1.
RAJA
I WA KAA KAA RAJA BUTON YANG PERTAMA.
Berdasarkan hasil musyawarah bersama
dari Bontona Peropa Betoambari dan Sangariarana Bontona Baluwu serta kedua Bonto
lainnya yang termasuk dalam Patalimbona, maka diangkatlah seorang kepala dari
negeri Wolio untuk pertama kalinya bernama putri Wa Kaa Kaa. Putri Raja ini
dikenal dengan nama pengganti “Mobetena i-tombula”. Adapun asal
usulnya tidak diketahui kecuali konon menurut riwayat dahulu kala adalah
seorang pemburu rusa yang bernama “Sangia Langkuru”. Ia berdiam
dalam Keraton kampung Peropa. Pada suatu hari Sangia Langkuru pergi berburu
rusa disertai oleh seekor anjingnya. Ketika Sangia Langkuru berada di kali Bau-Bau
yaitu sekitar Keraton sekarang maka ia jauh ketinggalan di tinggalkan oleh
anjingnya. Anjingnya tersebut sudah berada di Lelemangura dan sedang
menggonggong seakan-akan sedang menyerang musuhnya. Karena itu Sangia Langkuru
berlari mendapatkan anjingnya dan sampai
dibukit Lelemangura. Tetapi alangkah kecewanya Sangia Langkuru, karena bukanlah
rusa yang sedang diserang oleh
anjingnya, tetapi serumpun Buluh Gading yang tumbuh di atas
sebuah batu. Sedang ia tercengang menyaksikan yang aneh itu, maka ia pun segera
meninggalkan tempat itu dan mencari seorang ahli nujum untuk diterangkan bahwa
dalam buluh gading tersebut ada seorang manusia. Kabar kejadian itu tersiarlah
di kalangan penduduk diantaranya sampai ke telinga kepala suku yaitu Betoambari
Bontona Peropa yang pertama serta anaknya, Sangariarana Bontona Baluwu.
Rakyat pun pada berdatangan di tempat itu
menyaksikan kejadian yang aneh itu. Setelah beberapa pemuka masyarakat dan
kepala suku bermusyawarah maka diputuskanlah bahwa buluh gading itu akan
dipotong dan dibawa kesebuah batu supaya manusia yang ada di dalamnya itu dapat
keluar, batu mana terletak di muka Mesjid Agung Keraton Buton yang sekarang.
Batu tempat buluh gading itu dipecahkan kelak disebut “Batu Ponu”
atau juga “Batu Poana”, yang lazim dengan “Batu Popaua”.
Adapun manusia yang diketemukan dalam buluh gading itu adalah seorang wanita
yang bernama “Wa Kaa Kaa” dan inilah yang dimaksud dengan “Mobetena
i-tombula”. Kulitnya kuning langsat, rambutnya pirang perawakan sedang.
Pendeknya pada dirinya lengkap tanda-tanda kejelitaan. Hanya saja yang
mengherangkan orang banyak yang mengelilinginya itu, ialah gadis itu menutup
seluruh badannya dengan rambutnya dan tidak berkata sepatah pun. Akhirnya
berkatalah Betoambari “Bukalah tutup badanmu, nanti kami poana engkau” (maksudnya kami angkat
sebagai anak kami) sambung Betoambari lagi. Gadis itu hanya membuka badannya
sedikit. Akhirnya Betoambari berkata lagi, “bukalah engkau lala (sempat
bebasa) di luar dan di dalam”. Mendengar kata yang terakhir itu barulah
gadis itu membuka seluruh badannya. Demikianlah dan batu tempat buluh gading
itu dibuka dibelah dan Wa Kaa Kaa
diangkat sebagai anak oleh Betoambari dikemudian disebut dengan Batu
Popaua atau seperti disebutkan di atas Batu Ponu atau Batu
Poana.
Alkisah maka dari tempat
itu Wa Kaa Kaa akan di bawa maka terjadi angin kencang dan petir sambar
menyambar. Setiap kali akan di bawah setiap kali itu pula terjadi keburukan
cuaca, sehingga perjalanan itu tertunda-tunda. Di antara orang yang datang
menyaksikan peristiwa tersebut adalah seorang wanita yang bernama “Wa Dua”.
Dalam keadaan demikian Wa Dua pun tertidurlah. Di dalam tidurnya itu ia
mendengar suara yang berkata: “Tidak akan kuizinkan cucuku itu, engkau
membawanya begitu saja, tetapi sediakan baginya payung, gendang dan semua
peralatan kebesaran Raja”. Setelah Wa Dua terbangun dari tidurnya itu
maka diberitahukanlah buah mimpinya itu kepada Betoambari. Kebetulan pada waktu
itu yang mempunyai gendang barulah Betoambari dan Sangariarana tetapi seorang
pun diantara mereka belum ada yang mempunyai payung.
Kebetulan di Daoana Peropa
dekat rumah Betoambari tumbuh pula sebatang cendawan payung yang amat besar
sekali (dalam bahasa wolio disebut Huu). Maka untuk mencukupkan kebesaran Raja,
cendawan itu pun dipetik dan kemudian diantarlah Wa Kaa Kaa ke rumah Betoambari
diiringi oleh pukulan gendang serta dipayungi dengan cendawan besar itu.
Kemudian semua peristiwa di tempat itu menjadi contoh bagi setiap pelantikan
Raja atau Sultan dikemudian hari yang memerintah di Buton. dengan demikian itu
maka batu ponu itu disamakan juga batu popaua artinya batu tempat Raja
diputarkan payung kemuliaan (dinobatkan).
