1. SEKEDAR PENELITIAN DAN PENGGALIAN BAHAN SEJARAH TENTANG ISLAM DI BUTON SEBELUM RESMI MASUK
Penulis
mendahulukan kalimatnya, bahwa SEJARAH MENGUNGKAPKAN KEHIDUPAN MANUSIA DAN
MANUSIA MENINGGALKAN SEJARAH.
Dengan bertitik
tolak atas kalimat di atas, kami rasa tertarik untuk sekedar menganalisa dengan
ringkas akan makna sejarah dan pengertiannya dimana kata itu berasal dari
bahasa Arab “Syajaroh”, yang
artinya “pohon”. Yang
disebut sejarah oleh orang Arab ialah silsilah, sebab apabila silsilah itu
ditulis, merupakan pohon yang mempunyai cabang-cabang dan ranting-ranting.
Sejarah itu adalah pengetahuan yang mempelajari peristiwa-peristiwa yang
benar-benar terjadi. Dengan mengemukakan makna pengertian sejarah tersebut di
atas, maka dapatlah dibaca maksud tujuan penulis, yaitu hendak menganalisa dan
menelusuri pemberian nama kepada Wa Poasa putri Raja Mulae, yang kami hubungkan
dengan kata Poasa, salah satu kewajiban umat Islam dalam memenuhi tuntutan
agama. Dalam hal ini kami berpendapat bahwa besar sekali kemungkinannya bahwa
Wa Poasa lahir dalam bulan puasa (puasa bahasa Wolio) Ramadan, atau juga dapat
terjadi sementara kedua orang tuanya dalam menunaikan ibadah puasa. Sebab
pemberian nama dalam kalangan Wolio biasanya sehubungan dengan suatu peristiwa
yang terjadi atau yang dialami sendiri oleh salah seorang diantara kedua orang
tuanya atau juga karena keadaan disekelilingnya atau menurut nama dan tempat
lahirnya. Bahwa diakui sebelum Islam dalam tradisi sehubungan dengan faham
Hindu Budha terdapat pengertian dan faham puasa (tahan lapar), namun ini
mendapat penyesuaian untuk memudahkan menarik perhatian dari faham Hindu Budha
ke faham yang baru yaitu Islam, sebagaimana yang dilakukan oleh Al Gazali Alim
Ulama Parsi terhadap orang-orang Parsi dan dalam hal ini pemberian nama di
Wolio terdapat banyak fakta yang mendukung pengertian di atas dimana maksud dan
tujuannya seperti tersebut di atas antara lain-lain:
- F Wa Kaa Kaa diberikan nama demikian itu karena pada waktu didapati dalam Buluh Gading, ia mengeluarkan suara dengan aa aa aa, kemudian dengan kaa kaa kaa,
- F Tua Rade yang sebenarnya tidak lain dari perkataan tuan dan Raden, menandakan kebangsawanan Jawa dikenal dengan nama “Sangia I Syara Jawa” karena beliaulah yang membawa syara Jawa di Buton.
- F La Pai (pahit) karena masa lahirnya kedua orang tuanya dalam keadaan yang kekurangan (pahit hidupnya) kemudian La Meko (manis), hidup orang tuanya dalam keadaan bahagia penuh dengan manisan hidup orang tuanya.
- F La Nipo karena lahir di masa Jepang, sedangkan La Nica lahir pada waktu masa pemerintahan Belanda yang kedua dengan nama NICA (Netherlandsch Indische Civil Administration).
Berdasarkan bahan-bahan perbandingan di atas, maka kami
yakin dan percaya bahwa pemberian nama dari Wa Poasa ada hubungannya dengan
sudah adanya masuk faham Islam di Buton, apalagi jika pendapat kami ini
dihubung-hubungkan dengan adanya pendapat baru sesuai dengan penyelidikan dari
para ahli kita yang mengatakan bahwa Islam sudah masuk di Indonesia sejak abad
ke VII.
Kemudian jika kami mengambil bahan perbandingan sebagaimana
teori dari R.Von Hoine Geldern, P.V.Van Stein Gallenfels menurut peninggalan
alat-alat prasejarah, maka menurut kami adalah cukup banyak data yang dapat
dikemukakan seperti saja barang-barang antik “Guci Naga”, “Lampu Buton” dari
kuningan asal buatan Cina, gong kecil juga asal kuningan yang kini dapat
disaksikan di istana Baadia milik Manarfa yang menurut keterangan sudah berusia
tidak kurang dari tujuh ratus tahun, dan guci naga akhir-akhir ini cukup
menarik perhatian pedagang-pedagang barang antik untuk mengunjungi Buton.
