" Jika cinta itu LOOPING while (Love) { withYouForever(); protectYou(); lovingYou(); makeYouHappy(); eternalLove(); }"

 

Tuesday, May 27, 2014

Masa Awal Kerajaan Buton

0 comments
1.   SELAYANG PANDANG LETAK KEADAAN GEOGRAFIS
Kerajaan Buton, yang oleh penduduk disebut Wolio, terdiri dari beberapa pulau besar dan kecil yang utama ialah:
  1. Pulau Buton yang dipisahkan oleh Laut Buton, pada masa lalu dengan nama selat flaming, dengan daratan pulau Sulawesi.
  2. Pulau Muna, yang disebut Wuna oleh penduduk dimasa lalu dengan pancana di sebelah barat dari pulau Buton.
  3. Pulau Kabaena dan beberapa pulau kecil lainnya masing-masing: Tobea terletak di selat Tiworo, Pulau Makassar yang sesungguhnya adalah Liwuto Makasu oleh penduduk kerajaan terdapat didepan Bau-Bau, Kadatua, Siompu, kemudian Talaga disebelah selatan Pulau Kabaena.
  4. Wakatobi pada masa lampau dengan nama Kepulauan Tukang Besi terdiri dari Pulau Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko.
  5. Poleang Bugis, Mornene, dan Rumbia pada daratan Pulau Sulawesi yang dibatasi pada sebelah barat daerah kerajaan Luwuk dan pada sebelah utara oleh Laiwui serta timur oleh laut Tiworo.
Penduduk kerajaan seluruhnya memeluk agama Islam, namun setelah masuknya Belanda dalam tahun 1906, terdapat pula beberapa banyak penganut agama lain seperti kristen. Pencaharian penduduk dapat dibagi dalam tiga golongan besar yaitu petani, pedagang, nelayan, sedangkan golongan pedagang kerajaan ialah kaum bangsawan dan walaka, berasal dari keturunan Sibatara dan Wakaaka bagi kaum bangsawan dari keturunan Sipanjonga bagi kaum Walaka. Jumlah penduduk kerajaan dalam tahun 1877 tidak lebih dari 100 ribu jiwa dan pada akhir 1977 yaitu seratus tahun sesudahnya menjadi 306.308 jiwa, diluar daerah Kabupaten Muna.
Tentang struktur kemasyarakatan dapat disebutkan bahwa penduduk kerajaan terdiri atas tiga golongan yang disebutkan :
 
  1.  Kaum bangsawan yaitu lalaki,
  2. Kaum walaka dan
  3. Kaum papara. 
Bahasa daerah dapat dikatakan pada setiap bagian desa terdapat adanya bahasa suku, namun yang menjadi bahasa kerajaan adalah bahasa wolio, sedangkan bahasa ibu terdapat puluhan bahkan tidak kurang dari pada dua ratus bahasa suku.
Dari sekian banyaknya dapat dibagi dalam empat kelompok yang utama masing-masing :
1.    Bahasa Wuna
2.    Bahasa Cia-Cia
3.    Bahasa Tolaki
4.    Bahasa Wolio.
Hutan-hutan terdapat di daratan Buton dan Kabaena serta Poleang, Rumbia dan Mornene, dimana tumbuh banyaknya kayu-kayuan yang berharga yang dijadikan ramuan rumah bagi penduduk kerajaan antara lain yang disebutkan : asana (cendana), wola (fafa), epi dan sulowo (semacam kayu besi) dan jati dibagian Sampolawa daratan Buton.
Hutan-hutan itu banyak dihuni oleh binatang-binatang seperti Kerbau hutan, Babi, Rusa dan Anoan. Yang terakhir ini merupakan binatang khas Sulawesi. Disamping binatang-binatang disebutkan ada pula Kus-Kus sejenis Kelinci yang dalam bahas wolio disebut Kuse, Kusembu dan Tongali.
Sedangkan jenis burung-burung adalah : Halo, Kea-Kea, Nuri, Merpati dan sebagainya. Sebuah pulau melulu penghuninya burung-burung laut yaitu di Kawikawiya termasuk dalam Kecamatan Binongko.
Kemudian di daratan pulau Buton pada pegunungan Sampolawa dan lereng gunung Kalende serta di Kabongka terdapat aspal dan karena aspalnya ini Buton terkenal di dalam nusantara Indonesia malah sampai diluar negeri.
Turunnya hujan didaerah Buton pada dua musim, barat dan timur, dimana musim timur biasa terjadi turunnya hujan banyak sekali sampai terjadi terus menerus beberapa hari tiada hentinya.
Rawa-rawa pada umumnya hanya terdapat pada pinggir pantai dimana tumbuh pohon-pohon bakau, tumbuhan tepi pantai pada umumnya.
Struktur pemerintahan kerajaan dapat dibagi sebagai berikut dibawah ini:
  1. Sarana Wolio
  2. Sarana Barata
  3. Sarana Kadie.
Sebagai pimpinan kerajaan adalah Sultan dan di Barata oleh Lakina Barata sedangkan pimpinan kadie adalah Bonto dan atau Bobato yang terakhir ini dalam arti sebagai pengawas. Dan mengenai dasar dalam menjalankan pemerintahan adalah Murtabat Tujuh sebagai undang-undang kerajaan serta untuk Barata dengan Sarana Barata dan Kadie dengan  Sarana Kadie. Barata dan kadie merupakan bagian kerajaan dengan ketentuannya sendiri seperti tersebut di atas, sehingga merupakan daerah otonomi dari kerajaan. Keduanya berhak mengatur rumah tangganya sendiri, Barata ada empat masing-masing:
1.    Barata Wuna,
2.    Barata Tiworo,
3.    Barata Koloncusu,
4.    Barata Kaledupa.
Sedangkan kadie berjumlah seluruhnya 72 bagian dan ini lazim dengan sebutan “pitu puluh rua kadiena”. Dua bagian merupakan simbolis belaka pertanda adanya dua kaum yang memegang kendali pemerintahan kerajaan yaitu kaum bangsawan dan kaum walaka. Maka tinggallah 70 bagian untuk umum yang aktif. 

