" Jika cinta itu LOOPING while (Love) { withYouForever(); protectYou(); lovingYou(); makeYouHappy(); eternalLove(); }"

 

Tuesday, May 27, 2014

Masa Pemerintahan Raja di Buton Sebelum Masuknya Islam

0 comments
1.   RAJA I WA KAA KAA RAJA BUTON YANG PERTAMA.

Berdasarkan hasil musyawarah bersama dari Bontona Peropa Betoambari dan Sangariarana Bontona Baluwu serta kedua Bonto lainnya yang termasuk dalam Patalimbona, maka diangkatlah seorang kepala dari negeri Wolio untuk pertama kalinya bernama putri Wa Kaa Kaa. Putri Raja ini dikenal dengan nama pengganti “Mobetena i-tombula”. Adapun asal usulnya tidak diketahui kecuali konon menurut riwayat dahulu kala adalah seorang pemburu rusa yang bernama “Sangia Langkuru”. Ia berdiam dalam Keraton kampung Peropa. Pada suatu hari Sangia Langkuru pergi berburu rusa disertai oleh seekor anjingnya. Ketika Sangia Langkuru berada di kali Bau-Bau yaitu sekitar Keraton sekarang maka ia jauh ketinggalan di tinggalkan oleh anjingnya. Anjingnya tersebut sudah berada di Lelemangura dan sedang menggonggong seakan-akan sedang menyerang musuhnya. Karena itu Sangia Langkuru berlari mendapatkan anjingnya  dan sampai dibukit Lelemangura. Tetapi alangkah kecewanya Sangia Langkuru, karena bukanlah rusa  yang sedang diserang oleh anjingnya, tetapi serumpun Buluh Gading yang tumbuh di atas sebuah batu. Sedang ia tercengang menyaksikan yang aneh itu, maka ia pun segera meninggalkan tempat itu dan mencari seorang ahli nujum untuk diterangkan bahwa dalam buluh gading tersebut ada seorang manusia. Kabar kejadian itu tersiarlah di kalangan penduduk diantaranya sampai ke telinga kepala suku yaitu Betoambari Bontona Peropa yang pertama serta anaknya, Sangariarana Bontona Baluwu.
 
Rakyat pun pada berdatangan di tempat itu menyaksikan kejadian yang aneh itu. Setelah beberapa pemuka masyarakat dan kepala suku bermusyawarah maka diputuskanlah bahwa buluh gading itu akan dipotong dan dibawa kesebuah batu supaya manusia yang ada di dalamnya itu dapat keluar, batu mana terletak di muka Mesjid Agung Keraton Buton yang sekarang. Batu tempat buluh gading itu dipecahkan kelak disebut “Batu Ponu” atau juga “Batu Poana”, yang lazim dengan “Batu Popaua”. Adapun manusia yang diketemukan dalam buluh gading itu adalah seorang wanita yang bernama “Wa Kaa Kaa” dan inilah yang dimaksud dengan “Mobetena i-tombula”. Kulitnya kuning langsat, rambutnya pirang perawakan sedang. Pendeknya pada dirinya lengkap tanda-tanda kejelitaan. Hanya saja yang mengherangkan orang banyak yang mengelilinginya itu, ialah gadis itu menutup seluruh badannya dengan rambutnya dan tidak berkata sepatah pun. Akhirnya berkatalah Betoambari “Bukalah tutup badanmu, nanti kami poana engkau” (maksudnya kami angkat sebagai anak kami) sambung Betoambari lagi. Gadis itu hanya membuka badannya sedikit. Akhirnya Betoambari berkata lagi, “bukalah engkau lala (sempat bebasa) di luar dan di dalam”. Mendengar kata yang terakhir itu barulah gadis itu membuka seluruh badannya. Demikianlah dan batu tempat buluh gading itu dibuka  dibelah dan Wa Kaa Kaa diangkat sebagai anak oleh Betoambari dikemudian disebut dengan Batu Popaua atau seperti disebutkan di atas Batu Ponu atau Batu Poana.
Alkisah maka dari tempat itu Wa Kaa Kaa akan di bawa maka terjadi angin kencang dan petir sambar menyambar. Setiap kali akan di bawah setiap kali itu pula terjadi keburukan cuaca, sehingga perjalanan itu tertunda-tunda. Di antara orang yang datang menyaksikan peristiwa tersebut adalah seorang wanita yang bernama “Wa Dua”. Dalam keadaan demikian Wa Dua pun tertidurlah. Di dalam tidurnya itu ia mendengar suara yang berkata: “Tidak akan kuizinkan cucuku itu, engkau membawanya begitu saja, tetapi sediakan baginya payung, gendang dan semua peralatan kebesaran Raja”. Setelah Wa Dua terbangun dari tidurnya itu maka diberitahukanlah buah mimpinya itu kepada Betoambari. Kebetulan pada waktu itu yang mempunyai gendang barulah Betoambari dan Sangariarana tetapi seorang pun diantara mereka belum ada yang mempunyai payung.
Kebetulan di Daoana Peropa dekat rumah Betoambari tumbuh pula sebatang cendawan payung yang amat besar sekali (dalam bahasa wolio disebut Huu). Maka untuk mencukupkan kebesaran Raja, cendawan itu pun dipetik dan kemudian diantarlah Wa Kaa Kaa ke rumah Betoambari diiringi oleh pukulan gendang serta dipayungi dengan cendawan besar itu. Kemudian semua peristiwa di tempat itu menjadi contoh bagi setiap pelantikan Raja atau Sultan dikemudian hari yang memerintah di Buton. dengan demikian itu maka batu ponu itu disamakan juga batu popaua artinya batu tempat Raja diputarkan payung kemuliaan (dinobatkan).
Demikian itu sekedar asal-usul singkat putri Wa Kaa Kaa, yang pelantikannya sebagai Raja pertama telah dilakukan oleh Betoambari dan Sangariarana di atas batu Popaua. Kemudian dengan kata sepakat para Bonto kerajaan maka Wa Kaa  Kaa dikawinkan dengan putra asal dari kerajaan Majapahit yang bernama “ Sibatara”.
 
