1.
SELAYANG
PANDANG LETAK KEADAAN GEOGRAFIS
Kerajaan Buton, yang oleh
penduduk disebut Wolio, terdiri dari beberapa pulau besar dan
kecil yang utama ialah:
- Pulau Buton yang dipisahkan oleh Laut Buton, pada masa lalu dengan
nama selat flaming, dengan daratan pulau Sulawesi.
- Pulau
Muna, yang disebut Wuna oleh penduduk dimasa lalu dengan pancana di sebelah
barat dari pulau Buton.
- Pulau
Kabaena dan beberapa pulau kecil lainnya masing-masing: Tobea terletak di selat
Tiworo, Pulau Makassar yang sesungguhnya adalah Liwuto Makasu oleh
penduduk kerajaan terdapat didepan Bau-Bau, Kadatua, Siompu, kemudian Talaga
disebelah selatan Pulau Kabaena.
- Wakatobi
pada masa lampau dengan nama Kepulauan Tukang Besi terdiri dari Pulau
Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko.
- Poleang
Bugis, Mornene, dan Rumbia pada daratan Pulau Sulawesi
yang dibatasi pada sebelah barat daerah kerajaan Luwuk dan pada sebelah utara
oleh Laiwui serta timur oleh laut Tiworo.
Penduduk kerajaan
seluruhnya memeluk agama Islam, namun setelah masuknya Belanda dalam tahun 1906,
terdapat pula beberapa banyak penganut agama lain seperti kristen. Pencaharian
penduduk dapat dibagi dalam tiga golongan besar yaitu petani, pedagang,
nelayan, sedangkan golongan pedagang kerajaan ialah kaum bangsawan dan walaka,
berasal dari keturunan Sibatara dan Wakaaka bagi kaum
bangsawan dari keturunan Sipanjonga bagi kaum Walaka. Jumlah
penduduk kerajaan dalam tahun 1877 tidak lebih dari 100 ribu jiwa dan pada
akhir 1977 yaitu seratus tahun sesudahnya menjadi 306.308 jiwa, diluar daerah
Kabupaten Muna.
Tentang struktur
kemasyarakatan dapat disebutkan bahwa penduduk kerajaan terdiri atas tiga
golongan yang disebutkan :
- Kaum
bangsawan yaitu lalaki,
- Kaum
walaka dan
- Kaum
papara.
Bahasa daerah dapat
dikatakan pada setiap bagian desa terdapat adanya bahasa suku, namun yang
menjadi bahasa kerajaan adalah bahasa wolio, sedangkan bahasa ibu terdapat
puluhan bahkan tidak kurang dari pada dua ratus bahasa suku.
Dari sekian banyaknya dapat dibagi
dalam empat kelompok yang utama masing-masing :
1.
Bahasa
Wuna
2.
Bahasa
Cia-Cia
3.
Bahasa
Tolaki
4.
Bahasa
Wolio.
Hutan-hutan terdapat di daratan
Buton dan Kabaena serta Poleang, Rumbia dan Mornene, dimana tumbuh banyaknya
kayu-kayuan yang berharga yang dijadikan ramuan rumah bagi penduduk kerajaan
antara lain yang disebutkan : asana (cendana), wola (fafa), epi dan sulowo
(semacam kayu besi) dan jati dibagian Sampolawa daratan Buton.
Hutan-hutan itu banyak
dihuni oleh binatang-binatang seperti Kerbau hutan, Babi, Rusa dan Anoan. Yang
terakhir ini merupakan binatang khas Sulawesi.
Disamping binatang-binatang disebutkan ada pula Kus-Kus sejenis Kelinci yang
dalam bahas wolio disebut Kuse, Kusembu dan Tongali.
Sedangkan jenis
burung-burung adalah : Halo, Kea-Kea, Nuri, Merpati dan sebagainya. Sebuah
pulau melulu penghuninya burung-burung laut yaitu di Kawikawiya termasuk dalam Kecamatan
Binongko.
Kemudian di daratan pulau Buton
pada pegunungan Sampolawa dan lereng gunung Kalende serta di Kabongka terdapat
aspal dan karena aspalnya ini Buton terkenal di dalam nusantara Indonesia malah
sampai diluar negeri.
Turunnya hujan didaerah Buton
pada dua musim, barat dan timur, dimana musim timur biasa terjadi turunnya
hujan banyak sekali sampai terjadi terus menerus beberapa hari tiada hentinya.
Rawa-rawa pada umumnya
hanya terdapat pada pinggir pantai dimana tumbuh pohon-pohon bakau, tumbuhan
tepi pantai pada umumnya.
Struktur pemerintahan
kerajaan dapat dibagi sebagai berikut dibawah ini:
- Sarana
Wolio
- Sarana
Barata
- Sarana
Kadie.