2.  ASAL USUL NAMA BUTON
Menurut riwayat yang diperoleh turun temurun  dikatakan bahwa nama Buton itu berasal dari bahasa Arab “Butuini”, yang artinya “mengandung”. Dalam bahasa wolio terjemahannya disebutkan “ko-kompo”. Ini mengandung makna kiasan yaitu bahwa kerajaan Buton merupakan gadis cantik dan mengandung banyak hasil yang menjadi rebutan banyak manusia demikian itulah karena kecantikannya itu sama halnya dengan seorang muda yang melimpahkan kecintaannya kepada gadis pujaannya.
Dalam sebuah buku sair, anonim tertulis beberapa rangkaian kalimat yang dapat menunjang makna Butuni sebagai berikut:

“ikompona incema aincana;
            diperut siapa nyata;
  kaapaaka kupeelu butuuni;
            karena engkau suka butuuni;
  ku-ma anaia butuuni kokompo;
            kuartikan butuuni mengandung;
  motodikana inuncana kuruani;
            yang tertea di dalam alkuran1)”.

Dari kutipan di atas agaknya kurang jelas, namun dapat diambil suatu kesimpulan akan makna Butuuni dan asal kata Buton menjadi yang pembahasa.
Bahwa kalangan masyarakat wolio, tua-tua adat pada umumnya selama pendudukan Belanda atas kerajaan Buton dalam tahun 1906, mengenal Buton hanya dengan perkataan Butuuni. Dan perkataan Buton sebenarnya berasal dari sebutan Kompeni Belanda, sehingga karena itu telah menjadi sebutan umum sampai sekarang, sebutan mana ditunjang dengan data surat menyurat maupun kontrak-kontrak perjanjian antara kerajaan Buton dengan Kompeni Belanda yang oleh Kompeni Belanda dengan sebutan Buton dan kerajaan Buton sendiri dengan Butuuni atau juga
dengan wolio. Dalam fersi lain yang berhubungan dengan kerajaan sahabat, seperti bone dan ternate dalam persuratan pada umumnya menggunakan sebutan Butuuni. Lebih jauh mengikuti perkembangannya oleh pelaut-pelaut Bugis Makassar dengan sebutan Buton. Sebutan ini ditunjang oleh apa yang A. Ligtveet tulis : 

Het rijk boeton, dat inde Landstaal wolijo, irhet maleisch boetoen, en in het makassaarch end boegineesch boetoen heet, bestaat uit....cnz2).

Bahwa secara umum perlu diambil suatu pengertian, oleh karena ibu kota kerajaan bertempat di Wolio dalam benteng Keraton Buton, maka tidak jarang terdapat adanya pengertian Butuuni secara keseluruhan dengan sebutan wolio, sebagai mana A. Ligtveet sebutkan di atas yang dalam hal ini oleh Kompeni Belanda dengan Bolijo. Di Ambon orang tidak mengenal Wolio atau Buton, kecuali dengan sebutan Binongko. Ini dapat dimengerti bahwa pada masa lampau yang banyak tiba didaerah Maluku adalah pelayar-pelayar yang berasal dari Binongko sebuah pulau yang termasuk kekuasaan kerajaan Buton  dalam Kepulauan Wakatobi.
Bahwa menurut versi lain lagi dikatakan bahwa perkataan Buton itu sudah sejak lama diketahui terbukti dengan penulisan Empu Prapanca dalam buku Nagara Kartagama. Hal ini dapat diterima dan justru dengan pembuktian-pembuktian ini akan dapat kita peroleh bahan penelitian yang lebih jauh lagi bahwa Islam sudah sejak lama dikenal di Buton namun resminya nanti pada tahun 948 Hijriah atau 1542 Masehi.