Demikian itu sekedar
asal-usul singkat putri Wa Kaa Kaa, yang pelantikannya sebagai Raja pertama
telah dilakukan oleh Betoambari dan Sangariarana di atas batu Popaua. Kemudian
dengan kata sepakat para Bonto kerajaan maka Wa Kaa Kaa dikawinkan dengan putra asal dari
kerajaan Majapahit yang bernama “ Sibatara”.
Sebelum menguraikan masa kerajaan putri Raja Wa
Kaa Kaa maka ada baiknya diuraiakan sepintas lalu asal usul dari Sibatara yang
mengawini Raja Wa Kaa Kaa tersebut. Seandainya diadakan penyelidikan akan data
tahun terdapatnya putri Wa Kaa Kaa maka
hal ini tidak dapat dipisahkan dengan penyelidikan medatangan Sibatara, sehingga
dengan demikian itu, dapatlah diketahui kedatangan Wa Kaa Kaa. Oleh karena data
dalam hubungan Wa Kaa Kaa tidak ada selain diriwayatkan berasal dari buluh
gading, maka yang dapat menjelaskannya adalah di adakan penyelidikan
kedatangan Sibatara, karena
ini ada data penunjangnya, namun tidak jelas tahunnya. Dalam buku hikayat
Sipanjonga anonim, terdapat penulisan sebagai berikut:
“Ada pun hamba ini telah sampai kemari sebab
kelakuan hal cucuku ini tiga orang kembar, dua orang laki-laki dan seorang perempuan,
dibuangkannya oleh bapaknya kelaut ketiganya. Sebab maka Betoambari pun
bertanya pula, ya tuanku adapun bapa cucu tuan hamba ini siapa namanya dan anak
mana dan apa nama negerinya. Maka menyahut Batara guru itu, adapun nama
bapaknya Raja Manyuba dan nama negerinya Majapahit dan asalnya asal kamu juga
tiada lain, baharu dua zaman diturunkan Allah SWT kedalam dunia1)”.
Dari hasil cukilan di atas
dikatakan bahwa Sibatara berasal kembar tiga, dimana saudaranya yang pertama
bernama Raja Bau Besi yang konon menjadi Raja di Ternate dan yang kedua yaitu
saudara perempuannya bernama putri Lasem di kawini oleh Raja Luwuk, yang karena
hubungan-hubungan ini di antara kerajaan Buton, Ternate dan Luwuk erat sekali
kaitannya. Berdasarkan bahan-bahan penulisan di atas yang mengungkapkan bahwa
Sibatara berasal dari putra bangsawan Majapahit yang sebagaimana juga tertulis di
dalam buku silsilah bangsawan Buton dengan aksara Arab Jawi, maka sudah dapat
digambarkan kebenaran asal Sibatara dan sekaligus masa kerajaan Buton dengan
Ratu I Wa Kaa Kaa dengan mengambil bahan perbandingan yang terdapat di dalam
buku sejarah Nasional, dengan mendahulukan keterangan yang diperoleh
turun-temurun tentang Sibatara yang akan menjadi penunjangnya sebagai berikut :
La Adi Ma Faoka menerangkan
bahwa Sibatara berasal dari putra bangsawan dari Majapahit, sehingga maka
itulah bangsawan Buton dikatakan berasal dari Jawa, yang secara turun-temurun
menjadi Raja / Sultan atas negeri Buton, terakhir dengan Sultan Muh.Falihi
Kaimuddin Sultan Buton yang ke 38 / terakhir, yang menjabat dari tahun 1938 s/d
1960, karena wafatnya.
Dalam versi lain secara
tertulis dari Abdul Khalik Bonto Ogena Matanayo, pembesar kerajaan di masa
Sultan Muh. Idrus Kaimuddin I, dalam nota tugasnya yang ditulis dalam aksara
Arab Wolio terdapat antara lain :
“Kaapaaka oasalana
kadaangiana bari-baria lalaki i tana Wolio siate lalaki i Jawa” artinya
“karena
sebab asalnya bangsawan Wolio itu berasal dari bangsawan Jawa (Majapahit)”.
Lebih jauh dapat dikemukakan disini bahwa beradanya
Sibatara di Buton mungkin sekali berasal dari salah seorang diantara sekian
banyaknya orang Jawa atau Punggawa-punggawa yang menjadi raja di daerah-daerah
yang ditaklukkan oleh Majapahit, yang mungkin dalam hubungan ini sebagai bahan
penunjangnya dikemukakan tulisan Anwar Sanusi sebagai berikut
Yang menjadi raja di daerah
yang ditaklukkan Majapahit itu kebanyakan orang Jawa juga, diangkat oleh
Rajasanagara untuk mengganti baginda di sana.