Sebagai pimpinan kerajaan adalah Sultan dan di Barata
oleh Lakina Barata sedangkan pimpinan kadie adalah Bonto dan atau Bobato yang
terakhir ini dalam arti sebagai pengawas. Dan mengenai dasar dalam menjalankan
pemerintahan adalah Murtabat Tujuh sebagai undang-undang kerajaan serta untuk Barata
dengan Sarana Barata dan Kadie dengan Sarana Kadie. Barata dan kadie
merupakan bagian kerajaan dengan ketentuannya sendiri seperti tersebut di atas,
sehingga merupakan daerah otonomi dari kerajaan.
Keduanya berhak mengatur rumah tangganya sendiri, Barata ada empat
masing-masing:
1.
Barata
Wuna,
2.
Barata
Tiworo,
3.
Barata
Koloncusu,
4.
Barata
Kaledupa.
Sedangkan kadie berjumlah
seluruhnya 72 bagian dan ini lazim dengan sebutan “pitu puluh rua kadiena”.
Dua bagian merupakan simbolis belaka pertanda adanya dua kaum yang memegang
kendali pemerintahan kerajaan yaitu kaum bangsawan dan kaum walaka. Maka
tinggallah 70 bagian untuk umum yang aktif.
2. ASAL USUL NAMA BUTON
Menurut riwayat yang
diperoleh turun temurun dikatakan bahwa
nama Buton itu berasal dari bahasa Arab “Butuini”, yang artinya “mengandung”.
Dalam bahasa wolio terjemahannya disebutkan “ko-kompo”. Ini
mengandung makna kiasan yaitu bahwa kerajaan Buton merupakan gadis cantik dan
mengandung banyak hasil yang menjadi rebutan banyak manusia demikian itulah
karena kecantikannya itu sama halnya dengan seorang muda yang melimpahkan
kecintaannya kepada gadis pujaannya.
Dalam sebuah buku sair,
anonim tertulis beberapa rangkaian kalimat yang dapat menunjang makna Butuni
sebagai berikut:
“ikompona incema aincana;
diperut
siapa nyata;
kaapaaka kupeelu butuuni;
karena
engkau suka butuuni;
ku-ma anaia butuuni kokompo;
kuartikan
butuuni mengandung;
motodikana inuncana kuruani;
yang
tertea di dalam alkuran1)”.
Dari kutipan di atas agaknya kurang
jelas, namun dapat diambil suatu kesimpulan akan makna Butuuni dan asal kata Buton
menjadi yang pembahasa.
Bahwa kalangan masyarakat wolio, tua-tua adat
pada umumnya selama pendudukan Belanda atas kerajaan Buton dalam tahun 1906,
mengenal Buton hanya dengan perkataan Butuuni. Dan perkataan Buton sebenarnya
berasal dari sebutan Kompeni Belanda, sehingga karena itu telah menjadi sebutan
umum sampai sekarang, sebutan mana ditunjang dengan data surat menyurat maupun
kontrak-kontrak perjanjian antara kerajaan Buton dengan Kompeni Belanda yang
oleh Kompeni Belanda dengan sebutan Buton dan kerajaan Buton sendiri dengan Butuuni
atau juga
dengan wolio. Dalam fersi
lain yang berhubungan dengan kerajaan sahabat, seperti bone dan ternate dalam
persuratan pada umumnya menggunakan sebutan Butuuni. Lebih jauh mengikuti
perkembangannya oleh pelaut-pelaut Bugis Makassar
dengan sebutan Buton. Sebutan ini ditunjang oleh apa yang A. Ligtveet tulis :
Het rijk boeton, dat inde
Landstaal wolijo, irhet maleisch boetoen, en in het makassaarch end boegineesch
boetoen heet, bestaat uit....cnz2).
Bahwa secara umum perlu
diambil suatu pengertian, oleh karena ibu kota kerajaan bertempat di Wolio
dalam benteng Keraton Buton, maka tidak jarang terdapat adanya pengertian
Butuuni secara keseluruhan dengan sebutan wolio, sebagai mana A. Ligtveet
sebutkan di atas yang dalam hal ini oleh Kompeni Belanda dengan Bolijo. Di
Ambon orang tidak mengenal Wolio atau Buton, kecuali dengan sebutan Binongko.
Ini dapat dimengerti bahwa pada masa lampau yang banyak tiba didaerah Maluku
adalah pelayar-pelayar yang berasal dari Binongko sebuah pulau yang termasuk
kekuasaan kerajaan Buton dalam Kepulauan
Wakatobi.
Bahwa menurut versi lain
lagi dikatakan bahwa perkataan Buton itu sudah sejak lama diketahui terbukti
dengan penulisan Empu Prapanca dalam buku Nagara
Kartagama. Hal ini dapat diterima dan justru dengan
pembuktian-pembuktian ini akan dapat kita peroleh bahan penelitian yang lebih
jauh lagi bahwa Islam sudah sejak lama dikenal di Buton namun resminya nanti
pada tahun 948 Hijriah atau 1542 Masehi.