3.  PENDUDUK BUTON YANG PERTAMA DAN ASAL USULNYA.
Penduduk Buton yang pertama dan asal usulnya dapat diketahui  dengan mengungkapkan lebih dahulu sejarah kedatangan Sipanjonga dan kawan-kawannya, yang dikenal dalam sejarah wolio dengan nama kesatuannya mia pata miana yang artinya empat orang lebih jelasnya dimaksudkan dengan empat pemuka yaitu Sipanjonga, Simalui, Sijawangkati Dan Sitamanajo”, dan dengan berpegang pada buku silsilah dari raja-raja di wolio. Keempat orang tersebut, konon menurut riwayat berasal dari tanah Semenanjung Johor (Malaysia ) pulau  Liyaa Melayu, dimana tibanya di Buton dapat diperkirakan  berkisar akhir abad ke XIII atau setidaknya pada awal abad ke XIV. Perkiraan tibanya Sipanjonga dan kawan-kawannya sebagai mana pendapat penulis, yang dijadikan bahwa penunjang ilmiahnya disandarkan atas beberapa penulisan dari sejarawan yang terkenal dengan bertitik atas mulai suramnya kerajaan Sriwijaya dan jatuhnya Malaka ditangan Portugis.
(1).      H.J.van den Berg dkk-nya. Menulis antara lain-lain : Dalam tahun 1275 bertolaklah satu tentara Kertanegara dari pelabuhan Tuban. Tentara itu mendarat di daerah muarah sungai Djambi dan merebut daerah itu, yang lalu dijadikan daerah takluk bagi kerajaan Singosari. Dalam waktu sepuluh sadja djadjahan keradjaan  Djawa itu telah dapat meluaskan sampai ke daerah hulu sungai Djambi. Di dirikanlah kembali keradjaan Melaju lama di daerah itu, tetapi sebagai  negara bagian pada keradjaan  Singosari. Raja Melaju dijadikan raja takluk kepada Baginda Kertanegara. Keradjaan Melaju menjadi penting kedudukannya, sehingga dalam abad ke14 seluruh Sumatera kerap kali disebut djuga Melaju. Suatu artja, jang didapat orang di daerah  Djambi, atas perintah Kertanagara diangkut ke Melaju dalam tahun 1286. Maksud Kertanagara telah djelas yaitu mendirikan satu keradjaan Djawa di Sumatera tengah ,yang akan menjadi pusat kebudayaan Djawa di pulau itu.

Keradjaan Djawa yang di Sumatera itu merupakan suatu bahaya yang besar sekali bagi Sriwijaya. Akan tetapi Sriwijaya terlalu lemah untuk mencegah maksud Kertanagara itu. Kekuasaan Sriwijaya telah runtuh pada segenap pihak. dibagian utara Semenanjung Malaka sebagian dari daerah Sriwijaya telah di rebut kerajaan Siam yang baru saja berdiri. Di Aceh pun telah mulai pula timbul kerajaan baru, umpamanya kerajaan Perlak dan Samudera. Kerajaan baru itu telah menjadi kerajaan Islam (yang pertama di Indonesia). Perhubungannya dengan Sriwijaya hampir tidak ada lagi. Kerajaan Pahang pun yang terletak di Semenanjung Malaka, rupanya telah menjadi daerah takluk juga pada kerajaan Singosari Sunda, yang telah sejak lama mengakui kekuasaan tertinggi dari Sriwijaya , rupanya terlepas pula dalam zaman itu dan telah menjadi bagian kerajaan Kertanagara3).
Anwar Sanusi menulis sebagai berikut:

          Akhirnya pada lebih kurang 1377 Sriwijaya runtuh pada masa Rajasanagara (Hayam Wuruk)4).
Dari ke dua penulisan di atas menyatakan bahwa kerajaan Sriwijaya sudah lemah dan tidak dapat bertahan lebih lama lagi, penulis berpendapat bahwa Sipanjonga dan teman-temannya serta pengikut-pengikutnya,  sebagai seorang raja di negeri, yang termasuk di dalam kerajaan Sriwijaya, mengetahui kedudukan Sriwijaya sudah demikian lemahnya mengambil kesempatan meninggalkan kerajaannya mencari daerah lain untuk tempat tinggalnya dan untuk dapat menetap sebagai seorang raja yang berkuasa dan tibalah mereka di Buton.
 
