" Jika cinta itu LOOPING while (Love) { withYouForever(); protectYou(); lovingYou(); makeYouHappy(); eternalLove(); }"

 

Tuesday, May 27, 2014

Kerajaan Buton Di Bawah Kesultanan

0 comments

1. SEKEDAR PENELITIAN DAN PENGGALIAN BAHAN SEJARAH TENTANG ISLAM DI BUTON SEBELUM RESMI  MASUK

Penulis mendahulukan kalimatnya, bahwa SEJARAH MENGUNGKAPKAN KEHIDUPAN MANUSIA DAN MANUSIA MENINGGALKAN SEJARAH.
Dengan  bertitik tolak atas kalimat di atas, kami rasa tertarik untuk sekedar menganalisa dengan ringkas akan makna sejarah dan pengertiannya dimana kata itu berasal dari bahasa Arab “Syajaroh”, yang artinya “pohon”. Yang disebut sejarah oleh orang Arab ialah silsilah, sebab apabila silsilah itu ditulis, merupakan pohon yang mempunyai cabang-cabang dan ranting-ranting. Sejarah itu adalah pengetahuan yang mempelajari peristiwa-peristiwa yang benar-benar terjadi. Dengan mengemukakan makna pengertian sejarah tersebut di atas, maka dapatlah dibaca maksud tujuan penulis, yaitu hendak menganalisa dan menelusuri pemberian nama kepada Wa Poasa putri Raja Mulae, yang kami hubungkan dengan kata Poasa, salah satu kewajiban umat Islam dalam memenuhi tuntutan agama. Dalam hal ini kami berpendapat bahwa besar sekali kemungkinannya bahwa Wa Poasa lahir dalam bulan puasa (puasa bahasa Wolio) Ramadan, atau juga dapat terjadi sementara kedua orang tuanya dalam menunaikan ibadah puasa. Sebab pemberian nama dalam kalangan Wolio biasanya sehubungan dengan suatu peristiwa yang terjadi atau yang dialami sendiri oleh salah seorang diantara kedua orang tuanya atau juga karena keadaan disekelilingnya atau menurut nama dan tempat lahirnya. Bahwa diakui sebelum Islam dalam tradisi sehubungan dengan faham Hindu Budha terdapat pengertian dan faham puasa (tahan lapar), namun ini mendapat penyesuaian untuk memudahkan menarik perhatian dari faham Hindu Budha ke faham yang baru yaitu Islam, sebagaimana yang dilakukan oleh Al Gazali Alim Ulama Parsi terhadap orang-orang Parsi dan dalam hal ini pemberian nama di Wolio terdapat banyak fakta yang mendukung pengertian di atas dimana maksud dan tujuannya seperti tersebut di atas antara lain-lain:
  • F Wa Kaa Kaa diberikan nama demikian itu karena pada waktu didapati dalam Buluh Gading, ia mengeluarkan suara dengan aa aa aa, kemudian dengan kaa kaa kaa,
  • F Tua Rade yang sebenarnya tidak lain dari perkataan tuan dan Raden, menandakan kebangsawanan Jawa dikenal dengan nama “Sangia I Syara Jawa” karena beliaulah yang membawa syara Jawa di Buton.
  • F La Pai (pahit) karena masa lahirnya kedua orang tuanya dalam keadaan yang kekurangan (pahit hidupnya) kemudian La Meko (manis), hidup orang tuanya dalam keadaan bahagia penuh dengan manisan hidup orang tuanya.
  • F La Nipo karena lahir di masa Jepang, sedangkan La Nica lahir pada waktu masa pemerintahan Belanda yang kedua dengan nama NICA (Netherlandsch Indische Civil Administration).
Berdasarkan bahan-bahan perbandingan di atas, maka kami yakin dan percaya bahwa pemberian nama dari Wa Poasa ada hubungannya dengan sudah adanya masuk faham Islam di Buton, apalagi jika pendapat kami ini dihubung-hubungkan dengan adanya pendapat baru sesuai dengan penyelidikan dari para ahli kita yang mengatakan bahwa Islam sudah masuk di Indonesia sejak abad ke VII.
Kemudian jika kami mengambil bahan perbandingan sebagaimana teori dari R.Von Hoine Geldern, P.V.Van Stein Gallenfels menurut peninggalan alat-alat prasejarah, maka menurut kami adalah cukup banyak data yang dapat dikemukakan seperti saja barang-barang antik “Guci Naga”, “Lampu Buton” dari kuningan asal buatan Cina, gong kecil juga asal kuningan yang kini dapat disaksikan di istana Baadia milik Manarfa yang menurut keterangan sudah berusia tidak kurang dari tujuh ratus tahun, dan guci naga akhir-akhir ini cukup menarik perhatian pedagang-pedagang barang antik untuk mengunjungi Buton. Adalah suatu kenyataan bahwa penduduk kerajaan dimasa lampau adalah juga sebagai pedagang pelayar yang tidak perlu diragukan akan kebenarannya. Dan dikenalnya pula ukiran-ukiran pada perhiasan mas dan perak atau dan logam lainnya dengan naga, maka ini semua menunjukkan adanya perhubungan perdagangan dengan negeri Cina di masa lampau. Untuk ini perhatikan misalnya hubungan mahligai di Bau-Bau dari almarhum Sultan Muh. Hamidi Kaimuddin atau bedil pusaka dari kerajaan yang dikenal dengan nama “kaodaodana Wolio”, yang berukiran naga dan yang sama dengan bedil ini, milik La Bukutorende di Rongi, kesemuanya itu merupakan bahan-bahan penting untuk masa-masa mendatang bagi kita, khususnya dibidang sejarah dan kebudayaan .
     Karena itu maka kami berpendapat bahwa Islam sudah ada di Buton sebelum tahun resmi 1542 Masehi atau 948 Hijriah. 
   
