" Jika cinta itu LOOPING while (Love) { withYouForever(); protectYou(); lovingYou(); makeYouHappy(); eternalLove(); }"

 

Tuesday, May 27, 2014

Jejak Kepahlawanan Oputa Yiko

1 comments

Oputa yi Koo bernama asli La Karambau yang dikenal dengan gelar kesultanannya Sultan Himayatuddin Ibnu Sultaani Liyaauddin Ismail adalah “orang Buton” yang paling dibenci dan dimusuhi kompeni Belanda. Satu-satunya sultan buton yang menjabat dua kali yaitu Sultan ke-20 pada tahun 1752-1752 dan Sultan ke-3 tahun 1760 sampai 1763 ini tidak pernah kompromi menghadapi Belanda. Inilah yang membuat Belanda terus memburunya sampai akhir hayatnya.

Kebencian putra La Umati (Sultan Buton ke-13) ini terhadap Belanda tertanam sejak masih remaja. Persitiwa tenggelamnya kapal Belanda Rust en Werk di perairan mengawali peperangan antara Belanda dan menantu kesayangan La Ngkariyriy (Sultan Buton ke-19) ini. Karamnya armada besar Belanda yang diakibatkan komplotan pembelot Belanda dimotori Frans-Frans (mantan juru bahasa di Bulukumba yang juga seorang residivis) itu menjadi alasan VOC untuk menyerang Buton sehingga berbuntut perang terbuka.

Himayatuddin, begitu panggilan singkat Belanda yang saat itu belum lama menjabat sultan enggan memberi pertolongan pada kompeni atas peristiwa itu, yang seharusnya dilakukannya sesuai kontrak Sultan Buton sebelumnya pada tahun 1613 dan 1667. Pada tahun 1755, Kapten J.C. Rijsweber diutus ke Buton untuk mengingatkan hukuman yang akan ditimpakan apabila Sultan tidak segera mengirimkan utusannya ke Makassar untuk menjelaskan sikap Sultan.

Tokoh yang konon memiliki perawakan tegak, besar, tinggi dan kesatria itu tidak mengindahkan ultimatum kompeni apalagi memperbaharui kontrak dengan beberapa tambahan. Malahan Sultan yang sejak kecil sudah nampak jiwa kesatrianya ini menjalin hubungan dengan raja-raja Bone dan Ternate untuk memperoleh bantuan. Peristiwa “Rust en werk” mengakibatkan hubungan diplomasi antara Butuuni dan   Belanda sulit terselesaikan dengan sikap keras kepala Sultan menurut Belanda.

Tahta Himayatuddin akhirnya digantikan iparnya Sultan Hamim, bergelar Sultan Sakiyuddin. Keputusan sara menurunkan Himayatuddin dari tahta bertujuan memperbaiki hubungan diplomasi Buton dengan Belanda sehingga ancaman serangan belanda diurungkan. Namun seiring waktu bergulir, hubungan yang diharapklan bakal membaik itu justru makin memburuk sehingga perangpun tidak terelakkan. (menurut A.M. Zahari, kesepakatan La Karambau dan Hamim itu adalah sebuah langkah politis). Namun VOC mengetahui bahwa La Karambau masih ada dan berperan meski tidak berkuasa lagi.

Dua perjanjian yang disororkan Belanda pada Sultan Hamim, pertama mengenai pengukuhan perjanjian tahun 1667, kedua tentang pembayaran ganti rugi yang dialami Belanda atas karamnya kapal Rust en Werk. Oputa yi Koo yang mem-back up Hamim dari belakang juga tidak mengindahkan dua perjanjian itu. Yang dilakukannya hanya sebatas surat menyurat tidak ada realisasi. Sikap inilah yang kemudian menyulut api peperangan. Akhirnya Belanda menurunkan lima armada tempurnya menyerang Buton.

Armada Belanda yang berlabuh di pelabuhan Bau-Bau mengirimkan pasukannya ke pusat pertahahan  Buton di pagi buta. Pertempuranpun tak dapat terhindarkan. Pasukan Buton yang dipimpin Oputa yi Koo sudah bersiap-siap menyambut serangan Belanda. Dengan jiwa kesatrianya, Oputa yi Koo terus mengobarkan api perlawanan. Perlawanan berlangsung sengit. Namun pasukan Belanda yang turun dengan kekuatan penuh dilengkapi peralatan perang yang lebih canggih akhirnya mampu memukul mundur pasukan Buton yang bertahan mati-matian di dalam benteng keraton.  Oputa yi Koo dan pasukannya yang sudah mulai terdesak akhirnya menarik diri. Sultan Hamim beserta keluarganya terlebih dahulu diselamatkan dan mengungsi ke Kaesabu. Kemudian Himayatuddin bersama pasukannya menyusul belakangan.