Apakah Sipanjonga meninggalkan kerajaannya dari pulau Liyaa pada akhir atau pada waktu mulai suramnya Sriwijaya atau runtuhnya kerajaan ini sama sekali, disinilah terletak dasar pendapat penulis dengan menyatakan “tibanya di Buton pada akhir abad ke XIII atau awal abad XIV”, yang dapat dijelaskan bahwa Sipanjonga adalah raja dari pulau Liyaa tanah Semenanjung Johor, yang karena tidak hendak melepaskan kekuasaannya sebagai raja dengan rakyat yang patuh dan cukup banyak jumlahnya, sampailah mereka di Buton5).
Tibanya Sipanjonga dengan kawan-kawannya tidak bersama-sama dan tidak pula pada satu tempat yang sama dan rombongannya terdiri dalam dua kelompok, dengan tumpangan mereka yang disebut dalam zamannya “Palulang”. 

Kelompok pertama Sipanjonga dengan Sijawangkati sebagai kepala rombongan mengadakan pendaratan yang  pertama di Kalampa, suatu daerah pantai dari raja Tobe-tobe, sedangkan Simalui dan Sitamanajo mendarat di Walalogusi (kira-kira kampung Boneatiro atau disekitar tersebut Kecamatan Kapuntori sekarang). Pada waktu pendaratan pertama itu Sipanjonga mengibarkan bendera kerajaannya pada suatu tempat tidak jauh dari Kalampa pertanda kebesarnya. Bendera Sipanjonga inilah yang menjadi bendera kerajaan Buton yang disebut “Tombi pagi” yang berwarna warni, “Longa-longa” bahasa Wolionya. Di kemudian tempat di mana pengibaran bendera tersebut dikenal dengan nama “Sulaa” yang sampai sekarang masih dikenal, terdapat di dalam desa Katobengke Kecamatan Wolio, tidak jauh dari lapangan udara Betoambari.
Kemudian maka keempat pemuka tersebut di atas yang membuat dan meninggalkan sejarah dan kebudayaan Wolio, sebuah kerajaan yang pada zamannya pernah menjadi kerajaan yang berarti, dan merekalah pula yang mengawali pembentukkan kampung-kampung, yang kemudian sesuai dengan perkembangannya menjadi kerajaan dan inilah yang dimaksudkan dengan kerajaan Buton, yang sebagai rajanya yang pertama Ratu I Wakaaka. Ditempat pendaratannya tersebutlah Sipanjonga dkk-nya membangun tempat kediamannya yang lambat laun menjadi sebuah kampung yang besar, yang tidak lama setelah pendaratannya itu rombongan Simalui dan Sitamanajo bersatu kembali dengan Sipanjonga di Kalampa.