Sebelum menguraikan masa kerajaan putri Raja Wa Kaa Kaa maka ada baiknya diuraiakan sepintas lalu asal usul dari Sibatara yang mengawini Raja Wa Kaa Kaa tersebut. Seandainya diadakan penyelidikan akan data tahun terdapatnya putri Wa Kaa  Kaa maka hal ini tidak dapat dipisahkan dengan penyelidikan medatangan Sibatara, sehingga dengan demikian itu, dapatlah diketahui kedatangan Wa Kaa Kaa. Oleh karena data dalam hubungan Wa Kaa Kaa tidak ada selain diriwayatkan berasal dari buluh gading, maka yang dapat menjelaskannya adalah di adakan penyelidikan
kedatangan Sibatara, karena ini ada data penunjangnya, namun tidak jelas tahunnya. Dalam buku hikayat Sipanjonga anonim, terdapat penulisan sebagai berikut:

 “Ada pun hamba ini telah sampai kemari sebab kelakuan hal cucuku ini tiga orang kembar, dua orang laki-laki dan seorang perempuan, dibuangkannya oleh bapaknya kelaut ketiganya. Sebab maka Betoambari pun bertanya pula, ya tuanku adapun bapa cucu tuan hamba ini siapa namanya dan anak mana dan apa nama negerinya. Maka menyahut Batara guru itu, adapun nama bapaknya Raja Manyuba dan nama negerinya Majapahit dan asalnya asal kamu juga tiada lain, baharu dua zaman diturunkan Allah SWT kedalam dunia1)”.

Dari hasil cukilan di atas dikatakan bahwa Sibatara berasal kembar tiga, dimana saudaranya yang pertama bernama Raja Bau Besi yang konon menjadi Raja di Ternate dan yang kedua yaitu saudara perempuannya bernama putri Lasem di kawini oleh Raja Luwuk, yang karena hubungan-hubungan ini di antara kerajaan Buton, Ternate dan Luwuk erat sekali kaitannya. Berdasarkan bahan-bahan penulisan di atas yang mengungkapkan bahwa Sibatara berasal dari putra bangsawan Majapahit yang sebagaimana juga tertulis di dalam buku silsilah bangsawan Buton dengan aksara Arab Jawi, maka sudah dapat digambarkan kebenaran asal Sibatara dan sekaligus masa kerajaan Buton dengan Ratu I Wa Kaa Kaa dengan mengambil bahan perbandingan yang terdapat di dalam buku sejarah Nasional, dengan mendahulukan keterangan yang diperoleh turun-temurun tentang Sibatara yang akan menjadi penunjangnya sebagai berikut :
La Adi Ma Faoka menerangkan bahwa Sibatara berasal dari putra bangsawan dari Majapahit, sehingga maka itulah bangsawan Buton dikatakan berasal dari Jawa, yang secara turun-temurun menjadi Raja / Sultan atas negeri Buton, terakhir dengan Sultan Muh.Falihi Kaimuddin Sultan Buton yang ke 38 / terakhir, yang menjabat dari tahun 1938 s/d 1960, karena wafatnya.
Dalam versi lain secara tertulis dari Abdul Khalik Bonto Ogena Matanayo, pembesar kerajaan di masa Sultan Muh. Idrus Kaimuddin I, dalam nota tugasnya yang ditulis dalam aksara Arab Wolio terdapat antara lain :

Kaapaaka oasalana kadaangiana bari-baria lalaki i tana Wolio siate lalaki i Jawa” artinya “karena sebab asalnya bangsawan Wolio itu berasal dari bangsawan Jawa (Majapahit)”.