     2.   RAJA BUTON YANG KE VI SULTAN YANG PERTAMA.

Masa pemerintahan kerajaannya : 1522 s/d 1568,
N a m a                                            :  Timbang-timbangan,
Nama yang lain                               :  (1)  Lakilaponto (namanya di Muna)
    (2)   Latolaki (namanya di Konawe)
    (3)   Haluoleo (namanya di Konawe)
    (4)   Murhum (namanya sesudah wafatnya, nama inilah yang masyhur.
Gelar kesultanan                            :  Sultan Kaimuddin
Meninggalkan kedudukan             :  Berpulang Kerahmatullah
Dimana dimakamkan              :  Di Lelemangura atau juga dengan nama Rahantulu dalam Benteng Keraton.
           
  • Asal Usul Dan Peristiwa-Peristiwa Bersejarah.
Timbang-timbangan yang lebih dikenal dengan masyhur dengan nama Murhum, adalah anak dari Raja Muna Sugimanuru dengan Watubapala. Sugimanuru berasal dari Sugilaende Raja Muna ke II atau juga dikenal beliau ini dengan Sugimpeari, sedangkan Watubapala berasal dari Kiyjula dan Wa Randea, Sugilaende yang juga dinamakan Sugimpeari adalah anak dari La Eli Bata Laiworu yang juga disebut Mobetena I Tombula atau juga Sugimpatani Raja Muna yang pertama.
La Eli tersebut adalah putra dari Sibatara dengan Wa Bokea dan bersaudara sebapak dengan Bulawambona Raja Buton yang ke II. Sedangkan Kiyjula berasal dari Bataraguru raja Buton ke III, lalu Wa Randea dari La Tiworo Mobetena Iparia dengan istrinya Wasitao. La Tiworo sendiri bersaudara seibu-sebapak dengan La Eli dan Wa Sitao adalah putri bangsawan dari Konawe tidak diketahui namanya, kecuali disebutkan dalam buku silsilah dengan putri Raja Konawe.
Murhum bersaudara dengan La PosasuKobangkuduna, Raja Muna dan saudaranya perempuan bernama “Wa Ode Pogo”, yang juga ia ini dengan nama “Wakaramaguna”.
Dalam masa mudanya Murhum tinggal di istana Raja Mulae sebagai Belobamba. Mengapa Murhum sampai tinggal pada Raja Mulae adalah Murhum termasuk kemenakan dari Raja Mulae, oleh karena tingkah laku Murhum yang sopan santun dan memiliki moral tinggi, menunjukkan ketinggian martabat kebangsawanannya, maka ia menjadi orang yang dihormati dan disegani oleh teman-temannya dalam sepermainan.
Kembali dahulu menguraikan suatu peristiwa sebelumnya Murhum diangkat menjadi raja dan diwaktu beliau masih sebagai penghuni istana Raja Mulae, peristiwa mana adalah peristiwa di kepung Bonena Tobungku, terjadi penyerangan perampokan yang dikepalai oleh La Bolontio. Kepala perampok ini adalah orang yang berani dan termasuk orang yang aneh luar biasa, yaitu ia hanya mempunyai satu biji mata saja yang terdapat ditengah-tengah antara kedua keningnya. Karena pertahanan rakyat Bonena Tobungku tidak mampu menghadapi serangan lawannya itu,  maka dengan mudah La Bolontio menundukkan dan menguasai daerah itu. Beberapa orang dari pemuka kampung yang dapat meloloskan diri, datang memberikan kabar kejadian itu kepada Raja Mulae. Mendengar berita itu serentak juga disiapkan pasukan kerajaan yang cukup kuat untuk pergi menghalau dan menangkap kepala perampok L Bolontio. Sebelum Raja Mulae berangkat bersama pasukannya beliau lebih dahulu berkata bahwa kepada siapa yang dapat mengalahkan dan membunuh kepala perampok La Bolontio, ialah yang menjadi suami putri yang bernama “Borokomalanga” atau juga nama lain “Watampaidongi”. Maka berangkatlah Raja Mulae bersama orang-orang besarnya serta hulubalangnya, sedangkan pimpinan pasukannya ini diserahkan kepada Murhum Lakilaponto.
