DARI Bau-Bau
ke Makassar hanya sekitar 15 menit. Jangan salah sangka. Makassar yang ini
bukan kota dagang terbesar di kawasan timur Indonesia, melainkan sebuah pulau
kecil di depan Kota Bau-Bau, Sulawesi Tenggara (Sultra). Pemberian nama
Makassar terhadap pulau nelayan seluas 1,04 kilometer persegi itu terkait
dengan sejarah Kerajaan Buton.
Dalam
sejarah Kerajaan Buton yang ditulis A Ligtvoet tahun 1887 disebutkan, pada
tahun 1666 Gowa mengirim armada berkekuatan 20.000 personel untuk menghajar
Buton karena melindungi Aru Palakka yang memberontak terhadap kekuasaan Raja
Gowa. Aru Palakka yang menyelamatkan diri ke Buton tahun 1660 diterima baik
oleh Sultan Buton. Kehadiran putra bangsawan Bone itu kemudian melahirkan
perjanjian kerja sama antara Buton dan Bone yang intinya diikrarkan bahwa Buton
adalah Bone Timur dan Bone adalah Buton Barat.
Di lain
pihak, pada akhir tahun 1666 itu Batavia mengirim pasukan ke Makassar, dan
pasukan ini selanjutnya bergerak ke Buton yang ternyata sedang digempur oleh
pasukan pimpinan Karaeng Bonto Marannu dari Gowa tadi. Pasukan kompeni yang
dipimpin Admiral Cornelis Speelman terdiri dari 500 orang Belanda dan 300
bumiputra, di antaranya termasuk Aru Palakka.
Tentu saja
karena serangan dan strategi militer pihak kompeni lebih baik dan didukung
persenjataan yang lebih modern, pasukan Bonto Marannu terdesak. Bahkan, sekitar
5.500 orang di antaranya ditawan di sebuah pulau kecil di perairan Teluk
Bau-Bau. Pulau itu oleh orang Buton disebut Liwuto. Tawanan perang tadi
kemudian dilepas oleh Sultan Buton setelah pasukan Belanda meninggalkan Buton
dan pergi ke Ternate. Menurut Ligtvoet, pelepasan itu dilakukan setelah
pimpinan pasukan Gowa membayar tebusan.
Setelah
peristiwa itu, Liwuto lebih populer disebut Pulau Makassar, kemudian menjadi
nama resmi dalam administrasi pemerintahan. Namun, dalam kehidupan sehari-hari,
penduduk setempat masih tetap menyebutnya Liwuto, yang juga berarti pulau.
Bahkan, Liwuto telah diabadikan menjadi nama salah satu dari dua kelurahan di
Pulau Makassar. Penduduk pulau itu adalah etnis Buton.
PULAU
Makassar sampai pertengahan tahun 2002 berpenduduk 928 kepala keluarga (KK)
atau 4.398 jiwa. Terdiri dari dua kelurahan, Liwuto dan Sukaneyo. Pulau
Makassar merupakan bagian dari wilayah Kota Bau-Bau. Penduduk yang berdiam di
Kelurahan Liwuto 482 keluarga (2.317 jiwa) dan Kelurahan Sukanaeyo 446 keluarga
(2.081 jiwa). Sekitar 90 persen penduduk pulau itu hidup sebagai nelayan
tradisional.
Alat tangkap
yang digunakan antara lain jaring, bubu, dan pancing. Selain di perairan
sekitar pulau, nelayan Pulau Makassar juga menangkap ikan tenggiri dan
cumi-cumi di perairan Pulau Kabaena, Kabupaten Buton. Bahkan, sebagian nelayan
pulau itu harus berimigrasi ke Kota Kendari untuk mencari peluang baru di sana.
Kelompok
nelayan asal Pulau Makassar di Kendari menetap di Kelurahan Bungku Toko.
Perkampungan kelompok nelayan itu terletak di daratan Pulau Bungku Toko di
sebelah kiri ambang masuk Teluk Kendari. "Mereka sudah mendapatkan bantuan
alat tangkap dari pemerintah setempat", tutur Lurah Liwuto Jufri.
Nelayan
Pulau Makassar termasuk pekerja rajin dan ulet. Bila tidak melaut, pada siang
hari mereka menggeluti pertukangan kayu. Berbagai produk dihasilkan pulau itu,
mulai dari bahan rumah seperti daun pintu, kusen, lemari, ranjang, hingga
perabotan kantor. Bahan baku yang digunakan semuanya kayu jati.
Bahan baku
itu tentu saja didatangkan dari luar, yakni Pulau Muna. Sebab, pulau kecil itu
nyaris tak memiliki hutan. Tetapi, orang Bau-Bau sering juga menjuluki Pulau
Makassar sebagai pulau jati hanya karena menghasilkan kerajinan dari kayu jati.
Produk kerajinan
kayu jati Pulau Makassar dikenal baik kualitasnya. Sebab, para perajin yang
juga nelayan itu memiliki keterampilan yang telah diwarisi turun-temurun.