Lalu lintas pada zaman itu tentu (tidak mungkin) belum selekas sekarang,
sehingga kuasa Majapahit itu tentu tidak mungkin sampai mengenai urusan-urusan
pemerintahan suatu jajahan. Majapahit mengirim ponggawa-ponggawa ke pulau–pulau
dan negeri-negeri itu untuk memungut upeti dan pada saat yang tertentu
raja-raja ditanah sebrang itu atau wakil-wakil mereka harus datang ke Majapahit
untuk memperlihatkan kesetiannya. Yang lalai membayar upeti atau tidak setia
pada Majapahit sehingga ia dicurigai diperangi sampai ia tunduk lagi atau
binasa. Angkatan laut Majapahit tentu besar dan demikian pula bala tenteranya
dst.....2)
Kemudian pada lembaran lain
Anwar Sanusi :
Kemudian dengan pasti dapat
dikatakan, bahwa pulau Bali ditaklukkan pada
tahun 1343. Penaklukkan Bali itu dipimpin oleh Gaja Mada sendiri dan sangat
besar artinya karena Badahulu raja Bali berkuasa atas negeri-negeri Kangoan,
sebagian Sumbawa, Lombok, Madura, Ujung Jawa Timur, dan Lagi sebagian Pulau
Sulawesi. Setelah Bali ditaklukkan maka sekali negri itu mengakui kekuasaan
Majapahit dst......3)
Sejarah Indonesia dan
dunia SMP Frater Makassar tercantum:
Menurut Nagarakartagama
maka keadaan Majapahit pada zaman Hayam Wuruk sangat indah dan mempunyai banyak
negara jajahan (kekuasaan) yang sebenarnya mempunyai pemerintahan sendiri
tetapi mengaku takluk pada negara Majapahit. Di dalam Nagarakartagama disebut
daerah-daerah: Sumatra, Jambi, Palembang, Narintang
(Indragiri), Toba, Kandis, Minangkabau, Siat, Rokan, Kampar, Panai, Madailing,
Tamiangperlak, Lampung dan Baroh. Di Kalimantan Kapuas, Sampit, Kota Lingga,
Kota Waringin, Sambas, Kandangan, Landak, Berunai, Baritu, Sabuku, tanjung
Kutai, Malamu, dan Tanjung Puri. Di Semenanjung Malaka : Johor, Lengkasuka,
Kelanteng, Teranggano, Naor, Pakah, Muar, Tumasik (Singapura), Kedu, Singkep,
Karimun, dan daerah-daerah sebelah timur pulau Jawa; Bali dengan ibu kota
Badalu, Dompo, Seram, Lombok Barat, Lombok Timur, Bonthain, Luwuk, Pulau
Talaut, Makasar, Buton, Bangai, Selaray, Sumbawa, Solor, Banda, Ambon, Irian
Selatan dan Timur dst......4)
Dengan bertitik tolak atas bahan-bahan
perbandingan di atas, kita telah dapat memperoleh suatu gambaran yang
memungkinkan tenggang waktu masa kerajaan Ratu pertama Wa Kaa Kaa yang
diperkirakan disekitar awal abad ke 14, tetapi pasti sebelum Prabu Hayam Wuruk.
Akan lamanya masa kerajaan Ratu pertama, juga tidak dapat diketahui namun dapat diterangkan bahwa sebagai
pelambang kebesaran raja, ditempatkan diistana sepuluh orang anak laki-laki dan
sepuluh orang anak perempuan, serta 60 orang laki-laki pilihan yang gagah
perkasa sebagai pengawal istana. Pada penutupan uraian masa kerajaan Ratu pertama
Wa Kaa Kaa diterangkan bahwa dalam perkawinannya Sibatara, Ratu pertama
memperoleh 7 orang putri semuanya perempuan dan tidak ada seorang putra dan masing-masing
adalah :
- Bulawambona
- Patalombona
- Patolasunda
- Patolakamba
- Wabetao
- Wabetao
- Paramasuni.
Dari ketujuh putrinya di
atas satu-satunya yang tinggal di Wolio adalah Bulawambona yang dikawinkan
dengan La Baluwu putra dari Sangariarana Bontona Baluwu pertama, sedangkan keenam
putrinya yang lain, terbang menghilang bersama-sama ibunya. Tinggalkan Buton
menuju kota
Intan, demikian kalangan leluhur mengakhiri riwayatnya. Dalam fersi lain yaitu
buku hikayat Sipanjonga dikatakan bahwa putri Ratu Wa Kaa Kaa terbang kembali
kekayangannya dan tidak disinggung-singgung putri-putrinya, selain dikatakan
bahwa pada waktu terbangnya kembali maka tinggallah Sibatara dan Bulawambona
yang jatuh diharibaan ayahnya. Dengan penuh kesedihan karena kehilangan
ibundanya tercinta.
2.
KEPERCAYAAN
MASYARAKAT DI MASA KERAJAAN.
Mengungkapkan kalau faham apa dan kepercayaan
mana yang dianut oleh masyarakat Wolio sebelum Islam, juga tidak diperoleh
bahan-bahan keterangan yang positif yang dapat dijadikan landasan, namun dapat
dikemukakan disini bahwa faham dan kepercayaan masyarakat kerajaan adalah “Serba
Rokh” (Animisme) atau Hindu Budha. Ini tidak akan terlalu jauh bergeser
dari pada keadaan yang sebenarnya dengan mengindahkan dan mengambil bahan
sebagai penunjangnya atas fakta-fakta peninggalan leluhur Wolio yang sudah
tradisional, seperti adanya kata-kata teguran yang dilontarkan oleh orang tua
yang bersifat memarahi anak-anaknya dengan mengucapkan perkataan “aala
mpuu katauna barahmana” artinya menganut faham Brahmana. Kata-kata
teguran ini digunakan pada waktu-waktu seorang anak berkelakuan kurang baik
sehingga sangat bertentangan dengan faham dengan ajaran agama Islam, misalnya
menduakan Tuhan, masih ada lagi yang lebih berkuasa selain dari pada Tuhan.
Kiranya pengucapan atas kata-kata tersebut dapat dijadikan pegangan sementara,
adanya masuk faham Brahma pada masa silam dan adanya faham Hindu Budha tidaklah dapat disangkali
pertumbuh di Buton dan ini dapat dikaitkan dan dihubung-hubungkan dengan
penguasaan Buton oleh kerajaan Majapahit, serta beradanya Sibatara di Buton
yang sebagaimana diuraikan beristrikan Ratu pertama Wa Kaa Kaa dan kiranya
kedatangannya di Buton itu Sibatara adalah sebagai ponggawa yang mewakili
kerajaannya untuk memungut upeti dari kerajaan Buton. Oleh karena hubungan ini
pula dan diawali oleh perkawinan tersebut, maka tidaklah sangat dirasakan bahwa
kerajaan Buton berada di dalam kekuasaan kerajaan Majapahit.