3.
PENDUDUK BUTON YANG PERTAMA DAN ASAL USULNYA.
Penduduk Buton yang pertama
dan asal usulnya dapat diketahui dengan
mengungkapkan lebih dahulu sejarah kedatangan Sipanjonga dan kawan-kawannya,
yang dikenal dalam sejarah wolio dengan nama kesatuannya “mia pata miana”
yang artinya “empat orang” lebih jelasnya dimaksudkan dengan
empat pemuka yaitu “Sipanjonga, Simalui, Sijawangkati Dan Sitamanajo”,
dan dengan berpegang pada buku silsilah dari raja-raja di wolio. Keempat orang
tersebut, konon menurut riwayat berasal dari tanah Semenanjung Johor (Malaysia
) pulau Liyaa Melayu, dimana
tibanya di Buton dapat diperkirakan
berkisar akhir abad ke XIII atau setidaknya pada awal abad ke XIV.
Perkiraan tibanya Sipanjonga dan kawan-kawannya sebagai mana pendapat penulis,
yang dijadikan bahwa penunjang ilmiahnya disandarkan atas beberapa penulisan
dari sejarawan yang terkenal dengan bertitik atas mulai suramnya kerajaan
Sriwijaya dan jatuhnya Malaka ditangan Portugis.
(1). H.J.van
den Berg dkk-nya. Menulis antara lain-lain : Dalam tahun 1275 bertolaklah satu
tentara Kertanegara dari pelabuhan Tuban. Tentara itu mendarat di daerah muarah
sungai Djambi dan merebut daerah itu, yang lalu dijadikan daerah
takluk bagi kerajaan Singosari. Dalam waktu sepuluh sadja djadjahan
keradjaan Djawa itu telah dapat
meluaskan sampai ke daerah hulu sungai Djambi. Di dirikanlah kembali keradjaan
Melaju lama di daerah itu, tetapi sebagai
negara bagian pada keradjaan
Singosari. Raja Melaju dijadikan raja takluk kepada Baginda Kertanegara.
Keradjaan Melaju menjadi penting kedudukannya, sehingga dalam abad ke14 seluruh
Sumatera kerap kali disebut djuga Melaju. Suatu artja, jang didapat orang di
daerah Djambi, atas perintah Kertanagara
diangkut ke Melaju dalam tahun 1286. Maksud Kertanagara telah djelas yaitu
mendirikan satu keradjaan Djawa di Sumatera tengah ,yang akan menjadi pusat
kebudayaan Djawa di pulau itu.
Keradjaan Djawa yang di Sumatera itu merupakan suatu bahaya
yang besar sekali bagi Sriwijaya. Akan tetapi Sriwijaya terlalu lemah untuk
mencegah maksud Kertanagara itu. Kekuasaan Sriwijaya telah runtuh pada segenap
pihak. dibagian utara Semenanjung Malaka sebagian dari daerah Sriwijaya telah
di rebut kerajaan Siam
yang baru saja berdiri. Di Aceh pun telah mulai pula timbul kerajaan baru,
umpamanya kerajaan Perlak dan Samudera. Kerajaan baru itu telah menjadi kerajaan
Islam (yang pertama di Indonesia).
Perhubungannya dengan Sriwijaya hampir tidak ada lagi. Kerajaan Pahang pun yang
terletak di Semenanjung Malaka, rupanya telah menjadi daerah takluk juga pada
kerajaan Singosari Sunda, yang telah sejak lama mengakui kekuasaan tertinggi
dari Sriwijaya , rupanya terlepas pula dalam zaman itu dan telah menjadi bagian
kerajaan Kertanagara3).
Anwar Sanusi menulis
sebagai berikut:
Akhirnya pada lebih kurang 1377 Sriwijaya runtuh pada masa
Rajasanagara (Hayam Wuruk)4).
Dari ke dua penulisan di
atas menyatakan bahwa kerajaan Sriwijaya sudah lemah dan tidak dapat bertahan lebih
lama lagi, penulis berpendapat bahwa Sipanjonga dan teman-temannya serta
pengikut-pengikutnya, sebagai seorang
raja di negeri, yang termasuk di dalam kerajaan Sriwijaya, mengetahui kedudukan
Sriwijaya sudah demikian lemahnya mengambil kesempatan meninggalkan kerajaannya
mencari daerah lain untuk tempat tinggalnya dan untuk dapat menetap sebagai
seorang raja yang berkuasa dan tibalah mereka di Buton.