"Banyak warga Kota Bau-Bau membangun rumah di Surabaya dengan menggunakan
hasil kerajinan kami", tutur Manan (52), salah seorang ketua kelompok
usaha kerajinan kayu. Di pulau itu terdapat kurang lebih 20 kelompok perajin
kayu.
Nelayan
Pulau Makassar juga dikenal sebagai penghasil agar-agar. Kegiatan budidaya
rumput laut itu dilakukan pada musim angin timur. Pada musim kemarau perairan
sekitar pulau terlindung dari terpaan ombak. Ketergantungan pada iklim itu
menyebabkan panen hanya dilakukan sekali dalam setahun.
Berbeda
dengan hasil kerajinan kayu, produksi rumput laut sering membuat nelayan terpukul
karena harga dimainkan oleh pedagang antarpulau di Bau-Bau. Seperti dituturkan
Jufri, pada permulaan panen harga masih bagus. Namun, begitu produksi melimpah
pada saat memasuki puncak musim panen, harga rumput laut di kota itu biasanya
merosot tajam. Pada musim panen terakhir bulan Oktober-November 2002, harga
rumput laut di Bau-Bau tercatat Rp 3.000 per kilogram (kg). Padahal, pada awal
panen pernah mencapai Rp 6.000 per kg.
LAJU
perkembangan Kota Bau-Bau yang cukup pesat dalam beberapa tahun terakhir ini
justru menimbulkan dampak kurang menguntungkan bagi kelestarian lingkungan di
Pulau Makassar. Perairan di sekitar pulau itu, dan Teluk Bau-Bau pada umumnya,
sudah tercemar oleh polusi yang bersumber dari limbah dan asap perahu bermotor
maupun limbah industri dan rumah tangga di Kota Bau-Bau.
Akibat
gejala pencemaran itu, budidaya mutiara di Pulau Makassar yang dikelola sebuah
perusahaan penanaman modal asing (PMA) tidak produktif lagi. "Budidaya
mutiara sangat peka terhadap pencemaran", ujar Basri (36) dari PT Tiara
Indopearl Pulau Makassar.
Perusahaan
yang beroperasi sejak tahun 1988 itu terpaksa hengkang dari Pulau Makassar, dan
selanjutnya membuka proyek baru di Labuan Bajo, Flores Barat, Provinsi Nusa
Tenggara Timur (NTT). Sekitar 40 persen dari 157 orang karyawan menurut rencana
akan dibawa ke NTT, namun mereka keberatan meninggalkan kampung halamannya di
Pulau Makassar dan daerah lainnya di Buton.
Oleh karena
itu, mereka terpaksa dikenakan pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan kompensasi
yang memadai. Alman (35), karyawan yang telah bekerja selama 11 tahun di PT
Tiara Pearl mendapat pesangon Rp 4,3 juta. Uang itu oleh Alman yang drop out
Sekolah Teknik Menengah (STM) Bau-Bau dibelikan perahu bermotor yang
dioperasikan sebagai ojek laut pada trayek Liwuto - Bau-Bau. "Di antara
kami ada yang membeli ojek laut, dan ada pula yang membeli ojek darat",
papar warga Kelurahan Liwuto beranak satu tersebut. Karyawan yang tinggal di
Kota Bau-Bau sudah barang tentu membeli sepeda motor untuk dioperasikan sebagai
ojek.
Saat ini,
karyawan yang masih aktif sisa 13 orang. PHK terhadap karyawan perusahaan itu
dilakukan secara bertahap sejak hampir dua tahun terakhir ini, setelah produksi
mutiara makin menurun. Pada awalnya, setiap kali panen usaha budidaya di Pulau
Makassar menghasilkan enam kg mutiara kelas satu. Dalam setahun berlangsung
empat kali panen, atau total produksi rata-rata 24 kg per tahun.
Belakangan,
produksi itu merosot sampai 50 persen. Panen terakhir yang dilakukan Januari
2003 hanya menghasilkan tiga kg mutiara. Harga juga cenderung menurun, kendati
harga mutiara tetap jauh di atas harga emas yang berkisar di bawah 10 dollar AS
per gram. Jika pada masa-masa puncak produksi harga mutiara mencapai rata-rata
40 dollar AS per gram.
BAGI
penduduk Pulau Makassar, kepergian perusahaan Jepang itu berarti suatu
kehilangan besar. Selain menampung karyawan yang sebagian besar penduduk
setempat, PT Tiara Indopearl juga memiliki kepedulian terhadap kehidupan
penduduk sekitarnya. Sekolah dan rumah-rumah ibadah di pulau itu banyak
mendapat kucuran bantuan dana dari perusahaan tersebut.
Banyak
potensi alam Pulau Makassar yang terganggu akibat terjadinya proses pencemaran
di perairan Teluk Bau-Bau. Penyu yang sejak dulu menjadi salah satu sumber
ekonomi penduduk setempat, belakangan ini makin langka di perairan pulau itu.
