buton yakni di Kota
Bau-Bau Sulawesi Tenggara. Letaknya yang strategis berada pada dataran tinggi menandakan bahwa para pendiri negeri ini dahulu kala memiliki peradaban.
Konstruksi benteng yang sulit dipecahkan oleh kecanggihan teknologi juga patut
menjadi bahan renungan bahwa kreatifitas para leluhur Buton di masa lalu tak
bisa dianggap remeh. Telah banyak upaya yang dilakukan pemerintah daerah demi
perjuangan untuk memperkenalkan keunikan budaya Buton dengan segala bentuk
peninggalan sejarahnya. Diantaranya kegiatan Simposium Internasional
pernaskahan Nusantara yang diselenggarakan pada Bulan Agustus 2005. Kegiatan
ini diikuti oleh utusan dari para\ pakar budaya dari dalam dan luar negeri
diantaranya Singapura, Malaysia, Jepang, China, Jerman, Belanda, Rusia dan
beberapa negara lain di dunia. Upaya ini tak terlepas dari keseriusan
pemerintah Kota Baubau dibawah kendali Walikota I Baubau Drs. MZ Amirul Tamim,
M.Si dengan visi misinya menjadikan daerah ini sebagai Pintu gerbang ekonomi
dan pariwisata dengan berlandaskan pada agama dan budaya lokal.
- Penelitian 7 Pakar Budaya Malaysia di Baubau
Kunjungan Tujuh pakar budaya asal
Malaysia yang melakukan
penelitian di Kota
baubau berhasil mengungkap ‘rahasia’ kekerabatan Bangsa Melayu dengan etnis
Buton. Ketujuh pakar dari negeri Jiran Malaysia yakni Prof Madya Datuk Zainal
Abidin Bin Borhan sebagai pimpinan rombongan, Prof Madya DR AB Razak bin AB
Karim, Prof Madya Nuwairi Bin Khaza’hi, Prof Madya DR Zahir Bin Ahmad, Puan
Nor Azlim Binti Hamidan, Cik Nor Azita binti Che Din dan Cik Noriza Binti Daud
kemarin melakukan penelitian di Kelurahan Lipu dan Katobengke Kecamatan
Betoambari tentang adat istiadat, busana tradisional, kesenian rakyat,
termaksud musik tradisional Latotou yang terbuat dari potongan kayu terdiri
dari beberapa bunyi. Disamping itu, penelitian cerita rakyat tentang binatang
dan hantu serta penelitian rumpun bahasa Pancana. Dari beberapa temuan yang diperoleh,
para pakar Budaya negeri Jiran ini menelisik silsilah asal masyarakat Lipu yang
dekat dengan kekerabatan bangsa Melayu. Berdasarkan hasil penelitian sementara ketujuh pakar
budaya Malaysia tersebut terungkap jika masyarakat Lipu dan Katobengke berasal
dari semenanjung tanah melayu.
Hal
ini diungkapkan Kepala Bidang Nilai Budaya Sejarah dan Kepurbakalaan Dinas
Parsenibud Kota Bau-bau Ali Arham S Sos kepada wartawan Koran ini kemarin.
Kepala Bidang nilai budaya dan kepurbakalaan Dinas Parsenibud Kota Baubau Drs
Ali Arham, kesimpulan sementara tujuh pakar budaya Malaysia tersebut
berdasarkan hasil penelitian seperti bentuk pakaian tradisional masyarakat Lipu
dan Katobengke yang memiliki kesamaan orang Patani (salah satu suku Islam di
Thailand selatan). Dari segi perawakan wajah khususnya kaum wanita, masyarakat
Lipu dan Katobengke yang sering merawat wajah dengan menggunakan kunyit sebagai
bedak tradisional yang membuat seseorang menjadi awet juga sebagai resep
mujarab untuk pengobatan. Kepedulian masyarakat Lipu dan Katobengke terhadap
potensi alam khususnya keragaman hasil laut dan akar bahar juga sangat mirip
dengan perilaku masyarakat melayu.
Bahan
bahan ini digunakan sebagai resep untuk pengobatan dan mencegah berbagai macam
penyakit. Dari sekian banyak data yang dihimpun setelah melakukan kajian, para
pakar budaya Malaysia ini meyakini jika negeri Buton adalah negeri yang telah
lama memiliki peradaban. Terutama yang ditunjukkan oleh etnis Lipu dan
Katobengke salah satu etnis yang kini hidup di tengah tengah masyarakat Kota
Baubau dan tetap mempertahankan adat dan budaya. Tidak salah, jika saat ini
pemerintah Kota Baubau disaat kepemimpinan MZ Amirul Tamim yang melirik kawasan
palagimata sebagai kawasan pertumbuhan baru di Kota Baubau. Kawasan yang dikenal
masyarakat dengan sebutan kota Lipu morikana palagimata. Sebelum menuju Lipu
dan katobengke, tujuh pakar Malaysia ini juga telah menjamah Kecamatan
Surawolio.