Apakah Sipanjonga meninggalkan kerajaannya dari
pulau Liyaa pada akhir atau pada waktu mulai suramnya Sriwijaya atau runtuhnya
kerajaan ini sama sekali, disinilah terletak dasar pendapat penulis dengan
menyatakan “tibanya di Buton pada akhir abad ke XIII atau awal abad XIV”,
yang dapat dijelaskan bahwa Sipanjonga adalah raja dari pulau Liyaa tanah Semenanjung
Johor, yang karena tidak hendak melepaskan kekuasaannya sebagai raja dengan rakyat
yang patuh dan cukup banyak jumlahnya, sampailah mereka di Buton5).
Tibanya Sipanjonga dengan
kawan-kawannya tidak bersama-sama dan tidak pula pada satu tempat yang sama dan
rombongannya terdiri dalam dua kelompok, dengan tumpangan mereka yang disebut
dalam zamannya “Palulang”.
Kelompok pertama Sipanjonga dengan Sijawangkati
sebagai kepala rombongan mengadakan pendaratan yang pertama di Kalampa, suatu daerah pantai dari
raja Tobe-tobe, sedangkan Simalui dan Sitamanajo mendarat di
Walalogusi (kira-kira kampung Boneatiro atau disekitar tersebut Kecamatan Kapuntori
sekarang). Pada waktu pendaratan pertama itu Sipanjonga mengibarkan bendera
kerajaannya pada suatu tempat tidak jauh dari Kalampa pertanda kebesarnya.
Bendera Sipanjonga inilah yang menjadi bendera kerajaan Buton yang disebut “Tombi
pagi” yang berwarna warni, “Longa-longa” bahasa Wolionya.
Di kemudian tempat di mana pengibaran bendera tersebut dikenal dengan nama “Sulaa”
yang sampai sekarang masih dikenal, terdapat di dalam desa Katobengke Kecamatan
Wolio, tidak jauh dari lapangan udara Betoambari.
Kemudian maka keempat
pemuka tersebut di atas yang membuat dan meninggalkan sejarah dan kebudayaan
Wolio, sebuah kerajaan yang pada zamannya pernah menjadi kerajaan yang berarti,
dan merekalah pula yang mengawali pembentukkan kampung-kampung, yang kemudian
sesuai dengan perkembangannya menjadi kerajaan dan inilah yang dimaksudkan
dengan kerajaan Buton, yang sebagai rajanya yang pertama Ratu I Wakaaka. Ditempat
pendaratannya tersebutlah Sipanjonga dkk-nya membangun tempat kediamannya yang
lambat laun menjadi sebuah kampung yang besar, yang tidak lama setelah
pendaratannya itu rombongan Simalui dan Sitamanajo bersatu kembali dengan Sipanjonga
di Kalampa.
Oleh karena letak tempat tinggal dari
Sipanjonga dekat pantai bukanlah suatu hal yang tidak mungkin terjadinya
gangguan-ganngguan keamanan terutama sekali dari bajak laut yang berasal dari
Tobelo Maluku6). Untuk menghindarkan diri dari gangguan
keamanan Sipanjonga dan rakyatnya meninggalkan Kalampa menuju arah gunung yang
tidak jauh dari tempatnya itu kira-kira 5 km dari tepi pantai. Di tempat yang
baru inilah Sipanjonga dan rakyatnya bermukim. Karena di tempat yang baru itu
masih penuh dengan hutan belukar maka untuk membangun tempat kediaman mereka
ditebaslah belukar-belukar itu, yang pekerjaan menebas itu dalam bahasa
Wolionya dikatakan “Welia”. Inilah asal namanya “Wolio”
dan tempat inilah pula yang menjadi
tempat pusat kebudayaan Wolio ibu kota
kerajaan.
Di riwayatkan lebih jauh
bahwa pada waktu Sipanjonga dan teman-temannya menebas hutan belukar di tempat
itu didapatinya banyak pohon enau,
terlebih di atas sebuah bukit bernama “Lelemangura” Rahantu7).
Bukit inilah yang kemudian masyhur
dengan sebutan Lelemangura. Salah seorang teman dari Sipanjonga yang bernama
Sijawangkati mendapatkan Enau dan dengan diam-diam ia menyadap enau tersebut.
Ketika yang empunya enau yang bernama Dungkung Changia datang menyadap
enaunya, didapatinya enaunya sudah disadap orang yang tidak diketahuinya, timbullah marahnya. Dipotongnya sebatang kayu yang cukup
besar. Melihat potongan batang kayu itu, timbullah dalam pemikirannya betapa
besar dan kuatnya orang yang memotong kayu itu namun tidak menimbulkan rasa takut pada diri
Sijawangkati. Untuk mengimbangi potongan kayu itu, dipotongnya rotan yang
panjangnya satu jengkal yang cukup besar juga, kemudian batang rotan itu
disimpulnya. Karena kekuatan simpulan pada batang rotan itu, hampir tidak
kelihatan, kemudian diletakkannya di atas potongan kayu itu. Keesokan harinya
datang lagi Dungkung Changia menyadap lagi enaunya dilihatnya simpulan rotan
yang menakjubkan itu. Tentu orang yang menyadap enau saya ini adalah orang yang
sakti dan mungkin bukan manusia biasa.