Mendekat tiba di tempat yang diduduki La Bolontio maka Murhum datang menyembah pada Raja Mulae, untuk memulai penyerangan, yang di dalam penugasannya dialah yang akan menemui La Bolontio. Dengan kaki yang pincang-pincang yang sengaja dibuat-buat sebagai orang sakit kaki layaknya Murhum berjalan menuju ketempat perampok itu. Dan setelah tiba dekat La Bolontio, lawannya itu hanya tertawa senyum saja dan berkata dengan mengejek Murhum “kaukah yang mau menghadapi aku? Belumkah engkau ketahui siapa saya? Sementara itu Murhum dengan diam-diam memasukkan ujung jari kakinya kedalam pasir dan kemudian dengan tiba-tiba disepakanya pasir dan tepat mengenai mata La Bolonti, sehingga kepala perampok itu kalang-kabut jadinya, tidak diduganya akan terjadi yang demikian itu.
Sementara keadaan lawannya dalam keadaan tidak berdaya itu, Murhum menggunakan kesempatan yang baik itu untuk menyerang musuhnya, yang dalam penyerangannya La Bolontio dapat ditewaskan. Melihat keadaan kepala perampok itu, maka anak buahnya pada melarikan diri sehinggan kacaulah pertahanan La Bolontio, namun yang tidak sempat menyerahkan diri. Setelah La Bolontio tewas, Murhum memotong kemaluan La Bolontio untuk menjadikan bukti yang akan diperlihatkan kepada Raja Mulae.
Demikianlah dan Murhum kembali dengan kemenangan dan membawa serta sejumlah tawanan. Sejak waktu inilah kasih sayang Raja Mulae kepada Murhum semakin nampak, apalagi bakal akan menjadi menantunya.
Pengalaman dan pengetahuan dalam menjalankan kerajaan sebagai pemimpin dan lain-lain ilmu pengetahuan senantiasa diajarkan kepada Murhum pada waktu-waktu yang luang oleh Raja Mulae ataupun juga oleh orang-orang besar kerajaan. Dan  sejak semula pribadi Murhum sudah diramalkan kalangan istana akan menjadi bakal pengganti Baginda apabila wafat. Beberapa lamanya Murhum mendapat kabar bahwa neneknya yang bernama Wa Sitao telah meninggal dunia dan meninggalkan harta warisan dan hanyalah ia yang akan menjadi akhli warisnya, dengan doa restu dari Raja Mulae Murhum berangkat ke Konawe. Sementara berada di Konawe timbul perselisihan antara Konawe dan Mekongga. Di dalam perselisihan yang pecah menjadi perang saudara, Murhum mendapat kehormatan dan kepercayaan memimpin lasykar kerajaan Konawe. Karena pengalaman-pengalaman dan kepandaian di dalam mengatur taktik perangnya, walaupun masih muda dalam usia, pertempuran dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat, yaitu hanya delapan hari. Delapan hari bahasa Muna “Halu Oleo”. Karena inilah Murhum juga dikenal dengan nama pengganti Haluoleo, dalam kalangan orang Konawe.
Selanjutnya atas kemenangan yang diperoleh Murhum, maka Raja Konawe beserta orang-orang besarnya sepakat untuk mengangkat Murhum sebagai Raja Konawe, sebagai suatu penghargaan dan terima kasih kerajaan. Pengangkatan ini adalah hanya sebagai Raja Kehormatan, yang kemudian setelah wafatnya Raja juga menjadi Raja definitif, dan sehubungan dengan itu maka Murhum mendapat nama kehormatan dengan “Latolaki”. Nama ini kurang dikenal oleh sejarawan Konawe selain dengan Haluoleo.
Dapat pula diriwayatkan disini bahwa Murhum dikawinkan pula dengan putri Raja Konawe, yang dalam perkawinan ini beliau mempunyai beberapa putri antaranya yang dikenal :
  1. Ode Konawe
  2. Wa Ode Poasia
