" Jika cinta itu LOOPING while (Love) { withYouForever(); protectYou(); lovingYou(); makeYouHappy(); eternalLove(); }"

 

Tuesday, May 27, 2014

Sejarah Lahirnya Nama Kelurahan Bone-Bone

0 comments

Pemberian sebuah nama lokasi atau daerah sudah pasti memiliki latar belakang atau sejarah. Apakah itu berfungsi untuk mengenang sebuah benda, manusia, atau sebuah kejadian yang sulit terlupakan.

Mungkin melalui tulisan singkat ini, kami akan suguhkan sebuah temuan tentang asal mula pemberian nama ‘Bone-Bone’ sebuah nama kelurahan di kecamatan Betoambari kota Bau-Bau.

Banyak versi yang mengatakan tentang sejarah pemberian nama kelurahan ini. Ada yang mengatakan karena berada di tepi pantai yang dipenuhi pasir. Dalam bahasa Buton (Pasir = Bone) sehingga setiap orang yang menginjakkan kakinya di tepi pantai pasti akan dipenuhi pasir. Sehingga jika dalam bentuk jamak, (Berpasir = Ko Bone Bone).

Ini salah satu versi yang dapat diketahui secara umum oleh siapapun, apalagi yang mengetahui jika Bone dalam bahasa Buton berarti pasir. Namun, sebuah cerita yang dihimpun tidaklah seperti itu adanya. Menurut sumber yang diperoleh, ketika itu kawasan kelurahan Bone Bone hanyalah deretan batu karang tanpa pasir. Melalui seorang tokoh nelayan di kelurahan Bone Bone La Basi yang dikenal memiliki segudang pengalaman yang diwawancarai dalam Bahasa Buton menuturkan jika asal mula nama Bone Bone sebenarnya muncul berawal dari kedatangan 2 bersaudara dari Bone (Sulawesi Selatan) yakni Andi Manguju dan Maa Naja (nama gelar Bukan Nama aslinya).

Keduanya berstatus sebagai nelayan dan ketika itu membawa Jala dan Buani (alat tangkap ikan). Sekedar diketahui, Jala dan Buani ini berasal dari Bugis Bone, bukan dari Buton. Ketika itu, belum ada kehidupan di kawasan pesisir pantai masih hutan belukar. Disanalan Andi Manguju dan Maa Naja mendirikan sebuah pondok peristirahatan di sela sela waktu melaut.

Lokasi tersebut saat ini kita bisa temui di pantai Kelurahan Bone Bone tepatnya di lingkungan Morikana yang dikenal dengan Ngapana Morikana (Ngapa = sebuah lokasi tepi pantai ; Morikana = Awal, permulaan) yang dipenuhi sampan dan perahu nelayan. Dahulu lokasi ini disebut ‘Ngapana Bone’.

Beberapa waktu kemudian, turun dua warga dari Lingkungan Melai dan Gundu Gundu yakni Maa Mpalei dan Maa Patani juga dengan maksud untuk melakukan aktivitas sebagai nelayan. Karena keasyikan dan menemukan suasana nyaman, keduanya menjadi betah dan mendirikan tempat peristirahan (Ponue) bersama Andi Manguju dan Maa Naja.
Disinilah permulaan kehidupan berkembang dan terjadilah interaksi social dengan masyarakat. Maa Mpalei dan Maa Patani merupakan generasi pertama untuk warga pribumi Wolio yang menginjakkan kaki di kelurahan Bone Bone tepatnya di lingkungan Morikana. Saat ini masyarakat khususnya di lingkungan Morikana tidak lain adalah anak Cucu Maa Mpalei dan Maa Patani. Adapun jika ada pihak lain berarti merupakan pendatang.

Waktu terus berlalu, kehidupan pun terus berkembang. Satu persatu warga mulai mendirikan rumah di pesisir pantai Bone Bone. Keturunan Maa Mpalei dan Maa Patani juga semakin berkembang dan melahirkan sebuah lingkungan hingga akhirnya terbentuk sebuah masyarakat Bone Bone.

Sementara itu, Andi Manguju dan Maa Naja dalam aktifitas sehari hari juga terus berbaur dengan masyarakat. Maa Naja memperistri seorang gadis sedangkan Andi Manguju tetap hidup lajang hingga akhir hayatnya. Andi Manguju hanya berkosentrasi dengan profesinya sebagai nelayan. Bahkan makamnya pun saat ini berada di Ngkolo Ngkolo (Tepatnya di pulau seberang dekat Waara). Oleh nelayan Waara, La Maasa dan rekan nelayan Lainnya, makam ini dipugar dan dirawat. Mungkin hanya kebetulan saja, salah seorang nelayan yang setiap tahun memiliki penghasilan melimpah adalah La Maasa.

Sedangkan Makam Maa Naja berada di lokasi pemakaman umum kelurahan Bone Bone tepatnya di bagian perbatasan kelurahan Bone-Bone dan tarafu. Sedangkan Makam Maa Patani tidak berjauhan dengan Makam Maa Mpalei. Tepatnya di lingkungan Morikana kelurahan Bone Bone.

Menurut Cerita, setiap kali acara ritual bagi para nelayan (Pakande Kandeana Andala) diawali dengan ziarah di makam Maa Naja kemudian menyeberang laut menuju makam Andi Manguju. Setelah itu barulah acara itu dimulai. Saat ini upacara adat Pakande Kandeana Andala ini jarang dilakukan karena ada yang menilai Bid’ah atau berhala. Namun, sebagian masyarakat masih memegang teguh keyakinan ini utamanya para nelayan. Sebab, laut merupakan tumpuan harapan dan juga bisa menjadi ‘makam’ bagi kaum nelayan.

Kedua tokoh dari Bugis Bone ini menjadi perintis awal potensi nelayan di kelurahan Bone-Bone. Hanya saja banyak yang tidak mengetahui cerita ini. Saat ini, kelurahan Bone Bone menjadi kawasan yang paling disegani karena hasil perikanan. “Itu yang sempat saya ketahui, kalau di bagian lingkungan Kaluku yang saya Tahu itu adalah kawasan dari kelurahan Pimpi yang juga turun melaut,” tutur La Basi diakhir wawancara.

Sepenggal cerita ini mungkin belum sempurna atau juga masih ada versi lain. Namun, sementara inilah yang dapat dihimpun dari seorang tokoh masyarakat kelurahan Bone Bone La Basi yang oleh masyarakat dikenal sebagai sosok yang memiliki banyak pengalaman dan cerita. La Basi beralamat di Lingkungan Morikana kelurahan Bone Bone juga dari kalangan nelayan.
Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment

Social Icons

Sample Text

Featured Posts

 

FB FLy

Jempolnya, Like This !!!

FB Fly

Jempolnya, Like This !!!

Kursor

Animated Purple Gitter Skull