Lebih jauh dapat dikemukakan disini bahwa beradanya Sibatara di Buton mungkin sekali berasal dari salah seorang diantara sekian banyaknya orang Jawa atau Punggawa-punggawa yang menjadi raja di daerah-daerah yang ditaklukkan oleh Majapahit, yang mungkin dalam hubungan ini sebagai bahan penunjangnya dikemukakan tulisan Anwar Sanusi sebagai berikut
Yang menjadi raja di daerah yang ditaklukkan Majapahit itu kebanyakan orang Jawa juga, diangkat oleh Rajasanagara untuk mengganti baginda di sana. Lalu lintas pada zaman itu tentu (tidak mungkin) belum selekas sekarang, sehingga kuasa Majapahit itu tentu tidak mungkin sampai mengenai urusan-urusan pemerintahan suatu jajahan. Majapahit mengirim ponggawa-ponggawa ke pulau–pulau dan negeri-negeri itu untuk memungut upeti dan pada saat yang tertentu raja-raja ditanah sebrang itu atau wakil-wakil mereka harus datang ke Majapahit untuk memperlihatkan kesetiannya. Yang lalai membayar upeti atau tidak setia pada Majapahit sehingga ia dicurigai diperangi sampai ia tunduk lagi atau binasa. Angkatan laut Majapahit tentu besar dan demikian pula bala tenteranya dst.....2)
Kemudian pada lembaran lain Anwar Sanusi :
Kemudian dengan pasti dapat dikatakan, bahwa pulau Bali ditaklukkan pada tahun 1343. Penaklukkan Bali itu dipimpin oleh Gaja Mada sendiri dan sangat besar artinya karena Badahulu raja Bali berkuasa atas negeri-negeri Kangoan, sebagian Sumbawa, Lombok, Madura, Ujung Jawa Timur, dan Lagi sebagian Pulau Sulawesi. Setelah Bali ditaklukkan maka sekali negri itu mengakui kekuasaan Majapahit dst......3)
Sejarah Indonesia dan dunia SMP Frater Makassar tercantum:
Menurut Nagarakartagama maka keadaan Majapahit pada zaman Hayam Wuruk sangat indah dan mempunyai banyak negara jajahan (kekuasaan) yang sebenarnya mempunyai pemerintahan sendiri tetapi mengaku takluk pada negara Majapahit. Di dalam Nagarakartagama disebut daerah-daerah: Sumatra, Jambi, Palembang, Narintang (Indragiri), Toba, Kandis, Minangkabau, Siat, Rokan, Kampar, Panai, Madailing, Tamiangperlak, Lampung dan Baroh. Di Kalimantan Kapuas, Sampit, Kota Lingga, Kota Waringin, Sambas, Kandangan, Landak, Berunai, Baritu, Sabuku, tanjung Kutai, Malamu, dan Tanjung Puri. Di Semenanjung Malaka : Johor, Lengkasuka, Kelanteng, Teranggano, Naor, Pakah, Muar, Tumasik (Singapura), Kedu, Singkep, Karimun, dan daerah-daerah sebelah timur pulau Jawa; Bali dengan ibu kota Badalu, Dompo, Seram, Lombok Barat, Lombok Timur, Bonthain, Luwuk, Pulau Talaut, Makasar, Buton, Bangai, Selaray, Sumbawa, Solor, Banda, Ambon, Irian Selatan dan Timur dst......4)
Dengan bertitik tolak atas bahan-bahan perbandingan di atas, kita telah dapat memperoleh suatu gambaran yang memungkinkan tenggang waktu masa kerajaan Ratu pertama Wa Kaa Kaa yang diperkirakan disekitar awal abad ke 14, tetapi pasti sebelum Prabu Hayam Wuruk. Akan lamanya masa kerajaan Ratu pertama, juga tidak dapat diketahui namun dapat diterangkan bahwa sebagai pelambang kebesaran raja, ditempatkan diistana sepuluh orang anak laki-laki dan sepuluh orang anak perempuan, serta 60 orang laki-laki pilihan yang gagah perkasa sebagai pengawal istana. Pada penutupan uraian masa kerajaan Ratu pertama Wa Kaa Kaa diterangkan bahwa dalam perkawinannya Sibatara, Ratu pertama memperoleh 7 orang putri semuanya perempuan dan tidak ada seorang putra dan masing-masing adalah :
  1. Bulawambona
  2. Patalombona
  3. Patolasunda
  4. Patolakamba
  5. Wabetao
  6. Wabetao
  7. Paramasuni.
Dari ketujuh putrinya di atas satu-satunya yang tinggal di Wolio adalah Bulawambona yang dikawinkan dengan La Baluwu putra dari Sangariarana Bontona Baluwu pertama, sedangkan keenam putrinya yang lain, terbang menghilang bersama-sama ibunya. Tinggalkan Buton menuju kota Intan, demikian kalangan leluhur mengakhiri riwayatnya. Dalam fersi lain yaitu buku hikayat Sipanjonga dikatakan bahwa putri Ratu Wa Kaa Kaa terbang kembali kekayangannya dan tidak disinggung-singgung putri-putrinya, selain dikatakan bahwa pada waktu terbangnya kembali maka tinggallah Sibatara dan Bulawambona yang jatuh diharibaan ayahnya. Dengan penuh kesedihan karena kehilangan ibundanya tercinta.