Suatu waktu secara
kebetulan keduanya bertemu di tempat itu. Maka terjadilah perkelahian yang
sengit, yang sama-sama kuat. Masing-masing tidak ada yang kalah. Pada akhirnya
keduanya karena sudah kepayahan berdamai. Mufakatlah keduanya untuk hidup damai
dan saling membantu dan bagi anak cucu mereka dikemudian akan hidup di dalam
alam kesatuan dan persatuan. Dengan adanya perdamaian Sijawangkati dan Dungkung
Changia tersebut maka negeri Tobe-Tobe masuk dan bersatu dengan Wolio. Letak
negeri Tobe-Tobe itu dari tempat tinggal Sipanjonga kurang lebih 7 km.
Dapat dijelaskan disini bahwa
Dungkung Changia dimaksudkan menurut
keterangan leluhur adalah berasal dari Cina yang selanjutnya dalam buku
silsilah bangsawan Buton dikatakan asal “Fari” asal “Peri”.
Munurut pak Lahude dikatakan orangnya amat putih, sama halnya dengan putihnya
isi kelapa yang dimakan fari (binatang
semacam serangga). Dalam hubungan ini menurut penulis dengan bersandar atas
penulisan dari beberapa sejarawan, adalah benar orang Cina dan ia berasal dari
tentara Khu Bilai Khan tentara Tar-Tar yang datang ke Indonesia dalam tahun
1294, untuk menghukum raja Kertanagara dimana pada akhirnya tentara ini dapat
dimusnahkan dan sebagian dapat menyelamatkan diri atas serangan mendadak dari
Raden Wijaya di Kediri.
Anwar Sanusi menulis antara
lain:
Kemudian
Raden Wijaya dengan diam-diam mengambil putri-putri dari istana Jayakatwan dan
dilarikan oleh hamba-hambanya Ke Majapahit. Maka Raden Wijaya minta izin
kembali Ke Majapahit akan menyediakan upeti bagi Kaisar Tiongkok. Pada malam
harinya datanglah utusan tentara Tar-Tar akan meminta yang dijanjikan kepada
mereka itu. Akan tetapi Raden Wijaya mengatakan kepada mereka, bahwa
putri-putri itu harus dijemput oleh pembesar-pembesar
tentara Tar-Tar saja tidak
boleh oleh serdadu biasa. Keesokan harinya datanglah pembesar-pembesar tentara
Tar-Tar itu dengan tidak bersenjata dengan tidak membawa pengiring. Setelah
mereka masuk ke dalam kota
melalui pintu gerbang, maka mereka disergap dan dibunuh oleh Sora serta
pengikutnya. Kemudian Raden Wijaya menyerang tentara Tar-Tar, yang tinggal di Kediri. Kebanyakan
tentara Tar-Tar itu tewasa dan sisanya melarikan diri keperahunya masing-masing8).
Sesudah ia diizinkan oleh Jenderal
Tiongkok untuk kembali ke negerinya sesudah mengalahkan Jayakatwan maka ia
menyerang pasukan Tiongkok dari belakang. Melihat sikap Raden Wijaya itu, Jenderal
Tiongkok bingung lalu bersegera mengundurkan diri ke pantai karena tak mau
terikat dengan sesuatu peperangan yang lama di Jawa..........dst9).
H.J. Van Den Berg menulis
sebagai berikut:
Ketika Kartanegara memerintah di Jawa, maka ketika itu
yang memerintah di Tiongkok, ialah Khu Bilai khan.
Dalam keinginannya yang tidak puas-puas akan memperbesar
akan kekuasannya, maka dilayangkannyalah juga pandangannya ke India belakang
dan ke Indonesia.
Kartanegara insaf akan bahaya yang mengancam dari pihak Tiongkok itu, karena
itu diadakannyalah persekutuan dengan kerajaan Campa dengan mengawinkan seorang
putrinya dengan raja Campa. Persekutuan itu ditujukan untuk mengembang perkembangan kekuasaan Tiongkok ke
daerah selatan. Khubilai Khan mengikuti cara yang lazim dipergunakannya. Di
surunya dutanya kepada raja Campa meminta, supaya baginda itu mau mengakui
kekuasaan raja Tiongkok. Setelah itu dimintalah, supaya baginda datang sendiri
ke Tiongkok untuk menyatakan cintanya kepada Khubilai Khan. Ketika raja Campa
menolak permintaan itu, datanglah tentara Tiongkok menyerang dan menduduki
negri itu. Tetapi pendudukan tentara Tiongkok itu hanya sementara saja, karena
orang-orang Annan dapat merebut kemerdekaannya kembali. Tidak kita ketahui
adakah Kertanegara memberikan bantuan senjata kepada temannya bersekutu itu.