Oleh karena letak tempat tinggal dari Sipanjonga dekat pantai bukanlah suatu hal yang tidak mungkin terjadinya gangguan-ganngguan keamanan terutama sekali dari bajak laut yang berasal dari Tobelo Maluku6). Untuk menghindarkan diri dari gangguan keamanan Sipanjonga dan rakyatnya meninggalkan Kalampa menuju arah gunung yang tidak jauh dari tempatnya itu kira-kira 5 km dari tepi pantai. Di tempat yang baru inilah Sipanjonga dan rakyatnya bermukim. Karena di tempat yang baru itu masih penuh dengan hutan belukar maka untuk membangun tempat kediaman mereka ditebaslah belukar-belukar itu, yang pekerjaan menebas itu dalam bahasa Wolionya dikatakan “Welia”. Inilah asal namanya “Wolio” dan tempat inilah  pula yang menjadi tempat pusat kebudayaan Wolio ibu kota kerajaan.
Di riwayatkan lebih jauh bahwa pada waktu Sipanjonga dan teman-temannya menebas hutan belukar di tempat itu  didapatinya banyak pohon enau, terlebih di atas sebuah bukit bernama “Lelemangura” Rahantu7).
Bukit inilah yang kemudian masyhur dengan sebutan Lelemangura. Salah seorang teman dari Sipanjonga yang bernama Sijawangkati mendapatkan Enau dan dengan diam-diam ia menyadap enau tersebut. Ketika yang empunya enau yang bernama Dungkung Changia datang menyadap enaunya, didapatinya enaunya sudah disadap orang yang  tidak diketahuinya, timbullah marahnya. Dipotongnya sebatang kayu yang cukup besar. Melihat potongan batang kayu itu, timbullah dalam pemikirannya betapa besar dan kuatnya orang yang memotong kayu itu namun  tidak menimbulkan rasa takut pada diri Sijawangkati. Untuk mengimbangi potongan kayu itu, dipotongnya rotan yang panjangnya satu jengkal yang cukup besar juga, kemudian batang rotan itu disimpulnya. Karena kekuatan simpulan pada batang rotan itu, hampir tidak kelihatan, kemudian diletakkannya di atas potongan kayu itu. Keesokan harinya datang lagi Dungkung Changia menyadap lagi enaunya dilihatnya simpulan rotan yang menakjubkan itu. Tentu orang yang menyadap enau saya ini adalah orang yang sakti dan mungkin bukan manusia biasa.
Suatu waktu secara kebetulan keduanya bertemu di tempat itu. Maka terjadilah perkelahian yang sengit, yang sama-sama kuat. Masing-masing tidak ada yang kalah. Pada akhirnya keduanya karena sudah kepayahan berdamai. Mufakatlah keduanya untuk hidup damai dan saling membantu dan bagi anak cucu mereka dikemudian akan hidup di dalam alam kesatuan dan persatuan. Dengan adanya perdamaian Sijawangkati dan Dungkung Changia tersebut maka negeri Tobe-Tobe masuk dan bersatu dengan Wolio. Letak negeri Tobe-Tobe itu dari tempat tinggal Sipanjonga kurang lebih 7 km.
Dapat dijelaskan disini bahwa Dungkung  Changia dimaksudkan menurut keterangan leluhur adalah berasal dari Cina yang selanjutnya dalam buku silsilah bangsawan Buton dikatakan asal “Fari” asal “Peri”. Munurut pak Lahude dikatakan orangnya amat putih, sama halnya dengan putihnya isi  kelapa yang dimakan fari (binatang semacam serangga). Dalam hubungan ini menurut penulis dengan bersandar atas penulisan dari beberapa sejarawan, adalah benar orang Cina dan ia berasal dari tentara Khu Bilai Khan tentara Tar-Tar yang datang ke Indonesia dalam tahun 1294, untuk menghukum raja Kertanagara dimana pada akhirnya tentara ini dapat dimusnahkan dan sebagian dapat menyelamatkan diri atas serangan mendadak dari Raden Wijaya di Kediri.
Anwar Sanusi menulis antara lain:
            Kemudian Raden Wijaya dengan diam-diam mengambil putri-putri dari istana Jayakatwan dan dilarikan oleh hamba-hambanya Ke Majapahit. Maka Raden Wijaya minta izin kembali Ke Majapahit akan menyediakan upeti bagi Kaisar Tiongkok. Pada malam harinya datanglah utusan tentara Tar-Tar akan meminta yang dijanjikan kepada mereka itu. Akan tetapi Raden Wijaya mengatakan kepada mereka, bahwa putri-putri itu harus dijemput oleh pembesar-pembesar
tentara Tar-Tar saja tidak boleh oleh serdadu biasa. Keesokan harinya datanglah pembesar-pembesar tentara Tar-Tar itu dengan tidak bersenjata dengan tidak membawa pengiring. Setelah mereka masuk ke dalam kota melalui pintu gerbang, maka mereka disergap dan dibunuh oleh Sora serta pengikutnya. Kemudian Raden Wijaya menyerang tentara Tar-Tar, yang tinggal di Kediri. Kebanyakan tentara Tar-Tar itu tewasa dan sisanya melarikan diri keperahunya masing-masing8).
Sesudah ia diizinkan oleh Jenderal Tiongkok untuk kembali ke negerinya sesudah mengalahkan Jayakatwan maka ia menyerang pasukan Tiongkok dari belakang. Melihat sikap Raden Wijaya itu, Jenderal Tiongkok bingung lalu bersegera mengundurkan diri ke pantai karena tak mau terikat dengan sesuatu peperangan yang lama di Jawa..........dst9).