2.   KEPERCAYAAN MASYARAKAT DI MASA KERAJAAN.

Mengungkapkan kalau faham apa dan kepercayaan mana yang dianut oleh masyarakat Wolio sebelum Islam, juga tidak diperoleh bahan-bahan keterangan yang positif yang dapat dijadikan landasan, namun dapat dikemukakan disini bahwa faham dan kepercayaan masyarakat kerajaan adalah “Serba Rokh” (Animisme) atau Hindu Budha. Ini tidak akan terlalu jauh bergeser dari pada keadaan yang sebenarnya dengan mengindahkan dan mengambil bahan sebagai penunjangnya atas fakta-fakta peninggalan leluhur Wolio yang sudah tradisional, seperti adanya kata-kata teguran yang dilontarkan oleh orang tua yang bersifat memarahi anak-anaknya dengan mengucapkan perkataan “aala mpuu katauna barahmana” artinya menganut faham Brahmana. Kata-kata teguran ini digunakan pada waktu-waktu seorang anak berkelakuan kurang baik sehingga sangat bertentangan dengan faham dengan ajaran agama Islam, misalnya menduakan Tuhan, masih ada lagi yang lebih berkuasa selain dari pada Tuhan. Kiranya pengucapan atas kata-kata tersebut dapat dijadikan pegangan sementara, adanya masuk faham Brahma pada masa silam dan adanya faham Hindu Budha tidaklah dapat disangkali pertumbuh di Buton dan ini dapat dikaitkan dan dihubung-hubungkan dengan penguasaan Buton oleh kerajaan Majapahit, serta beradanya Sibatara di Buton yang sebagaimana diuraikan beristrikan Ratu pertama Wa Kaa Kaa dan kiranya kedatangannya di Buton itu Sibatara adalah sebagai ponggawa yang mewakili kerajaannya untuk memungut upeti dari kerajaan Buton. Oleh karena hubungan ini pula dan diawali oleh perkawinan tersebut, maka tidaklah sangat dirasakan bahwa kerajaan Buton berada di dalam kekuasaan kerajaan Majapahit.
Mengungkapkan lebih jauh lagi kalau faktor-faktor apalagi yang dapat dijadikan bahan penunjang dan menguatkan akan adanya faham animisme di Buton, dirasa perlu diungkapkan beberapa adat kebiasaan dari masyarakat yang dikaitkan dengan alam kepercayaannya sebagai berikut :
(1). Adanya kepercayaan bahwa nyawa atau rokh manusia tidak mati tetapi hanya berpindah dari badan yang satu ke badan yang lain, sehingga karena itu kata rokh menurut bahasa wolio disebut “lipa” atau pergi dan dalam kepercayaan serba rokh barangkali dimaksudkan dengan    rengkarnasi. bahwa sesuai dengan adat dan kepercayaan sampai sekarang masih dapat dalam masyarakat, walaupun tidak seperti pada masa lampau lagi adalah upacara “pebahoana momatena”, yang dilaksanakan sesudah lepas tujuh malamnya kematian, semua anggota keluarga yang ditimpa kematian bahkan keluarga yang lainnya juga karena adat kebiasaan harus dimandikan dan yang sebaik-baiknya di kali karena airnya mengalir, yang dilakukan oleh seorang tua. Maksud dan tujuannya secara hakekat adalah membersihkan rokh yang bakal akan lahir kembali. Apa yang kurang baik yang bakal menimpa keluarga yang ditinggalkan telah sudah dibawa pergi oleh simati dan tinggallah kebaikan yang akan dihadapi keluarga, demikian kalangan orang tua dengan segala keterangannya.
      Dalam hubungan alam kepercayaan ini, menarik perhatian atas tulisan dari H.J.van den berg ddknya yang penulis ketengahkan sebagai bahan perbandingan :
                    Orang Gautama beragama Hindu; jadi pangeran itupun termasuk jugalah kedalam golongan itu. menurut kepercayaan orang Hindu, segala makhluk akan lahir kembali, beberapa lama setelah meninggal dunia. Terkadang waktu antara meninggal dunia dan kelahiran kembali itu dapat mempunyai berjenis-jenis rupa. Mungkin mereka menjadi Dewa, rokh setan, manusia atau hewan. Hal itu tergantung dari pada tingkah lakunya dalam hidupnya yang lampau. Kalau jumlah perbuatannya yang baik dalam lampau itu lebih banyak dari pada kejahatan yang dilakukannya, maka mereka akan mendapatkan wujud yang lebih tinggi tingkatannya, kalau terjadi kebalikannya, maka wujud yang didapatnya akan lebih rendah. Orang Hindu mengatakan dalam hal itu : “karma” yang baik atau yang buruk.
Rentetan kelahiran kembali itu dinyatakan mereka juga dengan perkataan sendiri, yang disebutnya ”samsara” dst.....5).
Kepercayaan serba rokh dan hidup kembali, masih terdapat di dalam kalangan  masyarakat Buton, dan apa bila menjelma kembali bukan sebagai manusia, maka itu dikatakan sebagai “dauru” yang dalam hal seperti itu, ada yang hidup kembali dalam bentuk ular, buaya dan sebagainya. Teringat kami dengan cerita Sangia I Rape putra sultan Murhum yang langsung menjelma sebagai buaya, setelah berada di air dan La Ode Wuna menjadi ular kemudian dibuang dan dikenallah dengan mata air yang dinamakan dengan “uwe igoraaka”, terdapat tidak jauh dari kampung Wakorumba Lutu Kecamatan Wakorumba Muna.
(2).  Percaya pada berhala dengan menyembah patung-patung atau batu.
                    Bonto kerajaan yang disebut Patalimbona pelantikannya di masa lampau sebelum Islam berlangsung di atas batu dan ini kemudian dikenal adanya Batuna Peropa, Gundu-Gundu, Baluwu dan Barangkatopa.
        Pejabat Sultan yang baru juga dilantik di atas batu dan ini disebut Batu Popaua. Kemudian batu kenia sampai dimana rakyat menyatakan sumpahnya dan batu tersebut masih dikenal terdapat tidak jauh dari lawana Lanto tidak jauh dari benteng.
                  Makam Raja Tobe-Tobe Dungkung Cangia, diatasnya terdapat banyak batu yang merupakan batu nisan, namun tidak teratur sebagai halnya nisan pada kuburan yang lazim dan umum, menunjukan kuburan masa lampau. Dan masih banyak data-data lainnya yang merupakan adat kebiasaan yang berlangsung di atas batu.
(3)     Adanya kepercayaan bahwa pada pohon beringin.
              Wuraha bahasa Wolionya terdapat makhluk halus yang dapat mematikan dan menghidupkan dalam arti manusia yang jahat dan manusia yang penyayang serta pengasih, yang hingga sekarang masih didapatkan pada masyarakat pedalaman Buton. Meraka takut sekali-kali untuk menebang pohon beringin dan kalau juga terpaksa harus ditebang, lebih dahulu diadakan mantera-mantera dengan memberi makan makhluk halus tersebut sebagai suatu pernyataan batin memohon izin dan berkenan agar tidak diganggu dan ini semua melalui suatu upacara khusus yang dilakukan pula dengan khusus dan dengan penuh kepercayaan disertai keyakinan yang mantap.