Mengungkapkan lebih jauh
lagi kalau faktor-faktor apalagi yang dapat dijadikan bahan penunjang dan
menguatkan akan adanya faham animisme di Buton, dirasa perlu diungkapkan
beberapa adat kebiasaan dari masyarakat yang dikaitkan dengan alam kepercayaannya
sebagai berikut :
(1).
Adanya kepercayaan bahwa nyawa atau rokh
manusia tidak mati tetapi hanya berpindah dari badan yang satu ke badan yang
lain, sehingga karena itu kata rokh menurut bahasa wolio disebut “lipa”
atau pergi dan dalam kepercayaan serba rokh barangkali dimaksudkan dengan rengkarnasi. bahwa sesuai dengan adat dan
kepercayaan sampai sekarang masih dapat dalam masyarakat, walaupun tidak
seperti pada masa lampau lagi adalah upacara “pebahoana momatena”,
yang dilaksanakan sesudah lepas tujuh malamnya kematian, semua anggota keluarga
yang ditimpa kematian bahkan keluarga yang lainnya juga karena adat kebiasaan
harus dimandikan dan yang sebaik-baiknya di kali karena airnya mengalir, yang
dilakukan oleh seorang tua. Maksud dan tujuannya secara hakekat adalah
membersihkan rokh yang bakal akan lahir kembali. Apa yang kurang baik yang
bakal menimpa keluarga yang ditinggalkan telah sudah dibawa pergi oleh simati
dan tinggallah kebaikan yang akan dihadapi keluarga, demikian kalangan orang
tua dengan segala keterangannya.
Dalam hubungan alam kepercayaan ini,
menarik perhatian atas tulisan dari H.J.van den berg ddknya yang penulis
ketengahkan sebagai bahan perbandingan :
Orang Gautama beragama Hindu;
jadi pangeran itupun termasuk jugalah kedalam golongan itu. menurut kepercayaan
orang Hindu, segala makhluk akan lahir kembali, beberapa lama setelah meninggal
dunia. Terkadang waktu antara meninggal dunia dan kelahiran kembali itu dapat
mempunyai berjenis-jenis rupa. Mungkin mereka menjadi Dewa, rokh setan, manusia
atau hewan. Hal itu tergantung dari pada tingkah lakunya dalam hidupnya yang
lampau. Kalau jumlah perbuatannya yang baik dalam lampau itu lebih banyak dari
pada kejahatan yang dilakukannya, maka mereka akan mendapatkan wujud yang lebih
tinggi tingkatannya, kalau terjadi kebalikannya, maka wujud yang didapatnya
akan lebih rendah. Orang Hindu mengatakan dalam hal itu : “karma”
yang baik atau yang buruk.
Rentetan
kelahiran kembali itu dinyatakan mereka juga dengan perkataan sendiri, yang
disebutnya ”samsara” dst.....5).
Kepercayaan
serba rokh dan hidup kembali, masih terdapat di dalam kalangan masyarakat Buton, dan apa bila menjelma
kembali bukan sebagai manusia, maka itu dikatakan sebagai “dauru”
yang dalam hal seperti itu, ada yang hidup kembali dalam bentuk ular, buaya dan
sebagainya. Teringat kami dengan cerita Sangia I Rape putra sultan Murhum yang
langsung menjelma sebagai buaya, setelah berada di air dan La Ode Wuna menjadi
ular kemudian dibuang dan dikenallah dengan mata air yang dinamakan dengan “uwe
igoraaka”, terdapat tidak jauh dari kampung Wakorumba Lutu Kecamatan
Wakorumba Muna.
(2). Percaya pada berhala dengan menyembah
patung-patung atau batu.
Bonto kerajaan yang disebut Patalimbona pelantikannya di masa
lampau sebelum Islam berlangsung di atas batu dan ini kemudian dikenal adanya
Batuna Peropa, Gundu-Gundu, Baluwu dan Barangkatopa.
Pejabat Sultan yang baru juga dilantik di
atas batu dan ini disebut Batu Popaua. Kemudian batu kenia sampai dimana rakyat
menyatakan sumpahnya dan batu tersebut masih dikenal terdapat tidak jauh dari
lawana Lanto tidak jauh dari benteng.
Makam Raja Tobe-Tobe Dungkung
Cangia, diatasnya terdapat banyak batu yang merupakan batu nisan, namun tidak
teratur sebagai halnya nisan pada kuburan yang lazim dan umum, menunjukan
kuburan masa lampau. Dan masih banyak data-data lainnya yang merupakan adat
kebiasaan yang berlangsung di atas batu.
(3)
Adanya
kepercayaan bahwa pada pohon beringin.
Wuraha
bahasa Wolionya terdapat makhluk halus yang dapat mematikan dan menghidupkan
dalam arti manusia yang jahat dan manusia yang penyayang serta pengasih, yang
hingga sekarang masih didapatkan pada masyarakat pedalaman Buton. Meraka takut
sekali-kali untuk menebang pohon beringin dan kalau juga terpaksa harus
ditebang, lebih dahulu diadakan mantera-mantera dengan memberi makan makhluk
halus tersebut sebagai suatu pernyataan batin memohon izin dan berkenan agar
tidak diganggu dan ini semua melalui suatu upacara khusus yang dilakukan pula
dengan khusus dan dengan penuh kepercayaan disertai keyakinan yang mantap.
