Tradisi Buton baik lisan maupun
tulisan menuturkan bahwa Murhum yang semasa kecil bernama Lakilaponto lahir di
istana Raja Wuna diperkirakan pada awal abad ke XVI memiliki darah
kebangsawanan Melayu, Jawa, Wuna, Konawe, Luwu dan Buton. Sibatara (Sri Batara)
yang pernah menjadi duta keliling Kerajaan Majapahit untuk wilayah Timur
Nusantara abad ke XIV,melakukan perkawinan di Kerajaan Luwu (Sulawesi selatan)
dengan Waboteo (Wetendiabe) dan melahirkan dua orang putra yaitu Laeli alias
Sugipatani yang kelak menjadi raja Wuna I dan Latiworo kelak menjadi Raja
Tiworo I. Sugipatani menurunkan Sugilaende (Sugimpeori) Raja Wuna ke II
kemudian berputra bernama Sugimanuru Raja Wuna ke III dan kawin dengan Watuwapala
anak dari Kiy Jula (Putra Bataraguru Raja Buton ke III). melahirkan 3 orang
putra yaitu :
- Lakilaponto yang kemudian menjadi Raja Buton VI dan Sultan I
- Laposusu
- Wapogo
Dimasa kanak-kanak Murhum telah memperlihatkan sifat-sifat kepemimpinan, berbudi
pekerti, tegas, suka menolong, pemberani, adil dan penuh kesabaran, sehingga
mendapat perhatian khusus dari ayah handanya Raja Wuna ke III. Oleh karena itu
Raja Wuna III berinisiatif untuk mengirim Murhum ke Istanah Raja Buton yang
saat itu memerintah adalah Raja Mulae (raja Buton V) paman dari pihak ibunya
sebagaibelobamba (salah satu Sistim Pengkaderan para calon pemimpin masa
depan), untuk belajar tentang tata cara adat istiadat Istana
peraturan-peraturan kenegaraan, akhlak dan sopan santun maupun kesatriaan.
MASA PERJUANGAN
Memasuki usia dewasa Murhum meninggalkan istanah Raja Mulae dan melanglang
buana sampai di pulau Selayar bahkan menjadi salah seorang tokoh perlawanan
dalam mengusir bajak laut Tobelo dan dalam pengejarannya terhadap para pengacau
keamanan, Murhum tiba dipulau Marege (wilayah Australia) sekarang). Ketika
Murhum masih berada di Selayar situasi perairan di Kerajaan Buton sangat rawan
sebagai akibat serangan bajak laut pimpinan Labolontio (sosok manusia bermata
satu) mulai menyerang wilayah-wilayah pesisir Utara Kerajaan Buton, maka Raja
Mulae ( Raja Buton ke V) meminta Bontona Barangkatopa segera memanggil Murhum
kembali ke Buton dengan tugas utama menghancurkan bajak laut Labolontio.
Sementara itu di pusat Kerajaan Buton laskar kerajaan telah siap menunggu
perintah untuk berangkat menghadapi bajak laut dan atas perintah Murhum (selaku
pimpinan pasukan) berangkat menuju selat Buton antara daratan pulau Buton dan
Pulau Muna (Boneatiro sekarang), terjadilah pertempuran yang amat dahsyat dan
Labolontio tewas terbunuh ditangan Murhum sendiri. Maka sebagai bukti seusai
perang kepala Labolontio dipenggal oleh salah seorang pasukan Murhum
selanjutnya diambil untuk diperlihatkan kepada Raja Buton (Raja Mulae) serta
dipertontonkan seluruh rakyat sebagai tanda kemenangan dan kedamaian diseluruh
wilayah kerajaan (tengkorak Labolontio saat ini tersimpan pada Kantor Dinas
Pariwisata Baubau).