            Apalagi kalau beringin itu tumbuhnya didekat makam raja-raja    yang dikeramatkan, seperti dalam benteng Keraton hingga sekarang masih terdapat pada dua makam sultan, masing-masing pada makam sultan Murhum di Lelemangura dan makam sultan La Tangkaraja pada Bada Lakambau, dengan daunnya yang rimbun dan sudah besar batangnya, menunjukan keramatnya tempat itu. kalau kami berada dibawahnya, terlebih pada waktu jauh malam gelap gulita, membawa perasaan ke alam serba rokh dan hanya karena percayaakan diri sendiri dan iman yang teguh, kita berani langgar/lewat diwaktu malam hari terlebih pada waktu sudah larut malam.
(3)     Adanya upacara-upacara adat kebiasaan berhala antara lain yang masih dijumpai dalam masyarakat Buton, apalagi dipedalaman adalah:
a.    Pakandeana jini maksudnya memberi makan jin, ini dilaksanakan pada waktu ada kesusahan dalam keluarga bersangkutan seperti ada anak yang sakit terus-menerus, walaupun telah diobati hanya berhenti sebentar (soala dawuna, kata mereka orang wolio) lalu kembali lagi atau tiba-tiba ada yang diserang suatu penyakit mendadak seperti muntah, pusing kepala dan sebagainya.
b.    Pakandeana kiwalu maksudnya memberi makan tikar; meletakan serba makanan di atas tikar pada loteng rumah atau kamar tidur suami-isteri dan ini dikerjakan kalau misalnya suami-isteri sudah lama kawin tetapi belum juga mendapatkan anak, atau karena rezeki suami-isteri kurang sehingga tidak mencukupi kehidupan rumah tangga walaupun  juga telah berusaha dengan sekuatnya,  atau karena rumah tangga (suami-isteri) tidak tenteram dalam arti sering bertengkar atau ada keributan dalam keluarga. 
c.    Pakande wurako maksudnya memberi makan kepada makhluk pemarah, seperti misalnya mimpi dipukul orang sehingga jatuh sakit; biasanya terjadi seperti tersebut pada badan nampak bekasnya yang kebiru-biruan bagaikan bekas pukulan orang dan  kalau melihat yang demikian orang tua berkata “akandea wurako” artinya “dimakan oleh makhluk jahat”. Pada umumnya menurut tanggapan dan kepercayaan hal seperti ini berasal dari sesama manusia yang sakit hati (katauna makhaluku rangana).
d.    Dole-dole, suatu upacara terhadap anak yang kudis–kudisan tidak mau sembuh, atau untuk mencegahnya, diadakan upacara dole-dole dan sang anak diletakan di atas nyiru yang dialas dengan daun pisang yang diminyaki, kemudian si anak digulingkan diatasnya sehingga seluruh badan anak itu berminyak. 
e.    Syara Wajo, Syara Liabuku, Syara Ipaa dan masih banyak lagi merupakan suatu adat kebiasaan yang sudah tradisional dari masyarakat Buton, yang disana-sini masih nampak sekarang.
Demikianlah berakhirnya masa kerajaan putri I Wa Kaa Kaa yang berasal dari kayangan dan kembalinya ke kayangan pula.

3.   RAJA BUTON YANG KE II PUTRI RATU BULAWAMBONA.

Bulawambona dinobatkan menjadi raja menggantikan ibundanya sebagai Raja Buton yang ke II. Dari perkawinan dengan La Baluwu, Bulawambona mempunyai seorang putra yang dinamainya Bancapatola, yang kelak putranya ini masyhur dengan nama Bataraguru setelah kembalinya dari Majapahit. La Baluwu sendiri selain putranya pada Bulawambona tersebut juga mempunyai sembilan orang putra dari gundiknya yang nama-namanya menurut gelar jabatan Bonto Siolimbona.
Dalam masa kerajaan Bulawambona ini tidak ada bahan yang dapat diuraikan disini, selain dari pada satu-satunya pesan beliau kepada para Bonto Siolimbona supaya pada makamnya apabila meninggal nanti dibakarkan lampu diatasnya.
Dan pesan ini tidak diketahui sebabnya mengapa kemudian tidak lagi terlaksana, namun telah berjalan beberapa lamanya.
Bahwa makam Bulawambona terdapat tidak jauh dari Mesjid Agung Keraton, di pinggir Daoana Bawo di dalam benteng Keraton. Sebagai akhir dari uraian masa kerajaan Bulawambona dapat diterangkan bahwa pada waktu itu sudah dikenal adanya mata uang kerajaan yang beredar, tetapi masih terbatas di dalam kerajaan dengan nama “Kampua”. Dan hal ini sesuai dengan wasiat putri Ratu I Wa Kaa Kaa kepada para Bonto kerajaannya yang untuk lengkapnya pesannya ini sebagai berikut:

Setelah sudah diangkat oleh Bulawambona dan La Baluwu itu maka Wa Kaa Kaa itupun berpesanlah kepada Betoambari dan Sangariarana demikian bunyinya pesannya:
Hee Bapakku, dengar pesanku ini. Jangan kau lalui oleh anakku ini; jangan kau melihat dan ikutkan salahnya dan bebalnya atas kamu dalam tangan kamu kedua kita hubaya-hubaya jangan ajarkan baik karena lagi muda titah dan jangan kau kesana-kesini, peliharakanlah anak kita ini seperti engkau memeliharakan daku”

Setelah sudah berpesan tersebut Wa Kaa Kaa, maka diambilnya anta-kasumu (baju) anaknya, Bulawambona lalu dilihatnya nata-kasumu itu dengan empat-empat jari lebarnya anta kasumu itu, yaitu Sangkia namanya maka diberikan berikan Betoambari dan Sangariarana sangkia itu seraya berkata 
Hee menteri yang budiman lagi bijaksana kamu kedua kamu itu ambillah olehmu anta kasumu hamba itu hubaya-hubaya jangan tiada kamu suruh orang berbuat belanja akan seperti ini lebarnya ampat jari akan belanja dalam negeri ini”.