  3. Wa Ode Lepo-Lepo.
Demikianlah setelah beberapa lama berada di Konawe dan sudah sebagai penerus warisan peninggalan neneknya, Murhum kembali ke Buton. Dalam perjalannya kembali Murhum singgah di Muna, kedatangannya di Muna ini tepat sekali karena tidak lama kemudian ayahnya meninggal dunia. Oleh karena Murhum yang tertua di dalam bersaudara, disamping kelebihan-kelebihan lainnya yang Murhum miliki, maka Murhum diangkat sebagai raja Muna menggantikan ayahnya. Dan tidak lama setelah keangkatannya itu, Murhum tinggalkan Muna kembali meneruskan perjalanannya ke Buton, yang tidak lama sesudah tibanya kembali di Buton dilangsungkanlah perkawinannya dengan Watampaidongi. Itulah sekelumit rangkaian sejarah pribadi Murhum sebelumnya menjadi Raja Buton.
Murhum dinobatkan menjadi Raja menggantikan Raja Mulae dalam tahun ± 15221). Sehubungan dengan pengangkatannya sebagai Raja Buton, maka jabatannya sebagai Raja Muna diserahkan kepada adiknya La Posasu Kobangkuduna. Dalam perjalanannya kembali sesudah penyerahan jabatan Raja Muna kepada adiknya Murhum berjalan melalui Mawasangka dan Gu. Rakyat kedua negeri ini menyatakan keinginannya untuk mengikuti terus pada Murhum dan masuk dalam daerah Kerajaan Buton.
Beberapa lamanya, timbul keributan di Muna oleh karena rakyat tidak mematuhi lagi La Posasu sebagai Raja Muna. Untuk mengembalikan keamanan di Muna, Murhum berangkat lagi ke Muna tetapi kedatangannya ini mendapat tantangan dari syarat Muna dengan perlawanan melalui kekuatan senjata. Tetapi karena keberanian dan pengalaman perang dari pribadi Murhum, maka beliau dapat memenangkan pertempuran yang terjadi dengan syarat Muna sehingga syarat Muna kembali mengakui La Posasu sebagai raja.
Oleh karena kemenanga Murhum ini, maka sebagaimana permintaan rakyat Gu dan Mawasangka kepada Murhum untuk mengikuti masuk kerajaan Buton, bertambah yakin dan percaya mereka akan kebesaran Murhum. Pada waktu Murhum kembali ke Buton dibawanya serta syarat pancana, kemudian Gu dan Mawasangka diberi nama ”pancana” asal kata paincana, sebagai tanda kemenangan Murhum dalam perangnya dengan Syarat Muna2).
Sehubungan dengan perkembangan kerajaan yang nampak pada masa Murhum, tempat pertemuan untuk musyawarah antara Buton dan Luwu yang dikenal dengan Bungingkalo diubah dan disebut “Tondo Wolio” artinya “pagar Wolio” dimaksudkan perbatasan Buton dengan Luwu.
Setelah 20 tahun lamanya sebagai raja maka dalam tahun Hijriah 948 atau 1542 M. Abdul Wahid membawa masuk ajaran Islam di Buton, yang disambut baik oleh Murhum, dengan bukti masuknya beliau sebagai pemeluknya. Diriwayatkan selanjutnya bahwa Abdul Wahid tersebut berkebangsaan Arab dan datang dari Gujarat sebagai pedagang melalui tanah Semenanjung Johor disamping tugasnya sebagai penyiar Islam.
Menurut leluhur Wolio kedatangan Abdul Wahid dimana masuknya Murhum sebagai penganut Islam merupakan kedatangannya yang kedua. Di mana kedatangan Abdul Wahid yang pertama di Buton ialah pada tahun ± 933 Hijriah atau 1527 M, melalui kampung Burangasi (Kecamatan Sampolawa). Untuk mendapatkan bahan yang lebih mendetail tentang Islam di Buton dapat diketahui melalui buku penulis berjudul “Sejarah Masuknya Islam Di Buton”.