Apalagi
kalau beringin itu tumbuhnya didekat makam raja-raja yang dikeramatkan, seperti dalam benteng Keraton
hingga sekarang masih terdapat pada dua makam sultan, masing-masing pada makam
sultan Murhum di Lelemangura dan makam sultan La Tangkaraja pada Bada Lakambau,
dengan daunnya yang rimbun dan sudah besar batangnya, menunjukan keramatnya
tempat itu. kalau kami berada dibawahnya, terlebih pada waktu jauh malam gelap
gulita, membawa perasaan
ke alam serba rokh dan hanya karena percayaakan diri sendiri dan iman yang teguh,
kita berani langgar/lewat diwaktu malam hari terlebih pada waktu sudah larut
malam.
(3)
Adanya
upacara-upacara adat kebiasaan berhala antara lain yang masih dijumpai dalam
masyarakat Buton, apalagi dipedalaman adalah:
a.
Pakandeana
jini
maksudnya memberi
makan jin, ini dilaksanakan pada waktu ada kesusahan dalam keluarga
bersangkutan seperti ada anak yang sakit terus-menerus, walaupun telah diobati
hanya berhenti sebentar (soala dawuna, kata mereka orang wolio) lalu kembali
lagi atau tiba-tiba ada yang diserang suatu penyakit mendadak seperti muntah,
pusing kepala dan sebagainya.
b.
Pakandeana
kiwalu
maksudnya memberi
makan tikar; meletakan serba makanan di atas tikar pada loteng rumah atau kamar
tidur suami-isteri dan ini dikerjakan kalau misalnya suami-isteri sudah lama
kawin tetapi belum juga mendapatkan anak, atau karena rezeki suami-isteri
kurang sehingga tidak mencukupi kehidupan rumah tangga walaupun juga telah berusaha dengan sekuatnya, atau karena rumah tangga (suami-isteri) tidak
tenteram dalam arti sering bertengkar atau ada keributan dalam keluarga.
c.
Pakande
wurako maksudnya
memberi makan kepada makhluk pemarah, seperti misalnya mimpi dipukul orang
sehingga jatuh sakit; biasanya terjadi seperti tersebut pada badan nampak
bekasnya yang kebiru-biruan bagaikan bekas pukulan orang dan kalau melihat yang demikian orang tua berkata
“akandea wurako” artinya “dimakan oleh makhluk jahat”.
Pada umumnya menurut tanggapan dan kepercayaan hal seperti ini berasal dari
sesama manusia yang sakit hati (katauna makhaluku rangana).
d.
Dole-dole, suatu upacara terhadap
anak yang kudis–kudisan tidak mau sembuh, atau untuk mencegahnya, diadakan
upacara dole-dole dan sang anak diletakan di atas nyiru yang
dialas dengan daun pisang yang diminyaki, kemudian si anak digulingkan diatasnya
sehingga seluruh badan anak itu berminyak.
e.
Syara
Wajo, Syara Liabuku, Syara Ipaa dan masih banyak lagi merupakan suatu
adat kebiasaan yang sudah tradisional dari masyarakat Buton, yang disana-sini
masih nampak sekarang.
Demikianlah berakhirnya masa
kerajaan putri I Wa Kaa Kaa yang berasal dari kayangan dan kembalinya ke
kayangan pula.
3.
RAJA
BUTON YANG KE II PUTRI RATU BULAWAMBONA.
Bulawambona dinobatkan menjadi raja menggantikan
ibundanya sebagai Raja Buton yang ke II. Dari perkawinan dengan La Baluwu,
Bulawambona mempunyai seorang putra yang dinamainya Bancapatola, yang kelak putranya ini masyhur dengan
nama Bataraguru setelah kembalinya dari Majapahit. La Baluwu sendiri selain putranya pada
Bulawambona tersebut juga mempunyai sembilan orang putra dari gundiknya yang
nama-namanya menurut gelar jabatan Bonto Siolimbona.
Dalam masa kerajaan Bulawambona ini
tidak ada bahan yang dapat diuraikan disini, selain dari pada satu-satunya
pesan beliau kepada para Bonto Siolimbona supaya pada makamnya apabila
meninggal nanti dibakarkan lampu diatasnya.
Dan pesan ini tidak diketahui sebabnya
mengapa kemudian tidak lagi terlaksana, namun telah berjalan beberapa lamanya.
Bahwa makam Bulawambona
terdapat tidak jauh dari Mesjid Agung Keraton, di pinggir Daoana Bawo di dalam
benteng Keraton. Sebagai akhir dari uraian masa kerajaan Bulawambona dapat
diterangkan bahwa pada waktu itu sudah dikenal adanya mata uang kerajaan yang
beredar, tetapi masih terbatas di dalam kerajaan dengan nama “Kampua”.
Dan hal ini sesuai dengan wasiat putri Ratu I Wa Kaa Kaa kepada para Bonto
kerajaannya yang untuk lengkapnya pesannya ini sebagai berikut:
“Setelah sudah
diangkat oleh Bulawambona dan La Baluwu itu maka Wa Kaa Kaa itupun berpesanlah
kepada Betoambari dan Sangariarana demikian bunyinya pesannya:
Hee Bapakku, dengar pesanku
ini. Jangan kau lalui oleh anakku ini; jangan kau melihat dan ikutkan salahnya
dan bebalnya atas kamu dalam tangan kamu kedua kita hubaya-hubaya jangan
ajarkan baik karena lagi muda titah dan jangan kau kesana-kesini,
peliharakanlah anak kita ini seperti engkau memeliharakan daku”
Setelah sudah berpesan
tersebut Wa Kaa Kaa, maka diambilnya anta-kasumu (baju) anaknya,
Bulawambona lalu dilihatnya nata-kasumu itu dengan empat-empat jari lebarnya
anta kasumu itu, yaitu Sangkia namanya maka diberikan berikan
Betoambari dan Sangariarana sangkia itu seraya berkata
“Hee menteri yang
budiman lagi bijaksana kamu kedua kamu itu ambillah olehmu anta kasumu hamba
itu hubaya-hubaya jangan tiada kamu suruh orang berbuat belanja akan seperti
ini lebarnya ampat jari akan belanja dalam negeri ini”.