       Hee menteriku dengarkan pesanku ini. Jangan kamu akan mengambil akan belanja seperti belanja negeri yang lain supaya selamat dan berkat negeri ini. Ambillah belanja kamu seperti pesanku ini jikalau kau lalui seperti kataku ini, kamu atawa anak cucumu, nyawa kaum keluarganya atawa barang dalam negeri itu, dikutuk Allah Taala dengan beribu-ribu kutuk datang balaa jika kamu menanam padi menjadi padang dan jika kamu menanam barang makan-makanan menjadi batu atawa kayu dan lagi pesanku hukum dalam negeri jangan kau bertukar-tukar seperti kampung dengan menteri-menterinya atawa seperti anak raja-raja dengan negerinya melainkan asalnya juga dan jangan kau ambilkan upeti di dalam musyawarah hukum negeri ini yaitu “Baku” (artinya makan) jangan lagi musyawarah malam atawa beri hukum itu barang sesuatu bicara jangan lagi musyawarah malam, waktu ashar pun jangan kurang katanya, karena setan hampir masuk di dalam negeri itulah sebab dst..6)
 
Kiranya tidak berlebihan bahwa kemudian nama mata uang kerajaan Buton lebih dahulu dengan nama “Sangkia” kemudian baru berubah menjadi Kampua, dan ukurannya 4 jari wanita. Mata uang kerajaan ini terdapat juga di dalam museum Nasional di Jakarta.  
         
4.   RAJA BUTON YANG KE III BATARAGURU.

Pada waktu pelantikan Raja Bataraguru Bonto kerajaan sudah genap menjadi sembilan orang. Seorang Raja dengan sembilan orang Bonto menjadi genap sepuluh orang. Bataraguru dengan sembilan orang saudaranya menjadi sepuluh orang bersaudara sebapak. Dalam kata-kata Betoambari pada Bataraguru Bontona Peropa berkata: “ise, jua, talu, wapa, lima, ana, pitu, walu, sio, sapuluaka ingkoo La Ode“ artinya : “satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan sepuluh dengan engkau La Ode “.
Oleh karena yang dilantik ini adalah cucu dari Ratu I Wa Kaa Kaa dan karena itu juga sebagai cucu dari Bontona Peropa, Bonto kerajaan pada umumnya, maka perkataan “ana miyu” diubah dan dialihkan menjadi sebutan bagi kaum Walaka atau Bonto kerajaan yang tidak termasuk Siolimbona dengan perkataan “opua miyu”.
Selanjutnya menurut buku silsilah, Bataraguru mengawini putri Dungkung Cangia bernama “Waelancugi”. Dari pada perkawinan ini Bataraguru mendapat tiga orang putra masing-masing:
(1)   Tua Maruju
(2)   Raja Manguntu
(3)   Tua Rade.
Dari gundiknya Bataraguru mendapatkan seorang putra yang diberi nama :
(4)   Kiyjula.
Demikian sesuai dengan perkembangannya dalam masa kerajaan Bataraguru, diadakan lagi jabatan baru dengan gelar Sapati dan sebagai orang yang pertama menduduki jabatan itu adalah “La Manjawari”. (makam Sapati La Manjawari terdapat di pulau Kabaena dipegunungan Enano). Mengapa sampai bermakam disana, mungkin oleh karena tugas jabatannya sebagai Sapati yang  juga menjadi kepala dari pemerintahan di Kabaena. Pun bisa mungkin disebabkan karena asalnya dari sana. Diantara keduanya
tersebut bagi kami tidak begitu pasti, kecuali yang pasti sebagai pejabat Sapati yang pertama.
Sesudah beberapa lamanya menjadi raja, teringatlah Bataraguru untuk pergi mengunjungi negri kakeknya Majapahit, dan nanti sesudah kurang lebih satu tahun berada dinegeri Mojopahit barulah beliau kembali di Buton.
Menurut riwayat yang diterima secara lisan dari La Bia Ma Hadia Bontona Baluwu, lebih jauh dikatakan bahwa sewaktu tibanya Bataraguru di istana raja Mojopahit, beliau tidak diterima apalagi untuk diakui oleh kalangan istana raja Mojopahit sebagai anggota keluarga istana, walaupun Bataraguru sudah dengan jelas menerangkan asal usulnya.
Oleh karena maka dalam keadaan duduk bersila dihadapan istana, Bataraguru bersumpah atas dirinya sendiri dan berkata : 
barangkalaaka satotuuna badaku siy anainda asala i wesiy maka amatonupo uka o tana kayuncuramakaku siy ; tabeyana satotuuna asalaku kumia i weisiy, maka ajulupo uka o tana kauncuramakaku siy” artinya “ apabila saya tidak berasal dari sini, maka turunlah tanah tempat duduk saya ini, sebaliknya kalau sebenarnya saya berasal dari sini, maka naiklah tanah tempat dudukku ini”, sambil tangannya memukul tanah.