Atas jasa Murhum membebaskan Buton dari kekacauan bajak laut pimpinan
Labolontio maka sebagai keistimewaan, keagungan budi, dan rasa tanggung jawab
dari seorang Raja, sehingga Murhum yang kemudian hari dinikahkan dengan
Watampaidongi (Putri Raja Mulae). Murhum sebagai seorang kesatria asli yang
penuh rasa tanggung jawab moral atas keamanan dan ketertiban wilayah-wilayah
kerajaan leluhurnya yaitu Buton, Wuna, Tiworo dan Konawe, maka sekitar tahun
1520 atas restu Raja Mulae, Murhum dan pasukannya untuk kedua kalinya di
berangkatkan menuju Banggai (Sulawesi Timur), sebagai pasukan perdamaian dalam
rangka membantu masyarakat Banggai dari kemungkinan ancaman dan gangguan yang
akan ditimbulkan oleh sisa-sisa pasukan Labolontio maupun ancaman dari kerajaan
lain disekitarnya. Oleh karena itu kehadiran pasukan perdamaian dari Kerajaan
Buton ini, maka rakyat Banggai merasa terlindungi sehingga Murhum dinyatakan
sebagai pimpinan mereka, sekaligus menjadikan wilayah Banggai menjadi salah
satu bagian wilayah Kerajaan Buton. Sumpah setia mayarakat Banggai, ketika
Murhum hendak kembali kenegeri asalnya (Kerajaan Buton) setelah melaksanakan
tugas ± 3 Tahun lamanya menjadi pasukan penjaga keamanan, ikut pula sekelompok
masyarakat Banggai menuju Kerajaan Buton dan selanjutnya mereka ditempatkan
disalah satu Pulau (wilayah Kerjaan Buton) Yaitu Pulau Wawonii.
Kesuksesan Murhum dalam beberagai misi politik (peperangan dan perdamaian)
serta telah menjelajahi hampir seluruh wilayah jazirah Tenggara dan Tengah
Pulau Sulawesi bahkan sampai di utara Benua Australia menambah keyakinan dan
kepercayaan para raja sehingga Murhum dijadikan sebagai salah seorang kandidat
calom pemimpin di Jazirah Tenggara Sulawesi.
MASA MENITI KARIR POLITIK
a. MENJADI RAJA KONAWE
Sebagai seorang patriot dan pembebas kemanusiaan pada masanya, Murhum telah
menjadi setrum para tetua adat di Jazirah Sulawesi Tenggara baik sebagai
pimpinan perang maupun sebagai juru damai bahkan sebagai hakim (Juru Runding)
dalam menyelesaikan berbagai kasus yang melanda beberapa kerajaan di Sulawesi
Tenggara pada saat itu. Ketika Kerajaan Konawe (Kendari sekarang) salah satu
negeri leluhur Murhum terjadi prahara/pertikaian dengan Kerajaan Mekongga (saat
ini menjadi wilayah Kolaka) maka atas permintaan Mokole Konawe kepada Raja
Buton, maka Murhum diberangkatkan ke Kerajaan Konawe dengan dikawal sepasukan
orang-orang pilihan dari Kadie/Wilayah Watumotobe (wilayah Kapontori sekarang),
salah satu pasukan elit kelompok Matana Soromba dengan pertimbangan bahwa
wilayah Watumotobe sama dengan kondisi alam kerajaan Konawe yang berhutan
lebat.
Kehadiran Murhum bersama para pengawalnya disambut suka cita oleh Mokole Konawe
karena betepatan dengan kesulitan yang dihadapi negerinya sedang bertikai
dengan Kerajaan Mekongga. Keyakinan Mokole Konawe atas kemampuan Murhum beserta
para pengawalnya sehingga diberikan kepercayaan penuh kepada Murhum untuk
mengambil sikap sekaligus menjadi pimpinan pasukan Konawe dalam menyelesaikan
krisis dengan Kerajaan Mekongga. Krisis tersebut tidak berlangsung lama dan
kemenangan berpihak kepada Kerajaan Konawe atas jasa Murhum. Berakhirnya
Perseteruan dengan Kerajaan Mekongga maka Mokole Konawe mengundang para
petinggi adat kerajaan untuk bermusyawarah, dalam hal mana pertemuan tersebut
Mokole Konawe menyampaikan maksudnya untuk mengundurkan diri dari jabatannya
karena faktor usia tidak memungkinkan untuk terus-menerus menjadi Mokole.
Beliau berpesan dan menitip harapan agar Murhum yang telah berjasa besar dalam
menyelesaikan pertikaian dengan kerajaan Mekongga dapat kiranya dipertimbangkan
sebagai salah seorang calon Mokole. Musyawarah mufakat suksesi jabatan Mokole
Konawe berlangsung selama 8 hari 8 malam dan setelah mendengarkan saran,
pendapat dari berbagai aspek tentang Murhum, maka diputuskan bahwa yang pantas
untuk menjadi Mokole Konawe adalah Murhum dengan dasar pertimbangan Murhum
seorang pemberani, berbudi pekerti, telah berjasa, juga keturunan Bangsawan
Konawe (kemenakan Mokole) juga Mokole Konawe tidak mempunyai anak laki-laki.