Yang jelas bagi kita ialah, bahwa perundingan duta Tiongkok di ulur-ulurnya
sampai beberapa tahun lamanya. Rupa-rupanya tak terniat olehnya sama sekali
akan berdatang sembah kehadapan Khubilai Khan tetapi akhirnya tepaksalah ia
mengambil keputusan, dan keputusan yang diambil, oleh Kertanegara itu jelas dan
tidak meragukan : duta Tiongkok itu dipulangkannya kepada kaisarnya dengan muka
yang tersayat. Penghinaan yang sebesar itu harus dibalas dengan tindakan keras,
demikianlah pendapat kaisar Tiongkok. Dipersiapkannyalah suatu tentara
pendarat, yang terdiri dari 20 ribu prajurit. Kertanegara
telah wafat, ketika angkatan
perang Tiongkok berlabu di Tubang. Beberapa negri kecil di Indonesia
menyerah dan telah mengirimkan dutanya menghadap pada Khubilai Khan yang besar
kekuasaannya itu. Tetapi angkatan perang itu bertolak dari Tiongkok untuk
menaklukan Jawa. Menurut kebiasaan disurulah beberapa orang utusan, untuk
mendesak supaya pemerintah mau mengakui kekuasaan Mongol di daerah itu. Utusan
Tiongkok itu sampai juga ke Majapahit dan seketika itu juga mengertilah
pangerang Wijaya, bahwa saat yang dinantikannya telah tiba. Ia mengaku takluk
dan ditawarkannyalah bantuannya untuk mengalahkan raja Jawa, yaitu Jayakatwan.
Tentara Tiongkok ketika itu
telah bergerak maju menyusuri pantai, sedangkan angkatan lautnya berlayar
kemuara sungai Surabaya,
pintu masuk ke pulau Jawa. Angkatan perang Jayakatwan yang terdiri dari perahu
perang, sungai, mencoba menahan serangan Tiongkok itu. Tetapi musuh jauh lebih
kuat; tidak kurang dari 100 buah perahu jatuh ketangan orang Tiongkok.
Sementara itu datanglah
tentara Kediri
ke Majapahit akan menghukum pangerang Wijaya yang memberontak itu. Pangerang
Wijaya meminta bantuan Tiongkok untuk melawan tentara Kediri itu. Berangkatlah tentara Tiongkok itu
secepat-cepatnya ke Majapahit. Dalam suatu pertempuran yang besar, berhasillah
usaha tentara Tiongkok itu melepaskan Majapahit dari kepungan Kediri. Setelah itu tentara Tiongkok
melanjutkan perjalannya ke Kediri.
Dengan gagah beraninya ibu kota
Kediri itu dipertahankan
oleh tentara Jawa, tetapi akhirnya kalahlah tentara itu. Jayakatwan menyerah
dan orang Tiongkok menerima penyerahan itu. Akan tetapi putra mahkota melarikan
dirilah ke pegunungan ; ia pun dikejar ke situ dan setelah ditawan maka
dibawalah putra mahkota itu ke Kediri.
Dalam pada itu kembalilah
pangerang Wijaya ke Majapahit dengan seizin dua orang jenderal Tiongkok.
Pangeran Wijaya diiringkan oleh suatu pasukan Tiongkok, peristiwa itulah yang
akan mencelakakan orang Tiongkok itu kelak. Pangerang Wijaya dapat meloloskan
diri, setelah orang Tiongkok yang mengiringkannya dibunuhnya. Sesudah itu dikumpulkannyalah
sejumlah besar prajurit dan dicobanya pula memotong jalan pasukan Tiongkok,
yang hendak kembali ke laut menyusuri sungai. Dengan susah payah dapatlah
tentara Tiongkok itu melepaskan diri dari kepungan Raden Wijaya. Orang Tiongkok
itu telah jemu dengan peperangan di Jawa, lalu bertolaklah mereka menuju ke
Tiongkok...........dst10).
Demikian itu beberapa cukilan dari
penulisan sejarawan tentang tentara Khu Bilai Khan, di mana dengan ini penulis
yakin bahwa Dungkung Cangia pasti berasal dari pembesar Tiongkok yang melarikan
diri dan lepas dari kelompoknya.
4.