Dengan masuknya Murhum dalam Islam, maka jabatan Raja diganti dan disesuaikan dengan gelar jabatan Islam “Sultan”, dengan ini berakhirlah masa kerajaan sebelum Islam  dimana Murhum sebagai Raja yang ke VI/terakhir dan Murhumlah pula yang menjadi Sultan yang pertama, yang mimilih gelar kesultanan dengan “Sultan Kaimuddin”. Untuk sekedar kelengkapan sejarah dan kenangan masa berakhirnya Raja berikut ini disusun selengkapnya masa kerajaan di Buton :
  1. Raja Buton yang ke I ialah Putri Wa Kaa Kaa;
  2. Raja Buton yang ke II ialah Putri Raja Bulawambona;
  3. Raja Buton yang ke III ialah Bataraguru;
  4. Raja Buton yang ke IV ialah Tua Rade;
  5. Raja Buton yang ke V ialah Raja Mulae;
  6. Raja Buton yang ke VI/terakhir ialah Murhum.
Mengungkapkan sekitar keadaan pemerintahan dalam kedudukan sebagai Sultan Murhum mulai menyesuaikan ketentuan-ketentuan kerajaan menurut hukum Islam dengan pendahuluannya yang hingga akhir menjadi falsafah kerajaan Buton sebagai tersebut berikut ini:
“nai-naindamo arataaa somanamo karo;
  nai-naindamo karo somanamo lipu;
  nai-naindamo lipu somanamo agama”.
Artinya;
            “hilang-hilanglah harta asalkan diri;
              hilang-hilanglah diri asalkan negeri;
              hilang-hilanglah negeri asalkan agama”.
Selanjutnya mengenai ketentuan-ketentuan yang menjadi pedoman bagi Murhum di dalam mengendalikan dan memimpin rakyat Buton, terdapat ketentuan-ketentuan yang pada garis besarnya 3 utama dan masing-masing terdiri dari 4 pasal:             
  1. Syara Wolio 4 pasal;
  2. Syara Jawa 4 pasal;
  3. Syara Pancana 4 pasal.
Keterangan dan penjelasan dari ketentuan di atas lebih jauh dapat diikuti pada bagian berikutnya yaitu dimasa Sultan Dayanu Ikhsanuddin Laelangi.
Perkembangan dan kemajuan kerajaan kian nampak demikian pula ketambahan penduduk. Masuknya kerajaan Muna bersatu di dalam kerajaan Buton menjadikan Kaledupa, Tiworo dan Kolencusu (Buton Utara) ragu dan takut kepada Buton3).
Meriwayatkan hubungan rumah tangga Murhum dengan Borokomalanga, tidaklah kekal tetapi berakhir dengan perceraian dan nanti dengan Wa Sameka  sepupu satu kali dari Borokomalanga putri dari La Ngunjaraji saudara Raja Mulae, Murhum hidup kekal hingga wafatnya dan meninggalkan beberapa orang anak masing-masing:
  1. Paramasuni yang dikawini oleh La Siridatu;
  2. Wa Sugirampu yang dikawini oleh La Galunga;
  3. Wa Betao yang dikawini oleh La Songo Kambe-Kambero;
  4. Wa Bunganila yang dikawini oleh La Kabaura
Bahwa Wa Sameka kemudian di dalam pembantukkan Kamboru-Mboru oleh Sultan Dayanu Ikhsanuddi Laelangi juga “inana talu labuana”, yang untuk jelasnya baca uraian mengenai pembentukan Kamboru-Mboru pada bagian berikutnya.
Perlu pula diterangkan disini putra putri Murhum dari lain ibu dan dapat dicatat:
  1. La Tumparasi Sultan Buton ke 2;
  2. La Sangaji Sultan Buton ke 3;
  3. Sangia I Rape ayah Sangia Wambulu;
  4. Kiysuara putrinya di Muna.
Setelah 26 tahun lamanya menjadi Sultan atau seluruh masa jabatannya sebagai pimpinan kerajaan 46 tahun, dalam usia yang sudah lanjut yang diperkirakan tidak akan kurang dari 70 tahun Murhum berpulang ke rahmatullah dan jenazahnya dimakamkan di atas bukit Lelemangura dalam benteng Keraton.
Sesudah wafatnya Murhum masyhur dengan nama pengganti “Murhum”. Sebagai penutup dari masa kerajaan Murhum, diterangkan disini bahwa pribadi Murhum memiliki darah keturunan asal “Johor, Luwu, Muna, Tiworo, dan Konawe” disamping Wolio yang  untuk jelasnya perhatikan silsilahnya terlampir. 