Suksesi Mokole yang telah berlangsung selama 8 hari 8 malam tersebut dalam
sejarah Konawe memberikan gelar kepada Murhum dengan istilah Halu Oleo, sejak
masa itulah Murhum menjadi Raja Konawe dan iapun kawin dengan salah seorang
putri mantan Mokole yang dikaruniai 3 (tiga) orang putri yaitu Wakonawe,
Wapoasia dan Walepo-lepo (nama-nama tersebut telah diabadikan menjadi nama
kampung di Wilayah Kendari saat ini).
b. MENJADI RAJA WUNA IV
Setelah sekian lama Murhum dalam perkawinannya dengan Wa Tampayidongi putri
Raja Mulae (Raja Buton VI) maka datang perutusan dari istana Kerajaan Wuna dan
menyampaikan bahwa ayahanda Murhum yaitu Raja Sugimanuru sakit keras sehingga
diharapkan untuk kembali ke tanah kelahirannya (Kerajaan Wuna). Tidak berselang
lama setelah Murhum tiba, maka ayahandanya (Raja Sugimanuru) mangkat. Dengan
mangkatnya Raja Sugimanuru melahirkan kosongnya pimpinan kerajaan Wuna pada
waktu itu. Syara Wuna mengadakan musyawarah untuk menentukan pengganti mendiang
Raja Sugimanuru. Diantara 2 (dua) orang putra Sugimanuru yaitu Lakilaponto
alias Murhum dan La Posasu, maka diputuskan oleh syara Wuna menetapkan
Lakilaponto alias Murhum sebagai Raja Wuna ke IV dengan pertimbangan sebagai
putra sulung Raja Sugimanuru.
Sebaliknya di Kerajaan Buton pada saat yang hampir bersamaan Murhum dipanggil
pulang oleh Raja Mulae untuk urusan yang sangat penting sehingga dalam keadaan
itu jabatan sebagai Raja Wuna ke IV diserahkan kepada saudaranya yaitu La
Pososu sebagai Raja Wuna ke V.
c. MENJADI RAJA BUTON VI ( SULTAN BUTON I )
Karena usia sudah uzur Raja Buton ke V yaitu Raja Mulae sangat menyadari
kemampuan dalam mengendalikan roda pemerintahan mulai nampak menurun sehingga
meminta pertimbangan syara Buton (Siolimbona) untuk menyerahkan jabatan Raja
kepada Murhum dengan pertimbangan bahwa Murhum telah memberikan jasa dan
pengabdiannya dalam menyelamatkan Kerajaan Buton dari berbagai gangguan,
ancaman, juga didasari pribadi Murhum menunjukan sifat-sifat seorang pemimpin,
jujur, bijaksana dan tegas mengambil keputusan, disamping sebagai anak menantu
Raja Mulae. Usul Raja Mulae mendapatkan respon positif dan suara bulat dari
anggota legislatif Dewan Siolimbona untuk menetapkan Murhum sebagai Raja Buton
yang ke VI. Pada awal masa pemerintahan Raja Murhum mengangkat Manjawari
sebagai Sapati pertama dan Batambu sebagai Kenepulu pertama kedua orang yang
disebutkan tersebut adalah putra asli Selayar dan Wajo (Sulawesi Selatan), atas
jasa keduanya membantu perlawanan Kerajaan Buton menghadapi bajak laut sehingga
diberikan jabatan. Menurut catatan sejarah Buton, Murhum menjadi Raja selama 20
tahun dimulai sejak akhir tahun 1538 Masehi.
Ketika memasuki tahun ke-4 menjadi Raja, ia pun kedatangan tamu, seorang
muballig dari Johor (semenanujung Tanah Melayu) yaitu Syekh Abdul Wahid Bin
Sulaiman. Dan dari padanya ia mengukuhkan keislamannya sekaligus juga
memperoleh pengakuan sebagai Raja Islam dengan gelar Sultan Murhum Kaimuddin
pada tahun 1948 Hijriah atau tahun 1542 Masehi. Dua puluh tahun kemudian
sesudah menjadi Raja tepatnya pada tahun 1558 Sultan Murhum Kaimuddin
memperoleh pengakuan dan pengukuhan kembali dari Sultan Rum (Turki) sebagai
Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul Khamis. Dan Kerajaan Buton berubah status
menjadi Pemerintahan Kesultanan Islam.Peristiwa tersebut menjadi momentum
sejarah mulai membangun Pemerintahan Kesultanan Buton atas sendi-sendi Islam
dibawah bimbingan Syekh Abdul Wahid selaku penasehat kesultanan pada saat itu.