H.J. Van Den Berg menulis sebagai berikut:
            Ketika Kartanegara memerintah di Jawa, maka ketika itu yang memerintah di Tiongkok, ialah Khu Bilai khan.
Dalam keinginannya yang tidak puas-puas akan memperbesar akan kekuasannya, maka dilayangkannyalah juga pandangannya ke India belakang dan ke Indonesia. Kartanegara insaf akan bahaya yang mengancam dari pihak Tiongkok itu, karena itu diadakannyalah persekutuan dengan kerajaan Campa dengan mengawinkan seorang putrinya dengan raja Campa. Persekutuan itu ditujukan untuk  mengembang perkembangan kekuasaan Tiongkok ke daerah selatan. Khubilai Khan mengikuti cara yang lazim dipergunakannya. Di surunya dutanya kepada raja Campa meminta, supaya baginda itu mau mengakui kekuasaan raja Tiongkok. Setelah itu dimintalah, supaya baginda datang sendiri ke Tiongkok untuk menyatakan cintanya kepada Khubilai Khan. Ketika raja Campa menolak permintaan itu, datanglah tentara Tiongkok menyerang dan menduduki negri itu. Tetapi pendudukan tentara Tiongkok itu hanya sementara saja, karena orang-orang Annan dapat merebut kemerdekaannya kembali. Tidak kita ketahui adakah Kertanegara memberikan bantuan senjata kepada temannya bersekutu itu. Yang jelas bagi kita ialah, bahwa perundingan duta Tiongkok di ulur-ulurnya sampai beberapa tahun lamanya. Rupa-rupanya tak terniat olehnya sama sekali akan berdatang sembah kehadapan Khubilai Khan tetapi akhirnya tepaksalah ia mengambil keputusan, dan keputusan yang diambil, oleh Kertanegara itu jelas dan tidak meragukan : duta Tiongkok itu dipulangkannya kepada kaisarnya dengan muka yang tersayat. Penghinaan yang sebesar itu harus dibalas dengan tindakan keras, demikianlah pendapat kaisar Tiongkok. Dipersiapkannyalah suatu tentara pendarat, yang terdiri dari 20 ribu prajurit. Kertanegara
telah wafat, ketika angkatan perang Tiongkok berlabu di Tubang. Beberapa negri kecil di Indonesia menyerah dan telah mengirimkan dutanya menghadap pada Khubilai Khan yang besar kekuasaannya itu. Tetapi angkatan perang itu bertolak dari Tiongkok untuk menaklukan Jawa. Menurut kebiasaan disurulah beberapa orang utusan, untuk mendesak supaya pemerintah mau mengakui kekuasaan Mongol di daerah itu. Utusan Tiongkok itu sampai juga ke Majapahit dan seketika itu juga mengertilah pangerang Wijaya, bahwa saat yang dinantikannya telah tiba. Ia mengaku takluk dan ditawarkannyalah bantuannya untuk mengalahkan raja Jawa, yaitu Jayakatwan.
Tentara Tiongkok ketika itu telah bergerak maju menyusuri pantai, sedangkan angkatan lautnya berlayar kemuara sungai Surabaya, pintu masuk ke pulau Jawa. Angkatan perang Jayakatwan yang terdiri dari perahu perang, sungai, mencoba menahan serangan Tiongkok itu. Tetapi musuh jauh lebih kuat; tidak kurang dari 100 buah perahu jatuh ketangan orang Tiongkok.
Sementara itu datanglah tentara Kediri ke Majapahit akan menghukum pangerang Wijaya yang memberontak itu. Pangerang Wijaya meminta bantuan Tiongkok untuk melawan tentara Kediri itu. Berangkatlah tentara Tiongkok itu secepat-cepatnya ke Majapahit. Dalam suatu pertempuran yang besar, berhasillah usaha tentara Tiongkok itu melepaskan Majapahit dari kepungan Kediri. Setelah itu tentara Tiongkok melanjutkan perjalannya ke Kediri. Dengan gagah beraninya ibu kota Kediri itu dipertahankan oleh tentara Jawa, tetapi akhirnya kalahlah tentara itu. Jayakatwan menyerah dan orang Tiongkok menerima penyerahan itu. Akan tetapi putra mahkota melarikan dirilah ke pegunungan ; ia pun dikejar ke situ dan setelah ditawan maka dibawalah putra mahkota itu ke Kediri.
Dalam pada itu kembalilah pangerang Wijaya ke Majapahit dengan seizin dua orang jenderal Tiongkok. Pangeran Wijaya diiringkan oleh suatu pasukan Tiongkok, peristiwa itulah yang akan mencelakakan orang Tiongkok itu kelak. Pangerang Wijaya dapat meloloskan diri, setelah orang Tiongkok yang mengiringkannya dibunuhnya. Sesudah itu dikumpulkannyalah sejumlah besar prajurit dan dicobanya pula memotong jalan pasukan Tiongkok, yang hendak kembali ke laut menyusuri sungai. Dengan susah payah dapatlah tentara Tiongkok itu melepaskan diri dari kepungan Raden Wijaya. Orang Tiongkok itu telah jemu dengan peperangan di Jawa, lalu bertolaklah mereka menuju ke Tiongkok...........dst10).
Demikian itu beberapa cukilan dari penulisan sejarawan tentang tentara Khu Bilai Khan, di mana dengan ini penulis yakin bahwa Dungkung Cangia pasti berasal dari pembesar Tiongkok yang melarikan diri dan lepas dari kelompoknya.