Hee menteriku dengarkan pesanku ini. Jangan kamu
akan mengambil akan belanja seperti belanja negeri yang lain supaya selamat dan
berkat negeri ini. Ambillah belanja kamu seperti pesanku ini jikalau kau lalui
seperti kataku ini, kamu atawa anak cucumu, nyawa kaum keluarganya atawa barang
dalam negeri itu, dikutuk Allah Taala dengan beribu-ribu kutuk datang balaa
jika kamu menanam padi menjadi padang dan jika kamu menanam barang
makan-makanan menjadi batu atawa kayu dan lagi pesanku hukum dalam negeri
jangan kau bertukar-tukar seperti kampung dengan menteri-menterinya atawa
seperti anak raja-raja dengan negerinya melainkan asalnya juga dan jangan kau
ambilkan upeti di dalam musyawarah hukum negeri ini yaitu “Baku”
(artinya makan) jangan lagi musyawarah malam atawa beri hukum itu barang
sesuatu bicara jangan lagi musyawarah malam, waktu ashar pun jangan kurang
katanya, karena setan hampir masuk di dalam negeri itulah sebab dst..6)
Kiranya tidak berlebihan bahwa
kemudian nama mata uang kerajaan Buton lebih dahulu dengan nama “Sangkia”
kemudian baru berubah menjadi Kampua, dan ukurannya 4 jari wanita. Mata uang
kerajaan ini terdapat juga di dalam museum Nasional di Jakarta.
4.
RAJA
BUTON YANG KE III BATARAGURU.
Pada waktu pelantikan Raja Bataraguru Bonto
kerajaan sudah genap menjadi sembilan orang. Seorang Raja dengan sembilan orang
Bonto menjadi genap sepuluh orang. Bataraguru dengan sembilan orang saudaranya
menjadi sepuluh orang bersaudara sebapak. Dalam kata-kata Betoambari pada
Bataraguru Bontona Peropa berkata: “ise, jua, talu, wapa, lima, ana, pitu, walu,
sio, sapuluaka ingkoo La Ode“ artinya : “satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh,
delapan, sembilan sepuluh dengan engkau La Ode “.
Oleh karena yang dilantik
ini adalah cucu dari Ratu I Wa Kaa Kaa dan karena itu juga sebagai cucu dari Bontona
Peropa, Bonto kerajaan pada umumnya, maka perkataan “ana miyu”
diubah dan dialihkan menjadi sebutan bagi kaum Walaka atau Bonto kerajaan yang
tidak termasuk Siolimbona dengan perkataan “opua miyu”.
Selanjutnya menurut buku silsilah,
Bataraguru mengawini putri Dungkung Cangia bernama “Waelancugi”.
Dari pada perkawinan ini Bataraguru mendapat tiga orang putra masing-masing:
(1)
Tua
Maruju
(2)
Raja
Manguntu
(3)
Tua
Rade.
Dari gundiknya Bataraguru mendapatkan
seorang putra yang diberi nama :
(4)
Kiyjula.
Demikian sesuai dengan
perkembangannya dalam masa kerajaan Bataraguru, diadakan lagi jabatan baru
dengan gelar Sapati dan sebagai orang yang pertama menduduki jabatan itu adalah
“La Manjawari”. (makam Sapati La Manjawari terdapat di pulau
Kabaena dipegunungan Enano). Mengapa sampai bermakam disana, mungkin oleh
karena tugas jabatannya sebagai Sapati yang
juga menjadi kepala dari pemerintahan di Kabaena. Pun bisa mungkin
disebabkan karena asalnya dari sana.
Diantara keduanya
tersebut bagi kami tidak begitu pasti,
kecuali yang pasti sebagai pejabat Sapati yang pertama.
Sesudah beberapa lamanya
menjadi raja, teringatlah Bataraguru untuk pergi mengunjungi negri kakeknya
Majapahit, dan nanti sesudah kurang lebih satu tahun berada dinegeri Mojopahit
barulah beliau kembali di Buton.
Menurut riwayat yang
diterima secara lisan dari La Bia Ma Hadia Bontona Baluwu, lebih jauh dikatakan
bahwa sewaktu tibanya Bataraguru di istana raja Mojopahit, beliau tidak
diterima apalagi untuk diakui oleh kalangan istana raja Mojopahit sebagai
anggota keluarga istana, walaupun Bataraguru sudah dengan jelas menerangkan
asal usulnya.
Oleh karena maka dalam
keadaan duduk bersila dihadapan istana, Bataraguru bersumpah atas dirinya
sendiri dan berkata :
“barangkalaaka satotuuna badaku siy anainda asala i
wesiy maka amatonupo uka o tana kayuncuramakaku siy ; tabeyana satotuuna
asalaku kumia i weisiy, maka ajulupo uka o tana kauncuramakaku siy”
artinya “ apabila saya tidak berasal dari sini, maka turunlah tanah
tempat duduk saya ini, sebaliknya kalau sebenarnya saya berasal dari sini, maka
naiklah tanah tempat dudukku ini”, sambil tangannya memukul tanah.
Demikianlah sesudah
Bataraguru mengucapkan sumpahnya, maka tanah tempat duduknya itu, kuasa Tuhan
naik sampai sejajar dengan kursi tempat duduk raja. Melihat kejadian yang aneh
itu kalangan istana melaporkan kepada raja dan kerena itulah Bataraguru
diterima sebagai anggota keluarga istana.