Antara lain dikukuhkannya Falsafah perjuangan hidup bermasyarakat yaitu
Yinda-yindamo arataa somanamo karo, yinda-yindamo karo somanamo lipu,
yinda-yindamo lipu somanamo Sara, yinda-yindamo lipu somanamo agama (tiada meniadalah
harta demi diri, tiada meniadalah diri demi negeri, tiada meniadalah negeri
demi pemerintahan, tiada meniadalah pemerintahan demi agama).
Dipuncak pemerintahannya Sultan Murhum telah menjadikan tokoh pemimpin dari 3
(tiga) Kerajaan yaitu Kerajaan Konawe, Wuna dan Buton yang mempunyai wilayah
teritorial yang sangat luas meliputi Kepulauan Banggai, Buton, Muna, Kabaena,
Tiworo, Kepulauan Tukang Besi, Wawonii, Marunene (Rumbia) pada pertengahan abad
ke XVI. Masih banyak prestasi lain beliau yang tidak dapat diungkapkan semuanya
disini dan setelah 46 tahun memimpin Kesultanan Buton (baik sebagai Raja ke VI
dan Sultan I), tepat pada tahun hijriah 991 (tahun 1584 M) Lakilaponto Murhum
Sultan Kaimuddin Khalifatul Khamis perpulang kerahmatullah dalam usia kurang
lebih 90 tahun, dimakamkan di Bukit Lelemangura dalam kompleks Benteng Wolio
Keleurahan Melai Kecamatan Betoambari Kota Bau – Bau.
Sebagai akibat dari rasa cinta terhadap negeri dan tanah air serta rakyatnya,
lahirlah rasa pengabdian yang tinggi pada seseorang yang patriotik. Tetapi
seseorang yang memiliki rasa pengabdian yang dibuktikan dalam kenyataan
kehidupan masyarakat, otomatis harus memiliki aspek-aspek kebudayaan yang lain
seperti rasa kesabaran, rasa ketabahan (keuletan, ketekunan, kemauan yang
keras), keberanian (berani berkorban dan tulus ikhlas, ketaatan), rasa optimis
untuk mencapai kemenangan (kejayaan), rasa cinta terhadap kebenaran dan
keadilan, serta mempunyai rasa kerinduan terhadap kemakmuran dan kedamaian.
Didalam pengabdian terhadap Negeri dan rakyatnya seorang patriotik otomatis
pula dipandang oleh rakyat dan masyarakatnya sebagai bapak pemimpin, sehingga
patriot itu juga pelindung, tokoh, pelopor dan pahlawan.
Nilai patriotiknya adalah nilai-nilai kebapaan, kepemimpinan yang diliputi oleh
rasa cinta terhadap tanah air, negeri dan bangsa serta rakyatnya dan mempunyai
rasa dedikasi yang tinggi dan berkemauan keras untuk membawa rakyat dan
negerinya kealam bahagia, tentram dan damai, adil dan makmur, serta sejahtera.
Jika Murhum dalam sejarahnya, ternyata adalah seorang patriotik, maka ia adalah
:
- Seorang pemimpin, seorang bapak, baik sebagai raja dalam pemerintahan, maupun seorang panglima perang, yang membawa negeri dan rakyatnya kepada persatuan dan kesatuan, dan tentram dari gangguan pengacau dari luar.
- Seseorang yang mempunyai pandangan kearah masa depan yang gilang gemilang bagi negeri dan rakyatnya untuk hidup bahagia tentram dan damai yang telah dinyatakan, dihasilkan dan dimanfaatkan oleh rakyat dan negerinya, sehingga beliau dapat disebut sebagai seorang yang idealis-realis-fragmatis (ingat suasana pemerintahan beliau sebagai raja sebagai gelar Sultan).
- Seorang yang sangat kasih dan cinta terhadap negeri negeri dan rakyatnya serta norma adat dan agama, melibihi kasih dan cintanya terhadap diri dan keluarganya.
Sudah sepatutnya Sultan Murhum Kaimuddin
Khalifatul Khamis dijadikan contoh dan suritauladan pimpinan masa depan dan
oleh karenanya nama tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu nama apakah
negeri, apakah pelabuhan laut, apakah pelabuhan udara atau yang lainnya dan
pasti nama tersebut tetap terpatri didalam perjalanan sejarah dan pembangunan
Sulawesi Tenggara secara keseluruhan.
Top Casinos in Larchton, Oregon - MapyRO
ReplyDeleteCheck out 태백 출장샵 our casinos 광양 출장마사지 in Larchton, Oregon 부천 출장마사지 and enjoy top 광명 출장안마 gaming & entertainment options. Casino: Casinos & Bars: 24/7; Hotel: 양산 출장안마 2 Rating: 8.6/10 · 8,957 reviews · Price range: $110