Adalah suatu kenyataan bahwa penduduk kerajaan dimasa lampau adalah juga
sebagai pedagang pelayar yang tidak perlu diragukan akan kebenarannya. Dan
dikenalnya pula ukiran-ukiran pada perhiasan mas dan perak atau dan logam
lainnya dengan naga, maka ini semua menunjukkan adanya perhubungan perdagangan
dengan negeri Cina di masa lampau. Untuk ini perhatikan misalnya hubungan
mahligai di Bau-Bau dari almarhum Sultan Muh. Hamidi Kaimuddin atau bedil
pusaka dari kerajaan yang dikenal dengan nama “kaodaodana Wolio”, yang
berukiran naga dan yang sama dengan bedil ini, milik La Bukutorende di Rongi,
kesemuanya itu merupakan bahan-bahan penting untuk masa-masa mendatang bagi
kita, khususnya dibidang sejarah dan kebudayaan .
Karena itu maka kami berpendapat bahwa Islam sudah ada di Buton
sebelum tahun resmi 1542 Masehi atau 948 Hijriah.
2.
RAJA
BUTON YANG KE VI SULTAN YANG PERTAMA.
Masa pemerintahan kerajaannya : 1522 s/d 1568,
N a m a : Timbang-timbangan,
Nama yang lain : (1)
Lakilaponto (namanya di Muna)
(2) Latolaki
(namanya di Konawe)
(3) Haluoleo
(namanya di Konawe)
(4) Murhum
(namanya sesudah wafatnya, nama inilah yang masyhur.
Gelar kesultanan : Sultan Kaimuddin
Meninggalkan kedudukan : Berpulang Kerahmatullah
Dimana dimakamkan : Di
Lelemangura atau juga dengan nama Rahantulu dalam Benteng Keraton.
- Asal Usul Dan Peristiwa-Peristiwa Bersejarah.
Timbang-timbangan
yang lebih dikenal dengan masyhur dengan nama Murhum, adalah
anak dari Raja Muna Sugimanuru
dengan Watubapala.
Sugimanuru berasal dari Sugilaende
Raja Muna ke II atau juga dikenal beliau ini dengan Sugimpeari,
sedangkan Watubapala berasal dari Kiyjula dan Wa
Randea, Sugilaende yang juga dinamakan Sugimpeari adalah anak
dari La Eli Bata Laiworu yang
juga disebut Mobetena
I Tombula atau juga Sugimpatani Raja Muna yang pertama.
La Eli tersebut adalah putra dari Sibatara dengan Wa Bokea dan
bersaudara sebapak dengan Bulawambona
Raja Buton yang ke II. Sedangkan Kiyjula berasal dari Bataraguru raja Buton
ke III, lalu Wa Randea dari La
Tiworo Mobetena Iparia
dengan istrinya Wasitao. La
Tiworo sendiri bersaudara seibu-sebapak dengan La Eli dan Wa Sitao adalah
putri bangsawan dari Konawe tidak diketahui namanya, kecuali disebutkan dalam
buku silsilah dengan putri Raja Konawe.
Murhum bersaudara dengan La Posasu “Kobangkuduna”, Raja
Muna dan saudaranya perempuan bernama “Wa Ode Pogo”, yang
juga ia ini dengan nama “Wakaramaguna”.
Dalam masa mudanya Murhum tinggal di istana Raja Mulae
sebagai Belobamba. Mengapa Murhum sampai tinggal pada Raja Mulae adalah Murhum
termasuk kemenakan dari Raja Mulae, oleh karena tingkah laku Murhum yang sopan
santun dan memiliki moral tinggi, menunjukkan ketinggian martabat
kebangsawanannya, maka ia menjadi orang yang dihormati dan disegani oleh
teman-temannya dalam sepermainan.
