Pemerintah Kota Baubau dimasa pemerintahan
Walikota pertama Drs. MZ Amirul Tamim, M.Si mulai eksis mengembalikan nama
kebesaran budaya Buton di masa lalu. Nama dan istilah budaya Buton satu persatu
kembali terdengar. Bahkan dianjurkan pula bagi para siswa di setiap jenjang
pendidikan agar diberikan pelajaran sejarah lokal guna mengenang dan
melestarikan nilai budaya di masa lalu.
Di sepanjang tahun 2006, masyarakat Kota Baubau dialihkan perhatiannya di
beberapa kawasan eks peninggalan sejarah budaya yang memiliki nilai historis
mendalam bagi masyarakat Buton. Salah satu kawasan sejarah itu adalah
'Kotamara' yang berada di sepanjang garis pantai antara Kelurahan Wameo,
Kaobula dan Nganganaumala (kini wilayah kecamatan Murhum yang baru mekar dari
kecamatan Betoambari). Dan kini tengah dipersiapkan untuk direklamasi untuk
pembangunan Islamic Center dan dipersiapkan menjadi kawasan elit yang
dilengkapi dengan berbagai fasilitas diantaranya pendidikan dan rekreasi.
Bagi sebagian masyarakat Kota Baubau dan Buton secara umum apalagi generasi
sekarang mungkin hanya sekedar mendengar nama `Kotamara'. Namun latar belakang
pemberian nama serta apa yang terjadi di Kotamara di masa lalu pun tak pernah
terlintas. Dalam sebuah sumber sejarah Buton di masa pemerintahan Sultan Mardan
Ali (Sultan Buton V111 antara 1647-1654) yang dibunuh karena melanggar hukum
agama Islam, kawasan ini pernah ditepati oleh Kompeni Belanda.
Ketika itu tahun 1654 Sultan Ternate ‘Mandarsyah’ dan seorang panglima perang
Belanda De Vlaming hendak mengunjungi Buton untuk mengadakan perjanjian. Namun
karena Sultan telah dibunuh dan ketika itu belum memiliki pengganti. Oktober
1654 Sultan Mandarsyah dan De Vlaming maka mereka kembali ke Ambon.
Di Buton, kompeni Belanda diberikan izin untuk mendirikan 2 buah benteng
pertahanan di Kotamara. Kotamara artinya Kota Muara atau Benteng di Muara
Sungai. (Kota dalam bahasa Wolio berarti benteng). Ada juga yang mengartikan
Kotamara adalah Kota/benteng Merak. Karena ketika itu kompeni Belanda yang
mendirikan benteng di kawasan itu baru saja kembali dari peperangan di Amboina
banyak membawa Burung Merak.
Benteng di Kotamara ditempati para serdadu Belanda ditambah 40 serdadu Belanda
yang semula pengawal Sultan Mardan Ali. Para serdadu tersebut semula mengawal
Sultan sebagai bentuk penghargaan De Vlaming karena Sultan berbaik hati tetap
membiarkan para serdadu Belanda hidup dan tinggal sementara di Buton setelah
kejadian terdamparnya 5 kapal Belanda di Sagori (Pulau Kabaena) tahun 1650.
Nama Kapal tersebut yakni De Teger, Berknop Zoon, Ante Kerte, De Loewitpart dan
De Yuver.
Setelah Sultan Buton VIII (Mardan Ali atau Sultan Gogoli Liwuto) meninggal
digantikan Sultan IX yang bernama Oputa Musuruna Arataana (La Awu) dengan gelar
Sultan Malik Sirullah. Suasana berkabung masih menyelimuti Kesultanan Buton
atas meninggalnya Sultan VIII. Tahun 1655 sebuah kapal perang milik Belanda
dari Batavia (Jakarta ) datang ke Buton hendak memperkuat pertahanan di
Kotamara yang dipimpin Komondur Roos.
Kondisi ini dinilai sultan sebuah ancaman dan saat itulah Sultan memerintahkan
prajurit kesultanan untuk menggempur habis benteng Kotamara dan mengusir
Belanda dari Buton. Meski sempat mengadakan perlawanan, namun akhirnya pasukan
Belanda tidak dapat bertahan dan melarikan diri ke Kapal kembali ke Batavia .
Sedangkan 2 buah benteng di Kotamara oleh Syara Buton telah diratakan dengan
tanah.
Saat ini kawasan pantai Kotamara masih tampak dengan daratan yang rata
memanjang, kering ketika air laut surut. Sebuah bukti bahwa di masa lalu
kawasan ini teimasuk kawasan pertama di luar Benteng Kraton Buton. Karena
sempat berdiri 2 benteng pertahanan para serdadu Belanda.