Demikianlah sesudah Bataraguru mengucapkan sumpahnya, maka tanah tempat duduknya itu, kuasa Tuhan naik sampai sejajar dengan kursi tempat duduk raja. Melihat kejadian yang aneh itu kalangan istana melaporkan kepada raja dan kerena itulah Bataraguru diterima sebagai anggota keluarga istana. 
Dan pada waktu inilah pula Bataraguru mendapat namanya tersebut yang sebelumnya dengan Bancapatola. Sebelumnya masa kerajaan Bataraguru  diakhiri, kiranya tidak berlebihan disini dikemukakan bahwa perkunjungan Bataraguru ke Mojopahit  tersebut adalah sebagaimana yang dimaksudkan dalam tulisan Anwar Sanusi  dalam bukunya “Sejarah Indonesia hal. 65 antara lain sebagai berikut :
........... dan pada saat-saat yang tertentu raja-raja di tanah seberang itu atau wakil-wakilnya mereka harus datang ke Majapahit untuk memperlihatkan kesetiannya”............dst.


5.   RAJA BUTON YANG KE IV TUA RADE.

Dalam masa pemerintahan Tua Rade, kedua saudaranya masing-masing “Tuamaruju” dan “Rajmanguntu” meninggalkan Wolio masuk ke pedalaman Buton yang ternyata kemudian Tua Maruju menemukan negri Todanga (dalam Kecamatan Kapuntori), sedangkan Raja Manguntu mendapat negeri Batauga (dalam Kecamatan Batauga) dan Wawoangi (dalam Kecamatan Sampolawa). Negeri-negeri inilah yang kemudian masuk daerah keperintahan Siolipuna, yang nanti hapus dalam masa kerajaan Sultan Buton yang ke 4 Laelangi dengan terbentuknya Undang-Undang Kerajaan Buton.
Karena kepandaian serta dibarengi dengan kepahlawanan kedua barsaudara tersebut, maka negeri-negeri itu dapat dibawah masuk dalam kekuasaan Wolio dengan tidak melalui kekerasan atau perlawanan.
Sehubungan dengan perkembangan pada waktu itu dimana nampak kekuasaan Wolio yang semakin luas, diadakan pula tambahan pejabat kerajaan dengan gelar “Kenepulu”, tetapi belum mempunyai bidang tugas yang tertentu seperti halnya dengan Sapati. Pejabat Kenepulu yang pertama ini tidak dapat lagi diketahui siapa namanya. Disamping penambahan pajabat sehubungan dengan perkembangan kerajaan, maka dimufakati pula bahwa pakaian kebesaran dalam adat bagi petugas-petugas kerajaan ditetapkan dan dipilih jas panjang yang disebut “juba” dan “destar” yang dinamakan “kampurui maeta”. Pada dasarnya pakaian adat tersebut berwarna hitam dan pilihan warna ini mengandung makna kiasan yang dikatakan bahwa hitam itu tidak dapat berubah-ubah, sehingga dengan demikian maka keputusan yang telah diambil dalam musyawara tidak dapat berubah lagi yang dalam bahasa adat ditegaskan “amaetaaka, amaetamo”, “jika hitam, hitamlah”.
Peristiwa bersejarah lainnya dalam masa Tua Rade diriwayatkan bahwa Tua Rade juga mengadakan perkunjungan ke negeri Majapahit dan kedatangan beliau ini telah diterima dengan baik oleh keluarga istana kerajaan Majapahit. Sebagai pertanda adanya hubungan darah antara kerajaan Buton dengan Majapahit, Tua Rade membawa kembali di negeri Buton kelengkapan Raja yang diperolehnya dari Raja Majapahit untuk dipakai dan diperlukan di dalam kerajaan Buton. Kelengkapan itu adalah sebagai berikut :
  1. Payung kain,
  2. Permadani,
  3. Gambi isoda yaitu payung yang dipikul(terbuat dari kayu),
  4. Somba yaitu menyembah.
Keempatnya menjadi lambang dan pertanda Raja. Sejak diterimanya adat tersebut, maka Raja Tua Rade mulailah disembah oleh rakyatnya maupun orang-orang besar kerajaannya.
Kemudian telah pula ditetapkan apa yang menjadi penghasilan Raja sebagai isi dari pada ke empat syarat di atas yaitu:
  1. Perahu yang pecah atau terdampar (tawang karang),
  2. Rampe yaitu barang yang hanyut yang dipungut oleh rakyat,
  3. Ambara yaitu hasil laut,
  4. Ikan yang luar biasa besarnya, yang dipikul oleh dua orang.
Demikian pula sekelumit sejarah masa kerajaan Tua Rade yang sebagai penutup diterangkan disini bahwa Tua Rade sebenarnya berasal kata “tuan” dan “raden” yang cukup jelas bahwa dengan demikian itu menandakan kebangsawan Jawa. Nama aslinya tidak diketahui dan dalam silsilah yang hanya disebutkan dari syara Jawa.
Dalam hubungan pembawa syara Jawa dalam kalangan adat terdapat dua pendapat yang berbeda yaitu pendapat pertama Bataraguru dan kedua Tua Rade yang membawanya kembali di Buton dengan bersandar pada pemberian nama penggantinya tersebut di atas. Dan dalam hubungan pakaian juba yang berwarna hitam ini juga mendukung suatu hal yang perlu diteliti lebih dalam, karena dengan demikian itu kemungkinan masuknya Islam telah ada di Buton, namun belum resmi.
Demikianlah sejarah Tua Rade dan diterangkan bahwa beliau tidak mempunyai anak tetapi mengambil anak angkat dari anak saudaranya dan anak angkatnya ini bernama Raja Mulae. Sesudah wafatnya ia digantikan oleh Raja Mulae.