Kembali dahulu menguraikan suatu peristiwa sebelumnya
Murhum diangkat menjadi raja dan diwaktu beliau masih sebagai penghuni istana Raja
Mulae, peristiwa mana adalah peristiwa di kepung Bonena Tobungku, terjadi
penyerangan perampokan yang dikepalai oleh La Bolontio. Kepala perampok ini
adalah orang yang berani dan termasuk orang yang aneh luar biasa, yaitu ia
hanya mempunyai satu biji mata saja yang terdapat ditengah-tengah antara kedua
keningnya. Karena pertahanan rakyat Bonena Tobungku tidak mampu menghadapi
serangan lawannya itu, maka dengan mudah
La Bolontio menundukkan dan menguasai daerah itu. Beberapa orang dari pemuka
kampung yang dapat meloloskan diri, datang memberikan kabar kejadian itu kepada
Raja Mulae. Mendengar berita itu serentak juga disiapkan pasukan kerajaan yang
cukup kuat untuk pergi menghalau dan menangkap kepala perampok L Bolontio.
Sebelum Raja Mulae berangkat bersama pasukannya beliau lebih dahulu berkata
bahwa kepada siapa yang dapat mengalahkan dan membunuh kepala perampok La
Bolontio, ialah yang menjadi suami putri yang bernama “Borokomalanga” atau
juga nama lain “Watampaidongi”. Maka
berangkatlah Raja Mulae bersama orang-orang besarnya serta hulubalangnya,
sedangkan pimpinan pasukannya ini diserahkan kepada Murhum Lakilaponto.
Mendekat tiba di tempat yang diduduki La Bolontio maka
Murhum datang menyembah pada Raja Mulae, untuk memulai penyerangan, yang di
dalam penugasannya dialah yang akan menemui La Bolontio. Dengan kaki yang
pincang-pincang yang sengaja dibuat-buat sebagai orang sakit kaki layaknya
Murhum berjalan menuju ketempat perampok itu. Dan setelah tiba dekat La
Bolontio, lawannya itu hanya tertawa senyum saja dan berkata dengan mengejek
Murhum “kaukah yang mau menghadapi aku? Belumkah engkau ketahui siapa saya?
Sementara itu Murhum dengan diam-diam memasukkan ujung jari kakinya kedalam
pasir dan kemudian dengan tiba-tiba disepakanya pasir dan tepat mengenai mata
La Bolonti, sehingga kepala perampok itu kalang-kabut jadinya, tidak diduganya
akan terjadi yang demikian itu.
Sementara keadaan lawannya dalam keadaan tidak berdaya itu,
Murhum menggunakan kesempatan yang baik itu untuk menyerang musuhnya, yang
dalam penyerangannya La Bolontio dapat ditewaskan. Melihat keadaan kepala
perampok itu, maka anak buahnya pada melarikan diri sehinggan kacaulah
pertahanan La Bolontio, namun yang tidak sempat menyerahkan diri. Setelah La
Bolontio tewas, Murhum memotong kemaluan La Bolontio untuk menjadikan bukti
yang akan diperlihatkan kepada Raja Mulae.
Demikianlah dan Murhum kembali dengan kemenangan dan
membawa serta sejumlah tawanan. Sejak waktu inilah kasih sayang Raja Mulae
kepada Murhum semakin nampak, apalagi bakal akan menjadi menantunya.
Pengalaman dan pengetahuan dalam menjalankan kerajaan
sebagai pemimpin dan lain-lain ilmu pengetahuan senantiasa diajarkan kepada
Murhum pada waktu-waktu yang luang oleh Raja Mulae ataupun juga oleh
orang-orang besar kerajaan. Dan sejak
semula pribadi Murhum sudah diramalkan kalangan istana akan menjadi bakal
pengganti Baginda apabila wafat. Beberapa lamanya Murhum mendapat kabar bahwa
neneknya yang bernama Wa Sitao telah meninggal dunia dan meninggalkan harta
warisan dan hanyalah ia yang akan menjadi akhli warisnya, dengan doa restu dari
Raja Mulae Murhum berangkat ke Konawe. Sementara berada di Konawe timbul
perselisihan antara Konawe dan Mekongga. Di dalam perselisihan yang pecah
menjadi perang saudara, Murhum mendapat kehormatan dan kepercayaan memimpin
lasykar kerajaan Konawe. Karena pengalaman-pengalaman dan kepandaian di dalam
mengatur taktik perangnya, walaupun masih muda dalam usia, pertempuran dapat
diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat, yaitu hanya delapan hari.