4.   MULA ADANYA BONTO KERAJAAN PEROPA DAN BALUWU SIOLIMBONA 
Setelah beberapa lamanya Sipanjonga berdiam di Wolio, maka dalam usaha perluasan dan pengembangan daerah kekuasaannya dapatlah diketahui bahwa sebelumnya kedatangan mereka, di Buton sudah ada penghuninya. Penemuan-penemuan yang didapat oleh Betoambari (Putra Sipanjonga) Sijawangkati dll, membuktikan bahwa kerajaan Kamaru sudah berdiri, yang dalam perjalanannya sebelum menemukan Kamaru, Betoambari lebih dahulu menemukan Lawele dan Kaluku (dalam Kecamatan Lasalimu sekarang) dan di Kamaru Betoambari mengawini putri raja Kamaru bernama Waguntu (dalam buku silsilah hikayat Sipanjonga bernama “Sangaranya”) yang dalam perkawinan ini lahirlah Sangariarana. Dan dipihak yang lain sebagaimana telah diuraikan, Sijawangkati setelah kedamaiannya dengan Dungkung Changia Raja Tobe-Tobe dalam sumpah setia mereka dapat menggabungkan negeri Tobe-Tobe bersatu dalam kerajaan Buton, dalam pada nama keduanya menjalin persahabatan dan bantu membantu satu dengan yang lain. Dan kemudian menyusul penemuan-penemuan yang baru, bahwa kedua bersaudara masing-masing Raja Manguntu dan Tua Maruju, mandapatkan negeri Todanga dan Batauga, dimana kedua negeri itu dapat dimasukan ke dalam Wolio tanpa pertumpahan darah. Sedemikian jauh di dalam penelitian dan penyelidikan dengan bersandar atas cerita rakyat tradisional Sawerigadi di Togomotondu di Lasalimu, dapat diduga bahwa besar sekali kemungkinannya sebelum ada ( berdiri) kerajaan Kamaru lebih dahulu ada kerajaan Lasalimu dan kira-kira orang-orang Tobumotondu Lasalimu yang berusaha menyelamatkan dirinya dari mara bahaya yang melanda kerajaannya dimana Tobomotondu mengalami bencana alam yang besar, sehingga tenggelam, terbenam dan tergenang air sehingga menjadi sungai, tiba dan berdiam di Kamaru dan sekitarnya, namun pendapat ini masih memerlukan penelitian yang lebih teliti lagi cermat dari kita semua.
Berbicara mengenai penghuni Buton sebelum kedatangan Sipanjonga, maka rombongan Simalui juga menemukan negri “Mandauli” (kira-kira Lambusango dalam Kecamatan Kapuntori sekarang) di negri mana Simalui berdiam beberapa lamanya dan ia berkebun di tempat itu.
Kembali kepada penguraian Sipanjonga yang karena kepandaiannya yang membuktikan kelebihan kecerdasnnya dibandingkan dengan penduduk setempat (penduduk asli), Sipanjonga dapat menguasai keadaan dan ini dapat dibuktikan dengan apa yang menjadi peninggalan sejarah, dimana pemegang dan pengendali kerajaan Buton adalah anak cucunya belaka namun ini yang bergelar Bonto, sedangkan yang menduduki jabatan Raja atau Sultan adalah dari mereka yang berasal dari keturunan Ratu Pertama Wakaaka dengan Sibatara, sedangkan penghuni asli telah terdesak dan 
mereka tinggallah sebagai rakyat pengikut yang memperoleh kekuasaan, namun terbatas di dalam Kadie mereka.
Makin lama Wolio bertambah luaslah daerahnya, demikian pula penduduknya kian hari kian bertambah, sehingga terdapatlah kampung Gundu-Gundu dan Barangkatopa. Dengan adanya dua kampung tersebut Sipanjonga mufakat dengan kepala-kepala kelompok untuk memberikan kepercayaan kepada “Sitamanajo dan Sijawangkati”, mengepalai kampung-kampung tersebut, masing-masing Sitamanajo sebagai kepala dari masyarakat Gundu-Gundu dan Sijawangkati sebagai kepala masyarakat Barangkatopa dengan gelar Bonto. Sebelumnya kedua Bonto tersebut bertugas, maka di dalam suatu upacara khusus, keduanya dilantik dan berlangsung di muka rumah masing-masing di atas batu. Batu tempat pelantikan kedua Bonto inilah yang dikenal hingga sekarang dengan “Batuna Gundu-Gundu dan Barangkatopa”. Yang pertama dilantik adalah Sijawangkati kemudian sesudahnya pada hari yang sama Sitamanajo.
Bahwa pada waktu pelantikan kedua Bonto di atas, disamping masyarakat dan pemuka setempat juga turut dihadiri oleh raja Tobe-Tobe Dungkung Changia. Dirasa perlu kiranya disini diterangkan pula bahwa Sipanjonga mengawini adik perempuan dari Simalui yang dari perkawinannya ini lahirlah Betoambari. Demikianlah pada suatu waktu dalam rangka usaha perluasan daerah, dimana Betoambari sudah cukup dewasa, sebagaimana telah diuraikan, Betoambari menemukan Kamaru. Dari kejauhan kedengaran oleh Betoambari bunyi gong dan benda yang menandakan bahwa ditempat itu orang sedang mengadakan keramaian. Berhentilah Betoambari lalu diutusnya beberapa orang pengikutnya untuk pergi menemui kepala suku agar kedatangannya dapat diterima dengan baik.