MULA
ADANYA BONTO KERAJAAN PEROPA DAN BALUWU SIOLIMBONA
Setelah beberapa lamanya
Sipanjonga berdiam di Wolio, maka dalam usaha perluasan dan pengembangan daerah
kekuasaannya dapatlah diketahui bahwa sebelumnya kedatangan mereka, di Buton
sudah ada penghuninya. Penemuan-penemuan yang didapat oleh Betoambari (Putra
Sipanjonga) Sijawangkati dll, membuktikan bahwa kerajaan Kamaru sudah berdiri,
yang dalam perjalanannya sebelum menemukan Kamaru, Betoambari lebih dahulu
menemukan Lawele dan Kaluku (dalam Kecamatan Lasalimu sekarang) dan di Kamaru Betoambari
mengawini putri raja Kamaru bernama Waguntu (dalam buku
silsilah hikayat Sipanjonga bernama “Sangaranya”) yang dalam
perkawinan ini lahirlah Sangariarana. Dan dipihak yang lain
sebagaimana telah diuraikan, Sijawangkati setelah kedamaiannya dengan Dungkung
Changia Raja Tobe-Tobe dalam sumpah setia mereka dapat menggabungkan negeri
Tobe-Tobe bersatu dalam kerajaan Buton, dalam pada nama keduanya menjalin
persahabatan dan bantu membantu satu dengan yang lain. Dan kemudian menyusul
penemuan-penemuan yang baru, bahwa kedua bersaudara masing-masing Raja
Manguntu dan Tua Maruju, mandapatkan negeri Todanga
dan Batauga, dimana kedua negeri itu dapat dimasukan ke dalam Wolio
tanpa pertumpahan darah. Sedemikian jauh di dalam penelitian dan penyelidikan
dengan bersandar atas cerita rakyat tradisional Sawerigadi di Togomotondu
di Lasalimu, dapat diduga bahwa besar sekali kemungkinannya
sebelum ada ( berdiri) kerajaan Kamaru lebih dahulu ada kerajaan Lasalimu dan
kira-kira orang-orang Tobumotondu Lasalimu yang berusaha menyelamatkan dirinya
dari mara bahaya yang melanda kerajaannya dimana Tobomotondu mengalami bencana
alam yang besar, sehingga tenggelam, terbenam dan tergenang air sehingga
menjadi sungai, tiba dan berdiam di Kamaru dan sekitarnya, namun pendapat ini
masih memerlukan penelitian yang lebih teliti lagi cermat dari kita semua.
Berbicara mengenai penghuni
Buton sebelum kedatangan Sipanjonga, maka rombongan Simalui juga menemukan
negri “Mandauli” (kira-kira Lambusango dalam Kecamatan Kapuntori
sekarang) di negri mana Simalui berdiam beberapa lamanya dan ia berkebun di
tempat itu.
Kembali kepada penguraian Sipanjonga yang karena
kepandaiannya yang membuktikan kelebihan kecerdasnnya dibandingkan dengan
penduduk setempat (penduduk asli), Sipanjonga dapat menguasai keadaan dan ini
dapat dibuktikan dengan apa yang menjadi peninggalan sejarah, dimana pemegang
dan pengendali kerajaan Buton adalah anak cucunya belaka namun ini yang
bergelar Bonto, sedangkan yang menduduki jabatan Raja atau Sultan adalah dari
mereka yang berasal dari keturunan Ratu Pertama Wakaaka dengan Sibatara,
sedangkan penghuni asli telah terdesak dan
mereka tinggallah sebagai rakyat
pengikut yang memperoleh kekuasaan, namun terbatas di dalam Kadie mereka.
Makin lama Wolio bertambah
luaslah daerahnya, demikian pula penduduknya kian hari kian bertambah, sehingga
terdapatlah kampung Gundu-Gundu dan Barangkatopa. Dengan adanya dua kampung
tersebut Sipanjonga mufakat dengan kepala-kepala kelompok untuk memberikan
kepercayaan kepada “Sitamanajo dan Sijawangkati”, mengepalai
kampung-kampung tersebut, masing-masing Sitamanajo sebagai kepala dari
masyarakat Gundu-Gundu dan Sijawangkati sebagai kepala masyarakat Barangkatopa
dengan gelar Bonto. Sebelumnya kedua Bonto tersebut bertugas, maka di dalam
suatu upacara khusus, keduanya dilantik dan berlangsung di muka rumah
masing-masing di atas batu. Batu tempat pelantikan kedua Bonto inilah yang
dikenal hingga sekarang dengan “Batuna Gundu-Gundu dan Barangkatopa”.
Yang pertama dilantik adalah Sijawangkati kemudian sesudahnya pada hari yang
sama Sitamanajo.