Di Sorawolio mereka pun
menemukan banyak data baik tentang adat istiadat, bahasa Cia-Cia, Cerita rakyat
tentang legenda, pakaian adat dan kesenian masyarakat Senin (12/2). Bahkan,
juga ditampilkan pagelaran seni budaya masyarakat Cia-cia seperti tari mangaru,
Linda dan ngibi termaksud menampilkan menu tradisional masyarakat Cia-cia.Dari
hasil penelusuran para pakar Budaya Malaysia ini, rupanya Buton dan wilayah Eks
kesultanan memiliki beragam kekayaan budaya yang identik dengan peradaban
melayu.
- Hasil Kajian Pakar Budaya Malaysia di Bau-Bau
Kehadiran 7 pakar Budaya
Asal Negeri Jiran Malaysia yang telah melakukan penelitian terhadap kekayaan
budaya Buton menyingkap beberapa bukti kekerabatan antara Budaya Buton –
Melayu. Hal ini terungkap dalam Diskusi Budaya “Laporan Hasil Kajian Pakar
Budaya Malaysia †yang berlangsung di Baruga Kraton Wolio Kota Bau-Bau Senin
(19/2) Kegiatan ini dihadiri langsung Walikota Bau-Bau MZ Amirul Tamim, sekda
Kota bau-Bau H Sahiruddin Udu, para pejabat lingkup pemkot Bau-Bau serta para
tokoh adat serta para guru sejarah dari utusan sekolah se-kota Bau-Bau.
Beberapa fokus kajian yang dilakukan oleh para pakar budaya Malaysia diantaranya
naskah, Bahasa, adat istiadat serta beberapa kebiasaan masyarakat yang bermukim
di Buton.
Dalam salah satu kajian dari faktor Bahasa, dilakukan kajian terhadap
5 jenis bahasa diantaranya Bahasa Wolio, Cia-Cia, Pancana, Wanci, Kaledupa dan
Moronene. Menurut Prof Nuwairi dan Noriza Daud, seluruh jenis bahasa dan hasil
kajian yang dilakukan setelah menghimpun data di Kota Bau-Bau menyatakan jika
Bau-Bau yang merupakan pusat peradaban Buton adalah “Laboratorium Sosial
Masyarakatâ€. Sebab, disinilah mereka menemukan seluruh bukti peradaban yang
menyingkap kekerabatan antara bangsa Melayu dan Buton. Menurut para pakar
Budaya Malaysia ini, Buton adalah negeri yang memiliki peradaban tinggi yang
ditunjukkan oleh kekayaan jenis budaya yang dimiliki. Selain kajian faktor
Bahasa, pakar budaya lainnya Nor Azifa Che Din yang melaporkan hasil kajian
terhadap Konsep tradisi kehidupan melayu. Dalam laporannya Nor Azifa yang kini
tercatat sebagai salah seorang Akademisi dari Akademi Pengkajian Melayu
University Malaya mengungkap beberapa kesamaan antara masyarakat melayu dan
Buton. Diantaranya dari sisi perawakan antara warga Buton dan Melayu menurut
Nor Azifa memiliki kemiripan dari warna kulit, postur tubuh serta penerapan
sopan santun dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satu faktor yang menyolok
adalah siklus hidup yang dimiliki oleh masyarakat adat Buton dan Melayu. Satu
bukti yang ditemukan adalah pada proses kelahiran bayi bagi masyarakat Buton
perlakuan yang diberikan kepada sang ibu pada hari ke-7 dengan serangkaian
acara ritual. Demikian pula yang diterapkan oleh masyarakat adat melayu. Versi
masyarakat adat melayu, ritual ini dikenal dengan sebutan ‘Melenggang
perut’. Setelah memasuki pasca kelahiran, kaum ibu juga
menghadapi masa ‘berpantang’. Kebiasaan ini dilakukan baik masyarakat adat
Buton dan melayu. Hanya saja, bagi masyarakat adat Buton masa berpantang bagi
ibu yang telah melahirkan selama 40 hari dan bagi masyarakat adat Melayu
khususnya di Malaysia masa berpantang ini hingga hari ke – 44.
Dari berbagai
kesamaan ini, tampaknya para pakar Budaya Malaysia ini akan melakukan tindak
lanjut. Bahkan, merencanakan akan melakukan seminar di negeri Jiran Malaysia
setelah kembali dari Kota Bau-Bau. Keseriusan para pakar budaya Malaysia ini
terhadap Budaya dan kekayaan adat Buton juga telah dibuktikan dengan membuat
sebuah website khusus yang memuat tentang hasil kajian yang diperoleh selama
sekitar 10 hari di negeri Buton.