Setelah perutusan itu kembali disampaikan kepada Betoambari bahwa kepala suku dan orang-orang besarnya menerima dan menyambut gembira kedatangannya yang secara kebetulan kepala suku sementara berpesta memingit anak gadisnya yang bernama “Waguntu”. Dengan memakai pakaian yang indah-indah Betoambari memasuki Kamaru yang disambut dengan segala kebesaran oleh raja Kamaru. Tinggallah Betoambari beberapa lamanya sebagai tamu dari raja Kamaru. Waktu inilah Betoambari jatuh cinta pada Waguntu. Dan sebaliknya raja Kamaru mengagumi ketinggian martabat dan ahlak serta sopan santun dari Betoambari, sehingga karena itu pinangan Betoambari kepada Waguntu tidak memiliki kesulitan, yang diterima baik oleh raja Kamaru. Dikawinkannyalah Betoambari dengan Waguntu di dalam suatu upacara kebesaran raja-raja. Beberapa lamanya tinggal sebagai suami istri Betoambari memohon izin dari kedua mertua untuk membawa Waguntu ke Wolio menemui kedua orang tuanya. Dengan pengiring yang cukup besar Betoambari bersama istrinya berangkat meninggalkan Kamaru menuju Wolio. Kedatangan Betoambari kembali di
Wolio disambut dengan meriah lebih-lebih setelah diketahui bahwa ia telah berkeluarga yang dibawanya serta. Kedua orang tuanya tidak menduga lagi bahwa putranya masih hidup, karena sejak lama pergi tidak ada kabar beritanya.
Bahwa oleh karena penemuan Kamaru itu sebagai daerah pertama disamping Tobe-Tobe yang masuk bergabung dalam Wolio, maka Raja Kamaru dalam adat menduduki tempat kedudukan yang teratas sesamanya Raja atau Bobato dan ia disebut Bobato Baana Meja, yang termasuk dalam Bobato Siolipuna. Namun disayangkan bahwa nama Raja Kamaru di atas tidak diketahui  pula tidak tercantum dalam buku silsilah, kecuali dengan nama kedudukannya saja “Raja Kamaru”.
Perkawinan Betoambari dengan Wa Guntu tersebut membawa pengaruh besar di dalam perkembangan dan kemajuan dari Wolio, perkembangan penduduk kian bertambah disamping adanya perpindahan dari negri-negri sahabat seperti Tobe-Tobe dan Kamaru. Terdapatlah pula dua kampung masing-masing Peropa dan Baluwu, yang keduanya terdapat di dalam Benteng Keraton sekarang. Dan pada kedua kampung itu diangkat pula kepala dimana Betoambari sebagai kepala masyarakat Peropa dan Sangariarana Baluwu dengan gelar yang sama seperti Sitamanajo. Tata cara pelantikan kedua Bonto yang baru tersebut juga sebagai halnya kedua Bonto yang terdahulu dan berlangsung di atas batu dan batu inilah kemudian dikenal dengan nama Batuna Peropa dan Batuna Baluwu, genaplah empat orang Bonto dan keempat Bonto inilah yang disebut “Patalimbona”, yang kelak kemudian mempunyai tugas utama dan khusus dalam hubungan pencalonan, pemilihan, pelantikan maupun pemecatan Raja atau Sultan.
Dari keempat Bonto di atas Betoambari dan Sangariarana mendapat kehormatan dan menjadi penasihat, disamping tugas pokoknya. Kesimpulan ketetapan ini diambil karena adanya kelebihan yang dimiliki oleh keduanya dan pula sebagai tanda penghargaan dan penghormatan kepada Sipanjonga ayah Betoambari, kakek Sangariarana, kepala rombongan dari mereka sejak dari tanah Semenanjung Johor hingga tiba dan berada di Buton. Sesudahnya keempat Bonto di atas, sesuai dengan perkembangannya berturut-turut diangkat dan dilantik Bonto-Bonto Gama, Wandailolo, Rakia dan Siompu menjadi delapan orang yang mengepalai delapan kampung  yang semua kampung dimaksudkan berada dalam Benteng Keraton. Dan dalam masa kerajaan Bataraguru menjadi genap sembilan orang Bonto dengan ketambahan Bontona Melai.

Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment

Social Icons

Sample Text

Featured Posts

 

FB FLy

Jempolnya, Like This !!!

FB Fly

Jempolnya, Like This !!!

Kursor

Animated Purple Gitter Skull