Delapan hari bahasa Muna “Halu
Oleo”. Karena inilah Murhum juga dikenal dengan nama pengganti
Haluoleo, dalam kalangan orang Konawe.
Selanjutnya atas kemenangan yang diperoleh Murhum, maka
Raja Konawe beserta orang-orang besarnya sepakat untuk mengangkat Murhum
sebagai Raja Konawe, sebagai suatu penghargaan dan terima kasih kerajaan.
Pengangkatan ini adalah hanya sebagai Raja Kehormatan, yang kemudian setelah
wafatnya Raja juga menjadi Raja definitif, dan sehubungan dengan itu maka
Murhum mendapat nama kehormatan dengan “Latolaki”. Nama ini kurang
dikenal oleh sejarawan Konawe selain dengan Haluoleo.
Dapat pula diriwayatkan disini bahwa Murhum dikawinkan pula
dengan putri Raja Konawe, yang dalam perkawinan ini beliau mempunyai beberapa
putri antaranya yang dikenal :
- Ode Konawe
- Wa Ode Poasia
- Wa Ode Lepo-Lepo.
Demikianlah setelah beberapa lama berada di Konawe dan
sudah sebagai penerus warisan peninggalan neneknya, Murhum kembali ke Buton.
Dalam perjalannya kembali Murhum singgah di Muna, kedatangannya di Muna ini
tepat sekali karena tidak lama kemudian ayahnya meninggal dunia. Oleh karena
Murhum yang tertua di dalam bersaudara, disamping kelebihan-kelebihan lainnya
yang Murhum miliki, maka Murhum diangkat sebagai raja Muna menggantikan
ayahnya. Dan tidak lama setelah keangkatannya itu, Murhum tinggalkan Muna
kembali meneruskan perjalanannya ke Buton, yang tidak lama sesudah tibanya
kembali di Buton dilangsungkanlah perkawinannya dengan Watampaidongi. Itulah
sekelumit rangkaian sejarah pribadi Murhum sebelumnya menjadi Raja Buton.
Murhum dinobatkan menjadi Raja menggantikan Raja Mulae
dalam tahun ± 15221). Sehubungan dengan pengangkatannya sebagai Raja
Buton, maka jabatannya sebagai Raja Muna diserahkan kepada adiknya La Posasu Kobangkuduna. Dalam
perjalanannya kembali sesudah penyerahan jabatan Raja Muna kepada adiknya
Murhum berjalan melalui Mawasangka dan Gu. Rakyat kedua negeri ini menyatakan
keinginannya untuk mengikuti terus pada Murhum dan masuk dalam daerah Kerajaan Buton.
Beberapa lamanya, timbul keributan di Muna oleh karena
rakyat tidak mematuhi lagi La Posasu sebagai Raja Muna. Untuk mengembalikan
keamanan di Muna, Murhum berangkat lagi ke Muna tetapi kedatangannya ini
mendapat tantangan dari syarat Muna dengan perlawanan melalui kekuatan senjata.
Tetapi karena keberanian dan pengalaman perang dari pribadi Murhum, maka beliau
dapat memenangkan pertempuran yang terjadi dengan syarat Muna sehingga syarat
Muna kembali mengakui La Posasu sebagai raja.
Oleh karena kemenanga Murhum ini, maka sebagaimana
permintaan rakyat Gu dan Mawasangka kepada Murhum untuk mengikuti masuk
kerajaan Buton, bertambah yakin dan percaya mereka akan kebesaran Murhum. Pada
waktu Murhum kembali ke Buton dibawanya serta syarat pancana,
kemudian Gu dan Mawasangka diberi nama ”pancana” asal kata
paincana, sebagai tanda kemenangan Murhum dalam perangnya dengan Syarat Muna2).
Sehubungan dengan perkembangan kerajaan yang nampak pada
masa Murhum, tempat pertemuan untuk musyawarah antara Buton dan Luwu yang
dikenal dengan Bungingkalo diubah dan disebut “Tondo Wolio”
artinya “pagar
Wolio” dimaksudkan perbatasan Buton dengan Luwu.
Setelah 20 tahun lamanya sebagai raja maka dalam tahun
Hijriah 948 atau 1542 M. Abdul Wahid membawa masuk ajaran Islam di Buton, yang
disambut baik oleh Murhum, dengan bukti masuknya beliau sebagai pemeluknya.