6.   RAJA BUTON YANG KE V RAJA MULAE.
Suatu kelebihan pada masa kerajaan Raja Mulae, hidup kerajaan makmur sekali, demikian kalangan orang tua meriwayatkan. Oleh karena kehidupan yang makmur inilah sehingga Raja Mulae mendapat nama julukan dengan “Sangria i Gola” artinya “keramat yang manis”.
Hasil panen pada waktu itu melimpah ruah. Dari negeri-negeri sahabat diterima pemberian-pemberian untuk raja sebagai tanda kegembiraan rakyat. Oleh karena datangnya pemberian itu sudah terlampau banyak sehingga ada kalanya tidak diketahui lagi asalnya dari mana, maka diambillah suatu keputusan untuk menetapkan seorang petugas khusus yang akan mengurus pemberian-pemberian itu.
Disinilah  awalnya pajak yang disebut “Weti” dalam adat, yang kalau tadinya datang sendirinya dari rakyat, maka lambat laun menjadilah kewajiban bagi rakyat pada setiap tahunnya, tiap tahun panen. Oleh karena nama kewajiban ini dengan perkataan weti, maka jabatan petugas weti dinamakan “tunggu weti”, yang sebagai pejabat yang pertama dipercayakan kepada “La Ngolu”. Adapun besarnya weti itu tidak ada ketentuan khusus dan tidak pula ditetapkan untuk perorangan, tetapi tergantung dari keadaan kampung atau negeri itu sendiri dan dikumpulkan oleh syarat kampung kemudian diteruskan kepada kerajaan. Disamping weti juga sewaktu-waktu pada pesta Sultan atau Raja atau pembesar kerajaan, rakyat mengantarkan persembahannya menurut kebutuhan yang disesuaikan dengan kemampuan rakyat.
Riwayat lain dari kalangan orang tua menerangkan bahwa dengan kerajaan Luwu terjalin hubungan persahabatan yang erat sekali. Dalam hubungan ini pula kerajaan Luwu didatangkan sejumlah petani di Buton yang khusus akan memberikan petunjuk dalam hal penanaman padi. Petani-petani itu ditempatkan pada suatu tempat yang tersendiri pula, tempat mana kemudian dikenal dan dinamakan “Luwu-Luwu”, asal penghuninya, dan sekarang dikenal dengan kampung “Lowu-Lowu”, terdapat dalam distrik Bungi.
Kemudian kedua kerajaan yang bersahabat ini menetapkan suatu tempat untuk sewaktu-waktu diadakan pertemuan rahasia, apabila salah satu diantara kedua mendapat serangan musuh yang tidak dapat dilawan sendiri. Tempat itu adalah “Bungingkalo” terletak dalam distrik Poleang Bugis. Ditempat inilah dirundingkan soal-soal pertahanan kerajaan pada waktu mendapat serangan musuh yang memerlukan bantuan dari sahabat.
Dengan kerajaan Konawe pun tidak pula luput diadakan suatu tempat guna pertemuan rahasia seperti halnya dengan Luwu yang telah dipilih dan ditetapkan atas dasar musyawarah di “Manggabutu” dalam daerah Konawe. Dapatlah dimengerti bahwa perhubungan  di atas bukan hanya sekedar hubungan persahabatan belaka melainkan juga karena perhubungan darah yaitu karena “Wa Bokeo” dan “Wa Sitao”, dimana dalam hal ini dapat dibaca untuk jelasnya pada uraian silsilah Murhum Sultan yang pertama nanti. Kedua putri tersebutlah yang menjadikan perhubungan darah antara Buton dengan Luwu dan antara Buton dengan Konawe.
Demikianlah pula sejarah pemerintahan Raja Mulae. Beliau mempunyai beberapa orang putra dan putri diantaranya “Wa Tampaidongi” yang ia ini juga dengan nama “Borokomalanga” yang dikawinkan dengan “Lakilaponto” putra raja Muna “Sugimanuru”. Perkawinan tersebut adalah karena janji dari Raja Mulae kepada mereka yang mengalahkan dan membunuh kepala perampok yang bernama “La Bolontio” di kampung Bonena Tobungku kira-kira kampung Boneatiro atau sekurang-kurangnya di sekeliling kampung itu dalam distrik Kapuntori. Lebih jelasnya riwayat perlawanan Lakilaponto dengan La Bolontio dapat diikuti pada uraian sejarah Lakilaponto mendatang.
 
Bahwa Raja Mulae disamping putrinya tersebut di atas juga dapat dikemukakan disini “Katimanuru” yang lahir dari gundiknya berasal Limbo Peropa. Katimanuru tersebut bersaudara sebapak 13 orang. Akhirnya setelah wafatnya, Raja Mulae dimakamkan di “Lakapoluka” ujung teluk masuk Kapuntori distrik Kapuntori. Untuk menutup sejarah masa Raja Mulae, penulis  tertarik sebentar untuk menganalisa nama salah satu diantara putri-putri Raja Mulae bernama “Wa Poasa”. Yang dalam penganalisaan singkat dari penulis, adalah relevan sekali kemungkinan masuknya Islam di Buton sebelum tahun Hijriah 948 (1542 M). Menimbulkan pertanyaan bagi penulis, apakah ini tidak berasal dari perkataan puasa? Menahan lapar dan nafsu dari segala godaan dan cobaan, jelasnya memerangi hawa nafsu dengan berusaha membersihkan diri lahir maupun batin. Uraian lengkap masalah ini dapat diikuti nanti pada bagian penguraian masuknya Islam di Buton pada postingan Kerjaan Buton di Bawah Kesultanan.
Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment

Social Icons

Sample Text

Featured Posts

 

FB FLy

Jempolnya, Like This !!!

FB Fly

Jempolnya, Like This !!!

Kursor

Animated Purple Gitter Skull