     3.   SULTAN LA TUMPARASI SULTAN BUTON YANG KE 2

Nama                                         :     La Tumparasi
Nama yang lain                         :     Boleka juga Mosabuna I Boleka
Gelar kesultanan                      :     Sultan Kaimuddin
Masa jabatan                            :     1569 s/d 1574
Meninggalkan kedudukan       :     Dilepaskan
Di mana dimakamkan             :     Di Kampani dalam Benteng Keraton.

  • Asal Usul Dan Sejarah Kesultanan
Adapun asal usul dari Sultan La Tumparasi sudah cukup di ketahui, karena sudah diuraikan pada masa ayahandanya Murhum, sehingga tidak perlu lagi diuraikan disini. Riwayat hidup maupun peristiwa-peristiwa bersejarah sejak masa pemerintahan La Tumparasi penulis tidak memperoleh bahan data yang konkrit lisan maupun tertulis dan demikian pula dengan keturunannya.
Setelah berakhirnya masa jabatan beliau kelepasannya dikenal dengan nama “Mosabuna I boleka” artinya yang dilepaskan dan ditinggal di Boleka dalam benteng Keraton. beliau menjalankan kepemerintahan atas kerajaan kurang lebih 6 tahun.

     4.   SULTAN LA SANGAJI SULTAN BUTON YANG KE 3

Nama                                         :     La Sangaji
Nama yang lain                         :     Makengkuna
Gelar kesultanan                      :     Sultan Kaimuddin
Masa jabatan                            :     1575 s/d 1578
Meninggalkan kedudukan       :     Dilepaskan
Di mana dimakamkan             :     Di kampani di dalam benteng Keraton.

  • Asal Usul Dan Peristiwa-Peristiwa Bersejarah.
Asal-usul dari Sultan La Sangaji juga sudah cukup jelas, karena sudah diuraikan pada masa kerajaan Murhum dimana beliau ini bersaudara dengan La Tumparasi berasal dari Murhum. Kemudian peristiwa-peristiwa sejarah yang dapat diungkapkan dalam penulisan ini, tidak diperoleh bahan-bahan yang cukup jelas, kecuali satu-satunya yang dapat diriwayatkan adalah masa beliau ini memerintah tidak ada hujan turun, sehingga oleh karenanya panen rakyat mengalami kegagalan. Rakyat pada waktu itu menderita kelaparan. Tetapi walaupun demikian itu yang menjadikan suatu kelebihan dari Beliau, atas pengakuannya tidak terdapat korban kelaparan, demikian kalangan leluhur meriwayatkan.
Bahwa karena panen tidak jadi, konon diceritakan rakyat sudah pada makan tanah, dan ini masih dikenal hingga sekarang yang disebut “tana ikiande”, tidak jauh dari ibu kota. Oleh karena penderitaan rakyat tersebut, Sultan La Sangaji sesudah wafatnya di berikan nama pengganti dengan “Makengkuna”, artinya “yang kering”, dimaksudkan kering penghasilan kehidupan rakyat.
Itulah pula sekilas lintas riwayat kerajaan Sultan La Sangaji. Beliau meninggalkan dua orang puteri dari permaisurinya yang masing-masing bernama :
  1. Walambecugi, dan
  2. Daramatasahi.
Kedua putrinya ini kelak meninggalkan riwayat dan sejarahnya masing-masing tersendiri di dalam kerajaan Buton.
Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment

Social Icons

Sample Text

Featured Posts

 

FB FLy

Jempolnya, Like This !!!

FB Fly

Jempolnya, Like This !!!

Kursor

Animated Purple Gitter Skull