Dalam pertempuran tersebut, seorang kompeni tewas dan 39 lainnya luka-luka. Sementara dari pihak Buton, menurut laporan Rijsweber, Kapitalau (Kapitan laut), Bonto Ogena   (Mentri Besar), Raja Lawele dan Tondana serta mantan Raja Rakina gugur di medan perang. Peristiwa tersebut dikenal orang buton sebagai zamani kaheruna walanda (zaman huru-hara Belanda).

Dalam peristiwa itu, putri dan cucu Himayatuddin Waode Wakato dan Waode Kamali tidak sempat dilarikan sehingga keduanya ditawan Belanda. Anak dan cucu kesayangannya itu kemudian dijadikan umpan oleh Belanda untuk menangkapnya. Tapi dengan jiwa kesatria dan memegang teguh falsafah buton dia merelakan keduanya dibawa Belanda. Konon keduanya akhirnya dibawa ke negeri Belanda sampai berketurunan disana.     

Di tengah pengasingannya, La Karambau dipanggil Sara untuk kembali dicalonkan sebagai Sultan. Pertimbangan Sara,  rongrongan Belanda terhadap Buton terus terjadi. Setiap Belanda datang ke Buton selalu membawa kapal perang untuk menaklukkan Buton.. Makanya figur yang paling pas saat itu adalah La Karambau. Alhasil, melalui fali (voting), La Karambau kembali terpilih sebagai Sultan untuk kedua kalinya. Tahta Sultan ke-23 dijabatnya mulai tahun 1760 sampai 1763.

Tahta yang diduduki La Karambau tidak berlangsung lama. Oleh karena sebagian anggota sara ragu dengan kepempimpinannya yang tidak maun kompromi dengan Belanda, akhirnya beliau meletakkan jabatannya lalu mengasingkan diri di hutan Siontapina. Sebab itulah beliau digelar Oputa  yi Koo (Sultan yang mengasingkan diri di hutan).

Dalam pengasingannya, perjuangan Himayatuddin melawan Belanda bukannya surut. Api perlawanan terus dikobarkan. Masyarakat Wasumba dirangkulnya dan dijadikan sebagai basis kekuatan militernya. Strategi perang gerilya jadi pilihan utama untuk melawan belanda. Di atas gunung Siontapina didirikan benteng-benteng pertahanan untuk menghalau serangan Belanda.. Belanda yang sangat membenci Himayatuddin terus memburunya karena target Belanda adalah menangkapnya hidup atau mati.

Beberapa kali perang terjadi di bukit Siontapina, namun karena medan perang yang lebih dikuasai Himayatuddin dan pasukannya. Pasukan Belanda selalu berhasil dipukul mundur. Serangan Belanda tak pernah berhasil menembus pusat pertahanan. Apalagi benteng pertahanan sengaja dibangun di lereng-lereng terjal gunung sehingga Belanda kesulitan menembusnya.  

Sampai akhir hayatnya, Oputa yi Koo terus mengobarkan api perlawanan terhadap penjajah Belanda. Beliau terus menetap di Siontapina hingga ajal menjemput. Di awal hingga akhir perjuangannya, tokoh Buton yang kini disulkan sebagai pahlawan nasional itu tidak pernah mau berkompromi dengan Belanda. Dan lagi beliau tidak pernah ditangkap Belanda.

Masyarakat Wasuamba Kecamatam Lasalimu terus mengenang perjuangan Oputa yi Koo sampai sekarang. Beliau begitu dikultuskan masyarakat yang telah membantu perjuangannya. Setiap tahun di waktu tertentu, masyarakat Wasuamba menggelar upacara ritual di makam Oputa yi Koo di puncak gunung Siontapina.

1 comments:

Social Icons

Sample Text

Featured Posts

 

FB FLy

Jempolnya, Like This !!!

FB Fly

Jempolnya, Like This !!!

Kursor

Animated Purple Gitter Skull