Pemberian sebuah nama
lokasi atau daerah sudah pasti memiliki latar belakang atau sejarah. Apakah itu berfungsi untuk mengenang sebuah benda,
manusia, atau sebuah kejadian yang sulit terlupakan.
Mungkin melalui tulisan singkat ini, kami akan suguhkan sebuah temuan tentang
asal mula pemberian nama ‘Bone-Bone’ sebuah nama kelurahan di kecamatan
Betoambari kota Bau-Bau.
Banyak versi yang mengatakan tentang sejarah pemberian nama kelurahan ini. Ada
yang mengatakan karena berada di tepi pantai yang dipenuhi pasir. Dalam bahasa
Buton (Pasir = Bone) sehingga setiap orang yang menginjakkan kakinya di tepi
pantai pasti akan dipenuhi pasir. Sehingga jika dalam bentuk jamak, (Berpasir =
Ko Bone Bone).
Ini salah satu versi yang dapat diketahui secara umum oleh siapapun, apalagi
yang mengetahui jika Bone dalam bahasa Buton berarti pasir. Namun, sebuah
cerita yang dihimpun tidaklah seperti itu adanya. Menurut sumber yang
diperoleh, ketika itu kawasan kelurahan Bone Bone hanyalah deretan batu karang
tanpa pasir. Melalui seorang tokoh nelayan di kelurahan Bone Bone La Basi yang
dikenal memiliki segudang pengalaman yang diwawancarai dalam Bahasa Buton
menuturkan jika asal mula nama Bone Bone sebenarnya muncul berawal dari kedatangan
2 bersaudara dari Bone (Sulawesi Selatan) yakni Andi Manguju dan Maa Naja (nama
gelar Bukan Nama aslinya).
Keduanya berstatus sebagai nelayan dan ketika itu membawa Jala dan Buani (alat
tangkap ikan). Sekedar diketahui, Jala dan Buani ini berasal dari Bugis Bone,
bukan dari Buton. Ketika itu, belum ada kehidupan di kawasan pesisir pantai
masih hutan belukar. Disanalan Andi Manguju dan Maa Naja mendirikan sebuah
pondok peristirahatan di sela sela waktu melaut.
Lokasi tersebut saat ini kita bisa temui di pantai Kelurahan Bone Bone tepatnya
di lingkungan Morikana yang dikenal dengan Ngapana Morikana (Ngapa = sebuah
lokasi tepi pantai ; Morikana = Awal, permulaan) yang dipenuhi sampan dan
perahu nelayan. Dahulu lokasi ini disebut ‘Ngapana Bone’.
Beberapa waktu kemudian, turun dua warga dari Lingkungan Melai dan Gundu Gundu
yakni Maa Mpalei dan Maa Patani juga dengan maksud untuk melakukan aktivitas
sebagai nelayan. Karena keasyikan dan menemukan suasana nyaman, keduanya
menjadi betah dan mendirikan tempat peristirahan (Ponue) bersama Andi Manguju
dan Maa Naja.
Disinilah permulaan kehidupan berkembang dan terjadilah interaksi social dengan
masyarakat. Maa Mpalei dan Maa Patani merupakan generasi pertama untuk warga
pribumi Wolio yang menginjakkan kaki di kelurahan Bone Bone tepatnya di
lingkungan Morikana. Saat ini masyarakat khususnya di lingkungan Morikana tidak
lain adalah anak Cucu Maa Mpalei dan Maa Patani. Adapun jika ada pihak lain
berarti merupakan pendatang.
Waktu terus berlalu, kehidupan pun terus berkembang. Satu persatu warga mulai
mendirikan rumah di pesisir pantai Bone Bone. Keturunan Maa Mpalei dan Maa
Patani juga semakin berkembang dan melahirkan sebuah lingkungan hingga akhirnya
terbentuk sebuah masyarakat Bone Bone.
Sementara itu, Andi Manguju dan Maa Naja dalam aktifitas sehari hari juga terus
berbaur dengan masyarakat. Maa Naja memperistri seorang gadis sedangkan Andi
Manguju tetap hidup lajang hingga akhir hayatnya. Andi Manguju hanya
berkosentrasi dengan profesinya sebagai nelayan. Bahkan makamnya pun saat ini
berada di Ngkolo Ngkolo (Tepatnya di pulau seberang dekat Waara). Oleh nelayan
Waara, La Maasa dan rekan nelayan Lainnya, makam ini dipugar dan dirawat.
Mungkin hanya kebetulan saja, salah seorang nelayan yang setiap tahun memiliki
penghasilan melimpah adalah La Maasa.
Sedangkan Makam Maa Naja berada di lokasi pemakaman umum kelurahan Bone Bone
tepatnya di bagian perbatasan kelurahan Bone-Bone dan tarafu. Sedangkan Makam
Maa Patani tidak berjauhan dengan Makam Maa Mpalei. Tepatnya di lingkungan
Morikana kelurahan Bone Bone.
Menurut Cerita, setiap kali acara ritual bagi para nelayan (Pakande Kandeana
Andala) diawali dengan ziarah di makam Maa Naja kemudian menyeberang laut
menuju makam Andi Manguju. Setelah itu barulah acara itu dimulai. Saat ini
upacara adat Pakande Kandeana Andala ini jarang dilakukan karena ada yang
menilai Bid’ah atau berhala. Namun, sebagian masyarakat masih memegang teguh
keyakinan ini utamanya para nelayan. Sebab, laut merupakan tumpuan harapan dan
juga bisa menjadi ‘makam’ bagi kaum nelayan.
Kedua tokoh dari Bugis Bone ini menjadi perintis awal potensi nelayan di
kelurahan Bone-Bone. Hanya saja banyak yang tidak mengetahui cerita ini. Saat
ini, kelurahan Bone Bone menjadi kawasan yang paling disegani karena hasil
perikanan. “Itu yang sempat saya ketahui, kalau di bagian lingkungan Kaluku
yang saya Tahu itu adalah kawasan dari kelurahan Pimpi yang juga turun melaut,”
tutur La Basi diakhir wawancara.
Sepenggal cerita ini mungkin belum sempurna atau juga masih ada versi lain.
Namun, sementara inilah yang dapat dihimpun dari seorang tokoh masyarakat
kelurahan Bone Bone La Basi yang oleh masyarakat dikenal sebagai sosok yang
memiliki banyak pengalaman dan cerita. La Basi beralamat di Lingkungan Morikana
kelurahan Bone Bone juga dari kalangan nelayan.