Diriwayatkan selanjutnya bahwa Abdul Wahid tersebut berkebangsaan Arab dan
datang dari Gujarat sebagai pedagang melalui
tanah Semenanjung Johor disamping tugasnya sebagai penyiar Islam.
Menurut leluhur Wolio kedatangan Abdul Wahid dimana
masuknya Murhum sebagai penganut Islam merupakan kedatangannya yang kedua. Di
mana kedatangan Abdul Wahid yang pertama di Buton ialah pada tahun ± 933
Hijriah atau 1527 M, melalui kampung Burangasi (Kecamatan Sampolawa). Untuk
mendapatkan bahan yang lebih mendetail tentang Islam di Buton dapat diketahui
melalui buku penulis berjudul “Sejarah Masuknya Islam Di Buton”.
Dengan masuknya Murhum dalam Islam, maka jabatan Raja
diganti dan disesuaikan dengan gelar jabatan Islam “Sultan”, dengan ini
berakhirlah masa kerajaan sebelum Islam
dimana Murhum sebagai Raja yang ke VI/terakhir dan Murhumlah pula yang
menjadi Sultan yang pertama, yang mimilih gelar kesultanan dengan “Sultan Kaimuddin”. Untuk
sekedar kelengkapan sejarah dan kenangan masa berakhirnya Raja berikut ini
disusun selengkapnya masa kerajaan di Buton :
- Raja Buton yang ke I ialah Putri Wa Kaa Kaa;
- Raja Buton yang ke II ialah Putri Raja Bulawambona;
- Raja Buton yang ke III ialah Bataraguru;
- Raja Buton yang ke IV ialah Tua Rade;
- Raja Buton yang ke V ialah Raja Mulae;
- Raja Buton yang ke VI/terakhir ialah Murhum.
Mengungkapkan sekitar keadaan pemerintahan dalam kedudukan
sebagai Sultan Murhum mulai menyesuaikan ketentuan-ketentuan kerajaan menurut
hukum Islam dengan pendahuluannya yang hingga akhir menjadi falsafah kerajaan Buton
sebagai tersebut berikut ini:
“nai-naindamo
arataaa somanamo karo;
nai-naindamo karo somanamo lipu;
nai-naindamo lipu somanamo agama”.
Artinya;
“hilang-hilanglah harta asalkan diri;
hilang-hilanglah
diri asalkan negeri;
hilang-hilanglah
negeri asalkan agama”.
Selanjutnya mengenai ketentuan-ketentuan yang menjadi
pedoman bagi Murhum di dalam mengendalikan dan memimpin rakyat Buton, terdapat
ketentuan-ketentuan yang pada garis besarnya 3 utama dan masing-masing terdiri
dari 4 pasal:
- Syara Wolio 4 pasal;
- Syara Jawa 4 pasal;
- Syara Pancana 4 pasal.
Keterangan
dan penjelasan dari ketentuan di atas lebih jauh dapat diikuti pada bagian
berikutnya yaitu dimasa Sultan Dayanu Ikhsanuddin Laelangi.
Perkembangan dan kemajuan kerajaan kian nampak demikian
pula ketambahan penduduk. Masuknya kerajaan Muna bersatu di dalam kerajaan Buton
menjadikan Kaledupa, Tiworo dan Kolencusu (Buton Utara) ragu dan takut kepada Buton3).
Meriwayatkan hubungan rumah tangga Murhum dengan
Borokomalanga, tidaklah kekal tetapi berakhir dengan perceraian dan nanti
dengan Wa Sameka sepupu satu kali dari
Borokomalanga putri dari La Ngunjaraji saudara Raja Mulae, Murhum hidup kekal
hingga wafatnya dan meninggalkan beberapa orang anak masing-masing:
- Paramasuni yang dikawini oleh La Siridatu;
- Wa Sugirampu yang dikawini oleh La Galunga;
- Wa Betao yang dikawini oleh La Songo Kambe-Kambero;
- Wa Bunganila yang dikawini oleh La Kabaura
Bahwa Wa
Sameka kemudian di dalam pembantukkan Kamboru-Mboru oleh Sultan Dayanu
Ikhsanuddi Laelangi juga “inana
talu labuana”, yang untuk jelasnya baca uraian mengenai pembentukan
Kamboru-Mboru pada bagian berikutnya.
