Diriwayatkan dalam lembaran sejarah budaya Buton tentang
peristiwa hadirnya Syekh Akbar Maulana Sayid Abdul Wahid di negeri Buton tahun
1526 M. Beliau adalah cucu dari Imam besar Abdul Qadir Jaelani dari pihak ibu,
sedangkan ayahnya adalah Sultan Sulaiman Sarif Ali, putra dari Imam Muhammad
Ali Idrus Aden yang memiliki keturunan Wa Ode Nambo Yi Tanto atau Wa Salabose.
Ketika itu masih zaman pemerintahan Raja Mulae (Raja Buton V).
Peristiwa ini menggegegerkan Syara atau staf Kerajaan karena
kehadiran Syekh Akbar Maulana Sayid Abdul Wahid dianggap memecah belah kerajaan
Buton. Karena kondisi yang tidak menguntungkan Syekh Akbar Maulana Sayid Abdul
Wahid diusir oleh staf kerajaan dan melarikan diri di teluk Wameo (Salah satu
nama keluharan yang berada di pesisir pantai kecamatan.
Betoambari) dan memilih dua buah batu sebagai tempat pijakan
kaki. Atas izin Allah SWT kedua batu tersebut terapung sehingga dapat digunakan
sebagai tumpangan untuk melarikan diri. Sedangkan sorban yang dikenakannya
digunakan sebagai layar. Peristiwa inilah yang oleh masyarakat Buton
mengenalnya dengan munculnya salah satu situs bersejarah yaitu ‘Batu Poaro’
atau batu berhadapan.
Oleh masyarakat Buton, nama Batu Poaro yang terletak di Lingkungan Ponda
kelurahan Wameo ini diyakini sebagai salah satu situs sejarah. Namun sayang,
masih banyak yang belum mengetahui sejarahnya.
Peristiwa luar biasa inilah yang menimbulkan kesadaran bagi staf kerajaan bahwa
kedatangan Syekh Akbar Maulana Sayid Abdul Wahid bermaksud baik. Ketika itu
mereka pun langsung melambaikan tangan kearah Syekh Akbar Maulana Sayid Abdul
Wahid namun tidak dihiraukan. Syekh Akbar Maulana Sayid Abdul Wahid tetap
melanjutkan perjalanan. Dalam sejarah budaya Buton dicantumkan kepergian Syekh
Akbar Maulana Sayid Abdul Wahid menuju Gresik tanah Jawa kemudian menuju Johor
dan kembali ke Madinah.
Dua belas tahun kemudian tepatnya 1538 M, Syekh Akbar Maulana Sayid Abdul Wahid dikabarkan kembali mendarat di Burangasi wilayah kecamatan Sampolawa bersama isterinya Wa Ode Solo yang disertai Salahuddin.
Dua belas tahun kemudian tepatnya 1538 M, Syekh Akbar Maulana Sayid Abdul Wahid dikabarkan kembali mendarat di Burangasi wilayah kecamatan Sampolawa bersama isterinya Wa Ode Solo yang disertai Salahuddin.
Ketika itu raja yang memerintah negeri Buton adalah Murhum (raja Buton VI) dan
langsung menyabut dengan baik kedatangan mereka. Bahkan oleh Raja Murhum
menganjurkan kepada syara kerajaan agar mereka langsung ditempatkan di ruang
tengah istana Raja. Sebagai tanda hormat, raja memasang kelambu yang menutup
seluruh ruangan yang akan ditempati oleh Syekh Akbar Maulana Sayid Abdul Wahid
bersama isterinya Wa Ode Solo.
Syekh Akbar Maulana Sayid Abdul Wahid mulai mengajarkan Syariat Islam untuk menyembah
Allah SWT dan mengakui Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya. Anjuran ini pertama
kali disampaikan kepada Raja Laki Laponto (Murhum) dan seluruh staf kerajaan.
Mendengar dan melihat raja Murhum serta permaisuri dan seluruh staf kerajaan
telah mengerjakan syariat Islam seperti yang dianjurkan Syekh Akbar Maulana
Sayid Abdul Wahid tanpa dipaksa seluruh rakyat Buton mendalami ajaran Islam.
Sekitar dua Tahun masa pemerintahan Murhum sebagai raja Buton dan ketika itu
pun seluruh staf kerajaan dan masyarakat telah memperdalam agama Islam, Syekh
Akbar Maulana Sayid Abdul Wahid melantik Laki La Ponto atau Murhum sebagai
Sultan Buton pertama. Dalam sejarah tercatat peristiwa itu terjadi pada tahun
948 H atau 1538 M.
Usai pelantikan dengan pemutaran payung kerajaan, Syekh Akbar Maulana Sayid
Abdul Wahid menuliskan aksara Arab pada bendera kebesaran (Ula-Ula) dengan
tulisan ‘Asshulthaana Qaimuddin’ kemudian memberi gelar padanya ‘Ashulthaani
Muhammad Yisa Qaimuddin).
Inilah sekilas tentang masuknya ajaran Islam di Tanah Buton sekaligus menandai
berawalnya pemerintahan Kesultanan Buton. Serta secuil pemaparan tentang situs
‘Batu Poaro’ yang kini menjadi sebuah lirik Lagu Buton yang sangat dikenal
masyarakat Buton pada umumnya.
Dalam perencanaan pembangunan Kota Mara, pemerintah Kota Baubau merencanakan
agar Batu Poaro ini dijadikan sebuah situs yang bakal menjadi pusat kajian dan
penelitian yang melengkapi kehadiran Islamic Centre yang dibangun disepanjang
pesisir pantai. (Ringkasan cerita ini disadur Dari buku riwayat Singkat Salinan
Qitab Sejarah terjadinya Negeri Buton dan Muna). Ini hanya sebuah versi, untuk
menggugah hati dalam mempelajari dan memahami makna sejarah.