Komoditas
lainnya seperti teripang juga cenderung makin berkurang populasinya di perairan
Pulau Makassar. Padahal menurut Lurah Liwuto Jufri, teripang di perairan itu
termasuk jenis yang mahal harganya. Penduduk setempat menyebutnya teripang
bola-bola hitam. Harga teripang jenis ini mencapai Rp 110.000 per kg. Ada juga
jenis bola-bola merah, namun lebih murah, hanya Rp 8.000 per kg.
Kelompok
nelayan yang secara spesialis berburu teripang di perairan Pulau Makassar, pada
bulan puasa lalu berhasil panen sekitar 300 kg teripang bola-bola hitam.
Kelompok itu sempat menyumbang untuk kas kelurahan sebesar Rp 10 juta.
"Jangan-jangan itu panen terakhir bagi kami", ujar seorang anggota
kelompok melukiskan kekhawatirannya terhadap gangguan kelestarian lingkungan di
sana.
Selain
limbah minyak dan asap perahu motor sebagai alat angkutan pokok antarkelurahan
yang terletak di pinggir pantai Teluk Bau-Bau, termasuk Pulau Makassar, limbah
industri dan rumah tangga juga besar kontribusinya bagi pencemaran laut di
daerah itu.
Sudarman
(42), karyawan PT Tiara Indopearl mencurigai erosi lumpur dari Desa
Karing-karing mengandung sisa pestisida sebagai sumber pencemaran berat di
perairan Pulau Makassar. Desa yang terletak di hulu beberapa anak kali yang
bermuara ke Teluk Bau-Bau itu merupakan daerah persawahan dengan sistem irigasi.
KENDATI
secara administratif Pulau Makassar merupakan wilayah Kota Bau-Bau, nuansa desa
di pulau itu masih kuat. Keheningan tanpa hiruk-pikuk kendaraan bermotor
menjadi suasana yang amat dominan.
Di pulau itu
saat ini cuma ada tiga sepeda motor. Itu juga jarang dipakai, kecuali dibawa ke
kota oleh pemiliknya untuk memperlancar urusan. Pergi ke kota (Bau-Bau) warga
naik ojek laut (perahu bermotor) dengan tarif Rp 1.000 per penumpang. Jarak
Pulau Makassar dengan Bau-Bau hanya satu mil lebih sedikit.
Di daratan
Pulau Makassar belum ada jalan raya, kecuali garis-garis jalan setapak yang
membelah blok-blok perkampungan penduduk. Sebagian jalan setapak itu telah
dikeraskan dengan semen melalui proyek pengembangan kecamatan, dan sebagian
lagi masih jalan tanah.
Secara
sepintas lalu terkesan bahwa nelayan di pulau itu tidak terlampau miskin, juga
tidak kaya. Lebih separuh perumahan mereka dibangun permanen. Anak-anak mereka
juga banyak yang bersekolah sampai perguruan tinggi. Manan, nelayan merangkap
tukang kayu baru menamatkan seorang putranya menjadi sarjana di Universitas Haluoleo
Kendari. "Anak itu masih menganggur. Sedangkan adiknya tamatan SLTA
Bau-Bau saya pekerjakan di pertukangan ini", tuturnya.
Sarana
pendidikan di Pulau Makassar terbilang cukup. Di sana terdapat dua taman
kanak-kanak (TK), tiga sekolah dasar (SD), dan satu sekolah lanjutan tingkat
pertama (SLTP). Anak-anak yang melanjutkan ke sekolah menengah umum (SMU) dan
perguruan tinggi harus ke Bau-Bau pulang pergi. Hanya SD di Kelurahan Sukaneyo
yang agak kewalahan menampung murid. Daya tampung SD yang hanya tujuh bilik itu
perlu ditambah minimal empat bilik sehingga tidak ada rombongan belajar sore.
"Sebagian anak-anak selama ini terpaksa belajar sore secara
bergilir", tutur Lurah Sukanaeyo Syaifuddin.
Kesenyapan
di pulau itu akan semakin memagut bila mesin diesel listrik Perusahaan Listrik
Negara (PLN) di Liwuto tidak bekerja alias macet. Kata Jufri, mesin itu lebih
banyak macetnya sehingga malam di Pulau Makassar seolah lebih panjang karena
kegelapan.
Pihak PLN
Bau-Bau, menurut Lurah Liwuto itu, sudah menyanggupi untuk menyambung kabel
langsung dari mesin PLN Bau-Bau ke Pulau Makassar melalui Desa Lowu-lowu, masih
di Kota Bau-Bau. Pantai Lowu-lowu dengan pulau itu berjarak hanya 700 meter.
Penduduk di dua kelurahan di pulau itu juga sudah sepakat menyediakan pondasi
beton secara swadaya untuk pijakan tiang-tiang jaringan kabel.
Bila listrik sudah menyala
sepanjang hari, bukan tidak mungkin investor bisa masuk Pulau Makassar. Peluang
yang ada antara lain industri pariwisata bidang perhotelan. Di sebuah tebing
pulau itu sangat fantastis jika dibangun hotel berbintang. Dari tebing itu Kota
Bau-Bau rasanya bisa digenggam. Bila impian itu menjadi kenyataan, maka mutiara
dari Pulau Makassar yang hilang bakal kembali dalam bentuk lain.