Dan pada waktu inilah pula
Bataraguru mendapat namanya tersebut yang sebelumnya dengan Bancapatola.
Sebelumnya masa kerajaan Bataraguru
diakhiri, kiranya tidak berlebihan disini dikemukakan bahwa perkunjungan
Bataraguru ke Mojopahit tersebut adalah
sebagaimana yang dimaksudkan dalam tulisan Anwar Sanusi dalam bukunya “Sejarah Indonesia hal.
65 antara lain sebagai berikut :
........... dan pada
saat-saat yang tertentu raja-raja di tanah seberang itu atau wakil-wakilnya
mereka harus datang ke Majapahit untuk memperlihatkan
kesetiannya”............dst.
5.
RAJA
BUTON YANG KE IV TUA RADE.
Dalam masa pemerintahan Tua Rade, kedua
saudaranya masing-masing “Tuamaruju” dan “Rajmanguntu”
meninggalkan Wolio masuk ke pedalaman Buton yang ternyata kemudian Tua Maruju menemukan
negri Todanga (dalam Kecamatan Kapuntori), sedangkan Raja Manguntu mendapat
negeri Batauga (dalam Kecamatan Batauga) dan Wawoangi (dalam Kecamatan
Sampolawa). Negeri-negeri inilah yang kemudian masuk daerah keperintahan
Siolipuna, yang nanti hapus dalam masa kerajaan Sultan Buton yang ke 4 Laelangi
dengan terbentuknya Undang-Undang Kerajaan Buton.
Karena kepandaian serta
dibarengi dengan kepahlawanan kedua barsaudara tersebut, maka negeri-negeri itu
dapat dibawah masuk dalam kekuasaan Wolio dengan tidak melalui kekerasan atau
perlawanan.
Sehubungan dengan
perkembangan pada waktu itu dimana nampak kekuasaan Wolio yang semakin luas,
diadakan pula tambahan pejabat kerajaan dengan gelar “Kenepulu”,
tetapi belum mempunyai bidang tugas yang tertentu seperti halnya dengan Sapati.
Pejabat Kenepulu yang pertama ini tidak dapat lagi diketahui siapa namanya.
Disamping penambahan pajabat sehubungan dengan perkembangan kerajaan, maka
dimufakati pula bahwa pakaian kebesaran dalam adat bagi petugas-petugas kerajaan
ditetapkan dan dipilih jas panjang yang disebut “juba” dan “destar”
yang dinamakan “kampurui maeta”. Pada dasarnya pakaian adat
tersebut berwarna hitam dan pilihan warna ini mengandung makna kiasan yang
dikatakan bahwa hitam itu tidak dapat berubah-ubah, sehingga dengan demikian
maka keputusan yang telah diambil dalam musyawara tidak dapat berubah lagi yang
dalam bahasa adat ditegaskan “amaetaaka, amaetamo”, “jika
hitam, hitamlah”.
Peristiwa bersejarah
lainnya dalam masa Tua Rade diriwayatkan bahwa Tua Rade juga mengadakan
perkunjungan ke negeri Majapahit dan kedatangan beliau ini telah diterima
dengan baik oleh keluarga istana kerajaan Majapahit. Sebagai pertanda adanya
hubungan darah antara kerajaan Buton dengan Majapahit, Tua Rade membawa kembali
di negeri Buton kelengkapan Raja yang diperolehnya dari Raja Majapahit untuk
dipakai dan diperlukan di dalam kerajaan Buton. Kelengkapan itu adalah sebagai
berikut :
- Payung kain,
- Permadani,
- Gambi isoda yaitu payung yang dipikul(terbuat dari kayu),
- Somba yaitu menyembah.
Keempatnya menjadi lambang
dan pertanda Raja. Sejak diterimanya adat tersebut, maka Raja Tua Rade mulailah
disembah oleh rakyatnya maupun orang-orang besar kerajaannya.
Kemudian telah pula ditetapkan apa
yang menjadi penghasilan Raja sebagai isi dari pada ke empat syarat di atas
yaitu:
- Perahu yang pecah atau terdampar (tawang karang),
- Rampe yaitu barang yang hanyut yang dipungut oleh rakyat,
- Ambara yaitu hasil laut,
- Ikan yang luar biasa besarnya, yang dipikul oleh dua orang.
Demikian pula sekelumit
sejarah masa kerajaan Tua Rade yang sebagai penutup diterangkan disini bahwa Tua
Rade sebenarnya berasal kata “tuan” dan “raden”
yang cukup jelas bahwa dengan demikian itu menandakan kebangsawan Jawa. Nama
aslinya tidak diketahui dan dalam silsilah yang hanya disebutkan dari syara
Jawa.
Dalam hubungan pembawa
syara Jawa dalam kalangan adat terdapat dua pendapat yang berbeda yaitu
pendapat pertama Bataraguru dan kedua Tua Rade yang membawanya kembali di Buton
dengan bersandar pada pemberian nama penggantinya tersebut di atas. Dan dalam
hubungan pakaian juba yang berwarna hitam ini juga mendukung suatu hal yang
perlu diteliti lebih dalam, karena dengan demikian itu kemungkinan masuknya
Islam telah ada di Buton, namun belum resmi.
Demikianlah sejarah Tua
Rade dan diterangkan bahwa beliau tidak mempunyai anak tetapi mengambil anak
angkat dari anak saudaranya dan anak angkatnya ini bernama Raja Mulae. Sesudah
wafatnya ia digantikan oleh Raja Mulae.
6.
RAJA
BUTON YANG KE V RAJA MULAE.