Bahwa pada waktu pelantikan
kedua Bonto di atas, disamping masyarakat dan pemuka setempat juga turut dihadiri
oleh raja Tobe-Tobe Dungkung Changia. Dirasa perlu kiranya disini diterangkan
pula bahwa Sipanjonga mengawini adik perempuan dari Simalui yang dari
perkawinannya ini lahirlah Betoambari. Demikianlah pada suatu waktu dalam
rangka usaha perluasan daerah, dimana Betoambari sudah cukup dewasa,
sebagaimana telah diuraikan, Betoambari menemukan Kamaru. Dari kejauhan
kedengaran oleh Betoambari bunyi gong dan benda yang menandakan bahwa ditempat
itu orang sedang mengadakan keramaian. Berhentilah Betoambari lalu diutusnya
beberapa orang pengikutnya untuk pergi menemui kepala suku agar kedatangannya
dapat diterima dengan baik.
Setelah perutusan itu kembali disampaikan kepada
Betoambari bahwa kepala suku dan orang-orang besarnya menerima dan menyambut
gembira kedatangannya yang secara kebetulan kepala suku sementara berpesta
memingit anak gadisnya yang bernama “Waguntu”. Dengan memakai
pakaian yang indah-indah Betoambari memasuki Kamaru yang disambut dengan segala
kebesaran oleh raja Kamaru. Tinggallah Betoambari beberapa lamanya sebagai tamu
dari raja Kamaru. Waktu inilah Betoambari jatuh cinta pada Waguntu. Dan
sebaliknya raja Kamaru mengagumi ketinggian martabat dan ahlak serta sopan
santun dari Betoambari, sehingga karena itu pinangan Betoambari kepada Waguntu
tidak memiliki kesulitan, yang diterima baik oleh raja Kamaru. Dikawinkannyalah
Betoambari dengan Waguntu di dalam suatu upacara kebesaran raja-raja. Beberapa
lamanya tinggal sebagai suami istri Betoambari memohon izin dari kedua mertua
untuk membawa Waguntu ke Wolio menemui kedua orang tuanya. Dengan pengiring
yang cukup besar Betoambari bersama istrinya berangkat meninggalkan Kamaru
menuju Wolio. Kedatangan Betoambari kembali di
Wolio disambut dengan
meriah lebih-lebih setelah diketahui bahwa ia telah berkeluarga yang dibawanya
serta. Kedua orang tuanya tidak menduga lagi bahwa putranya masih hidup, karena
sejak lama pergi tidak ada kabar beritanya.
Bahwa oleh karena penemuan Kamaru itu
sebagai daerah pertama disamping Tobe-Tobe yang masuk bergabung dalam Wolio,
maka Raja Kamaru dalam adat menduduki tempat kedudukan yang teratas sesamanya
Raja atau Bobato dan ia disebut Bobato Baana Meja, yang termasuk
dalam Bobato Siolipuna. Namun disayangkan bahwa nama Raja Kamaru di atas tidak
diketahui pula tidak tercantum dalam
buku silsilah, kecuali dengan nama kedudukannya saja “Raja Kamaru”.
Perkawinan Betoambari
dengan Wa Guntu tersebut membawa pengaruh besar di dalam perkembangan dan
kemajuan dari Wolio, perkembangan penduduk kian bertambah disamping adanya
perpindahan dari negri-negri sahabat seperti Tobe-Tobe dan Kamaru. Terdapatlah
pula dua kampung masing-masing Peropa dan Baluwu, yang keduanya terdapat di
dalam Benteng Keraton sekarang. Dan pada kedua kampung itu diangkat pula kepala
dimana Betoambari sebagai kepala masyarakat Peropa dan Sangariarana Baluwu
dengan gelar yang sama seperti Sitamanajo. Tata cara pelantikan kedua Bonto
yang baru tersebut juga sebagai halnya kedua Bonto yang terdahulu dan
berlangsung di atas batu dan batu inilah kemudian dikenal dengan nama Batuna
Peropa dan Batuna Baluwu, genaplah empat orang Bonto dan keempat Bonto
inilah yang disebut “Patalimbona”, yang kelak kemudian mempunyai tugas utama
dan khusus dalam hubungan pencalonan, pemilihan, pelantikan maupun pemecatan
Raja atau Sultan.
Dari keempat Bonto di atas
Betoambari dan Sangariarana mendapat kehormatan dan menjadi penasihat,
disamping tugas pokoknya. Kesimpulan ketetapan ini diambil karena adanya
kelebihan yang dimiliki oleh keduanya dan pula sebagai tanda penghargaan dan
penghormatan kepada Sipanjonga ayah Betoambari, kakek Sangariarana, kepala
rombongan dari mereka sejak dari tanah Semenanjung Johor hingga tiba dan berada
di Buton. Sesudahnya keempat Bonto di atas, sesuai dengan perkembangannya
berturut-turut diangkat dan dilantik Bonto-Bonto Gama, Wandailolo, Rakia dan
Siompu menjadi delapan orang yang mengepalai delapan kampung yang semua kampung dimaksudkan berada dalam
Benteng Keraton. Dan dalam masa kerajaan Bataraguru menjadi genap sembilan
orang Bonto dengan ketambahan Bontona Melai.