Perlu pula diterangkan disini putra putri Murhum dari lain
ibu dan dapat dicatat:
- La Tumparasi Sultan Buton ke 2;
- La Sangaji Sultan Buton ke 3;
- Sangia I Rape ayah Sangia Wambulu;
- Kiysuara putrinya di Muna.
Setelah 26 tahun lamanya menjadi Sultan atau seluruh masa
jabatannya sebagai pimpinan kerajaan 46 tahun, dalam usia yang sudah lanjut
yang diperkirakan tidak akan kurang dari 70 tahun Murhum berpulang ke
rahmatullah dan jenazahnya dimakamkan di atas bukit Lelemangura dalam benteng Keraton.
Sesudah wafatnya Murhum masyhur dengan nama pengganti “Murhum”.
Sebagai penutup dari masa kerajaan Murhum, diterangkan disini bahwa pribadi
Murhum memiliki darah keturunan asal “Johor,
Luwu, Muna, Tiworo, dan Konawe” disamping Wolio yang untuk jelasnya perhatikan silsilahnya
terlampir.
3.
SULTAN
LA TUMPARASI SULTAN BUTON YANG KE 2
Nama : La Tumparasi
Nama yang lain : Boleka juga Mosabuna I Boleka
Gelar kesultanan : Sultan Kaimuddin
Masa jabatan : 1569 s/d 1574
Meninggalkan kedudukan : Dilepaskan
Di mana dimakamkan : Di Kampani dalam Benteng Keraton.
- Asal Usul Dan Sejarah Kesultanan
Adapun asal usul dari Sultan La Tumparasi sudah cukup di
ketahui, karena sudah diuraikan pada masa ayahandanya Murhum, sehingga tidak
perlu lagi diuraikan disini. Riwayat hidup maupun peristiwa-peristiwa
bersejarah sejak masa pemerintahan La Tumparasi penulis tidak memperoleh bahan
data yang konkrit lisan maupun tertulis dan demikian pula dengan keturunannya.
Setelah berakhirnya masa jabatan beliau kelepasannya
dikenal dengan nama “Mosabuna
I boleka” artinya yang dilepaskan dan ditinggal di Boleka dalam
benteng Keraton. beliau menjalankan kepemerintahan atas kerajaan kurang lebih 6
tahun.
4.
SULTAN
LA SANGAJI SULTAN BUTON YANG KE 3
Nama : La
Sangaji
Nama yang lain : Makengkuna
Gelar kesultanan : Sultan Kaimuddin
Masa jabatan : 1575 s/d 1578
Meninggalkan kedudukan : Dilepaskan
Di mana dimakamkan : Di kampani di dalam benteng Keraton.
- Asal Usul Dan Peristiwa-Peristiwa Bersejarah.
Asal-usul dari Sultan La Sangaji juga sudah cukup jelas,
karena sudah diuraikan pada masa kerajaan Murhum dimana beliau ini bersaudara
dengan La Tumparasi berasal dari Murhum. Kemudian peristiwa-peristiwa sejarah
yang dapat diungkapkan dalam penulisan ini, tidak diperoleh bahan-bahan yang
cukup jelas, kecuali satu-satunya yang dapat diriwayatkan adalah masa beliau ini
memerintah tidak ada hujan turun, sehingga oleh karenanya panen rakyat
mengalami kegagalan. Rakyat pada waktu itu menderita kelaparan. Tetapi walaupun
demikian itu yang menjadikan suatu kelebihan dari Beliau, atas pengakuannya
tidak terdapat korban kelaparan, demikian kalangan leluhur meriwayatkan.
Bahwa karena panen tidak jadi, konon diceritakan rakyat
sudah pada makan tanah, dan ini masih dikenal hingga sekarang yang disebut “tana ikiande”, tidak
jauh dari ibu kota. Oleh karena penderitaan rakyat tersebut, Sultan La Sangaji
sesudah wafatnya di berikan nama pengganti dengan “Makengkuna”, artinya “yang kering”,
dimaksudkan kering penghasilan kehidupan rakyat.
Itulah pula sekilas lintas riwayat kerajaan Sultan La
Sangaji. Beliau meninggalkan dua orang puteri dari permaisurinya yang
masing-masing bernama :
- Walambecugi, dan
- Daramatasahi.
Kedua putrinya ini kelak meninggalkan riwayat dan
sejarahnya masing-masing tersendiri di dalam kerajaan Buton.