Suatu kelebihan pada masa
kerajaan Raja Mulae, hidup kerajaan makmur sekali, demikian kalangan orang tua
meriwayatkan. Oleh karena kehidupan yang makmur inilah sehingga Raja Mulae
mendapat nama julukan dengan “Sangria i Gola” artinya “keramat
yang manis”.
Hasil panen pada waktu itu
melimpah ruah. Dari negeri-negeri sahabat diterima pemberian-pemberian untuk
raja sebagai tanda kegembiraan rakyat. Oleh karena datangnya pemberian itu
sudah terlampau banyak sehingga ada kalanya tidak diketahui lagi asalnya dari
mana, maka diambillah suatu keputusan untuk menetapkan seorang petugas khusus
yang akan mengurus pemberian-pemberian itu.
Disinilah awalnya pajak yang disebut “Weti”
dalam adat, yang kalau tadinya datang sendirinya dari rakyat, maka lambat laun
menjadilah kewajiban bagi rakyat pada setiap tahunnya, tiap tahun panen. Oleh
karena nama kewajiban ini dengan perkataan weti, maka jabatan petugas weti
dinamakan “tunggu weti”, yang sebagai pejabat yang pertama
dipercayakan kepada “La Ngolu”. Adapun besarnya weti itu tidak
ada ketentuan khusus dan tidak pula ditetapkan untuk perorangan, tetapi
tergantung dari keadaan kampung atau negeri itu sendiri dan dikumpulkan oleh
syarat kampung kemudian diteruskan kepada kerajaan. Disamping weti juga sewaktu-waktu
pada pesta Sultan atau Raja atau pembesar kerajaan, rakyat mengantarkan
persembahannya menurut kebutuhan yang disesuaikan dengan kemampuan rakyat.
Riwayat lain dari kalangan
orang tua menerangkan bahwa dengan kerajaan Luwu terjalin hubungan persahabatan
yang erat sekali. Dalam hubungan ini pula kerajaan Luwu didatangkan sejumlah
petani di Buton yang khusus akan memberikan petunjuk dalam hal penanaman padi.
Petani-petani itu ditempatkan pada suatu tempat yang tersendiri pula, tempat
mana kemudian dikenal dan dinamakan “Luwu-Luwu”, asal
penghuninya, dan sekarang dikenal dengan kampung “Lowu-Lowu”,
terdapat dalam distrik Bungi.
Kemudian kedua kerajaan
yang bersahabat ini menetapkan suatu tempat untuk sewaktu-waktu diadakan
pertemuan rahasia, apabila salah satu diantara kedua mendapat serangan musuh
yang tidak dapat dilawan sendiri. Tempat itu adalah “Bungingkalo”
terletak dalam distrik Poleang Bugis. Ditempat inilah dirundingkan soal-soal
pertahanan kerajaan pada waktu mendapat serangan musuh yang memerlukan bantuan
dari sahabat.
Dengan kerajaan Konawe pun
tidak pula luput diadakan suatu tempat guna pertemuan rahasia seperti halnya
dengan Luwu yang telah dipilih dan ditetapkan atas dasar musyawarah di “Manggabutu”
dalam daerah Konawe. Dapatlah dimengerti bahwa perhubungan di atas bukan hanya sekedar hubungan
persahabatan belaka melainkan juga karena perhubungan darah yaitu karena “Wa
Bokeo” dan “Wa Sitao”, dimana dalam hal ini dapat dibaca
untuk jelasnya pada uraian silsilah Murhum Sultan yang pertama nanti. Kedua
putri tersebutlah yang menjadikan perhubungan darah antara Buton dengan Luwu
dan antara Buton dengan Konawe.
Demikianlah pula sejarah
pemerintahan Raja Mulae. Beliau mempunyai beberapa orang putra dan putri
diantaranya “Wa Tampaidongi” yang ia ini juga dengan nama “Borokomalanga”
yang dikawinkan dengan “Lakilaponto” putra raja Muna “Sugimanuru”.
Perkawinan tersebut adalah karena janji dari Raja Mulae kepada mereka yang
mengalahkan dan membunuh kepala perampok yang bernama “La Bolontio”
di kampung Bonena Tobungku kira-kira kampung Boneatiro atau sekurang-kurangnya
di sekeliling kampung itu dalam distrik Kapuntori. Lebih jelasnya riwayat
perlawanan Lakilaponto dengan La Bolontio dapat diikuti pada uraian sejarah
Lakilaponto mendatang.
Bahwa Raja Mulae disamping putrinya tersebut di
atas juga dapat dikemukakan disini “Katimanuru” yang lahir dari
gundiknya berasal Limbo Peropa. Katimanuru tersebut bersaudara sebapak 13
orang. Akhirnya setelah wafatnya, Raja Mulae dimakamkan di “Lakapoluka”
ujung teluk masuk Kapuntori distrik Kapuntori. Untuk menutup sejarah masa Raja
Mulae, penulis tertarik sebentar untuk
menganalisa nama salah satu diantara putri-putri Raja Mulae bernama “Wa
Poasa”. Yang dalam penganalisaan singkat dari penulis, adalah relevan
sekali kemungkinan masuknya Islam di Buton sebelum tahun Hijriah 948 (1542 M).
Menimbulkan pertanyaan bagi penulis, apakah ini tidak
berasal dari perkataan puasa? Menahan lapar dan nafsu dari segala godaan dan
cobaan, jelasnya memerangi hawa nafsu dengan berusaha membersihkan diri lahir
maupun batin. Uraian lengkap masalah ini dapat diikuti nanti pada bagian
penguraian masuknya Islam di Buton pada postingan Kerjaan Buton di Bawah Kesultanan.